4 NEGARA di Asia di Ambang Bangkrut, Bernasib Sama dengan Sri Lanka, Analisa Terbaru IMF

Keempat negara yang terancam bangkrut di Asia menurut analisa IMF adalah Laos, Pakistan, Maladewa, dan Bangladesh

Editor: Wiedarto
Arun SANKAR / AFP
Warga Sri Lanka putus asa untuk mendapatkan gas yang langka. Analisa terbaru 4 negara Asia bakal bernasib sama dengan Sri Lanka. 

Pemerintahnya telah memberlakukan pajak 10 persen pada industri skala besar selama satu tahun, untuk mengumpulkan 1,93 miliar dollar AS. Tujuannya untuk mencoba mengurangi kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah - salah satu tuntutan utama IMF.

"Jika mereka dapat mengumpulkan dana ini, pemberi pinjaman keuangan lainnya seperti Arab Saudi dan UEA (Uni Emirat Arab) mungkin bersedia memberikan kredit," Andrew Wood, analis S&P Global Ratings mengatakan kepada BBC.

Bulan lalu, seorang menteri senior di pemerintahan Pakistan meminta warganya untuk mengurangi jumlah teh yang mereka minum untuk memotong tagihan impor negara itu. Pinjaman China sekali lagi memainkan peran di sini, dengan Pakistan dilaporkan berutang lebih dari seperempat utangnya ke Beijing.

3. Maladewa

Maladewa telah melihat utang publiknya membengkak dalam beberapa tahun terakhir dan sekarang jauh di atas 100 persen dari PDB-nya. Seperti Sri Lanka, pandemi menghantam ekonomi negara kepulauan yang sangat bergantung pada pariwisata ini.

Negara-negara yang sangat bergantung pada pariwisata cenderung memiliki rasio utang publik yang lebih tinggi, tetapi Bank Dunia mengatakan negara kepulauan itu sangat rentan terhadap lonjakan harga bahan bakar karena ekonominya tidak terdiversifikasi.

Bank investasi AS JPMorgan mengatakan bahwa negara tujuan liburan itu berisiko gagal bayar utangnya pada akhir 2023.

Jangan lupa subscribe, like dan share channel TikTok Sriwijayapost di bawah ini:

Logo TikTok Sripoku.com

4. Bangladesh

Inflasi Bangladesh pada Mei menyentuh 7,42 persen, level tertinggi dalam 8 tahun. Dengan cadangan mata uang asing yang semakin menipis, pemerintahnya telah bertindak cepat untuk mengekang impor yang tidak penting.

Pemerintahan Presiden Abdul Hamid juga melonggarkan aturan untuk menarik pengiriman uang dari jutaan imigran yang tinggal di luar negeri, dan mengurangi perjalanan ke luar negeri bagi para pejabat.

Kepada BBC, analis kedaulatan di S&P Global Ratings Kim Eng Tan mengatakan negara dengan defisit transaksi berjalan - seperti Bangladesh, Pakistan dan Sri Lanka - pemerintah menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan subsidi.

Pakistan dan Sri Lanka telah meminta bantuan keuangan kepada IMF dan pemerintah lainnya. Namun "Bangladesh (masih) harus kembali memprioritaskan pengeluaran pemerintah dan memberlakukan pembatasan aktivitas konsumen," katanya.

Jeratan utang
Naiknya harga pangan dan energi mengancam ekonomi dunia yang dilanda pandemi. Sekarang negara-negara berkembang, yang meminjam banyak selama bertahun-tahun, mendapati bahwa fondasi ekonomi yang lemah membuat mereka sangat rentan terhadap gelombang kejut global. China telah menjadi pemberi pinjaman yang dominan untuk beberapa negara berkembang ini dan mungkin dapat mengendalikan nasib mereka secara krusial.

Masalahnya, tidak jelas seperti apa kondisi pinjaman Beijing sekarang, atau bagaimana mereka dapat merestrukturisasi utang. Kesalahan China, menurut Alan Keenan dari International Crisis Group adalah mendorong dan mendukung proyek infrastruktur mahal, yang belum menghasilkan keuntungan ekonomi yang besar.

"Yang sama pentingnya adalah dukungan politik aktif mereka untuk keluarga Rajapaksa yang berkuasa dan kebijakannya...Kegagalan politik ini adalah jantung dari keruntuhan ekonomi Sri Lanka,” dia mencontohkan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Jangan lupa Like fanspage Facebook Sriwijaya Post di bawah ini:

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved