"KITA Menjadi Budak di Rumah Sendiri," Tak Ada Lagi Sindiran Pedas Gaya Buya Syafii
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi tanah air, sekaligus menyisakan semangat perjuangan membangun bangsa
Di perbukitan Bandar Lampung misalnya, pada tahun itu kerusakan hutan mencapai 80 persen. Ini disebabkan oleh warga yang berkepentingan menyambug kelangsungan hidup mereka. Di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, dari 100.000 hektar hutan bakau, kala itu 50 persen dalam kondisi rusak.
Penyebab utamanya adalah perluasan tambak yang tak terawasi dengan baik, di samping oleh kegiatan pertambangan minyak/gas yang beroperasi di kawasan itu. Buya mengatakan, sebenarnya tidak ada satu pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan.
Di Jawa, salah satu kawasan terpadat di muka Bumi, lahan persawahan dan perkebunan sudah kian habis, berubah fungsi menjadi perumahan, perkantoran, pergudangan, dan lain-lain.
Jika distribusi penduduk tak mengalami pemerataan, pada 2050 tidak mustahil Pulau Jawa akan jadi kering kerontang di tengah lautan kemiskinan golongan paria. Menurut Buya, keadilan untuk warga semakin memburuk dari hari ke hari. Sementara, mereka yang berada di puncak piramida menjadi penikmat kemerdekaan yang hampir tanpa batas.
"Saya tidak menyesal menjadi orang Indonesia. Namun, mengapa jiwa saya tetap saja berontak mengamati perkembangan Tanah Air yang teramat jauh dari cita-cita kemerdekaan," ucap Buya. "Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?" kata dia.
Semasa hidupnya, Buya Syafii dikenal sebagai tokoh pemikir bangsa. Gagasan-gagasannya banyak dijadikan pertimbangan para pemimpin untuk mengambil keputusan-keputusan besar. Buya Syafii tutup usia pada Jumat (27/5/2022) dalam usia 86 tahun.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi tanah air, sekaligus menyisakan semangat perjuangan membangun bangsa. Selamat jalan, Sang Bapak Bangsa.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com