"KITA Menjadi Budak di Rumah Sendiri," Tak Ada Lagi Sindiran Pedas Gaya Buya Syafii
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi tanah air, sekaligus menyisakan semangat perjuangan membangun bangsa
SRIPOKU.COM, JAKARTA--"Lalu, untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini?" Demikian disampaikan Buya Syafii dalam tulisannya yang menyoal kerusakan lingkungan di tengah lesatnya laju pertumbuhan penduduk dan pemerintahan yang korup. Dalam arsip berita Kompas.com, Oktober 2011, Ahmad Syafii Maarif atau akrab disapa Buya Syafii, mencurahkan kekhawatirannya akan laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang begitu pesat.
Diperkirakan, jumlah penduduk tanah air mencapai 400 juta pada tahun 2050, jika persentase pertumbuhan penduduk konsisten di kisaran 1 persen per tahun. Di tahun tersebut, jumlah penduduk di dunia ditaksir mencapai puluhan miliar.
Saat itulah jumlah penduduk Indonesia diprediksi menggeser posisi Amerika Serikat yang kini berada di peringkat ketiga setelah China dan India. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, menurut Buya, laju pertumbuhan penduduk yang tak terkendali akan melahirkan masalah-masalah serius yang sulit diperkirakan akibatnya.
"Dengan jumlah penduduk sekian miliar pada tahun 2050, pertanyaan mencekam yang sering mendera saya adalah: dengan tingkat korupsi dan perusakan hutan seperti yang berlaku sekarang, sementara pemerintah setengah lumpuh menghadapinya, apakah Indonesia tercinta ini masih memberikan kenyamanan untuk dihuni?" demikian tulis Buya Syafii. Kondisi ini, kata Buya, semakin mengkhawatirkan lantaran cakaran kuku asing mencengkram di dunia perbankan, di pertambangan migas, di tengah sistem perpajakan Indonesia yang sangat kumuh, dan kondisi bea cukai yang semrawut. Belum lagi, perilaku korup politisi dan pengusaha hitam.
"Apakah wajah bangsa ini pada tahun itu masih ceria atau sudah kusam sama sekali?" ujar Buya.
"Atau kita sudah menjadi budak di rumah kita sendiri? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tak pernah hilang dari ingatan saya, seperti jutaan warga lain yang seperasaan," tuturnya.
Angka kerusakan hutan Mengutip data Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2003, laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun. Periode 1997-2000 naik menjadi 3,8 juta hektare per tahun.
Sementara, tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tak berfungsi maksimal mencapai 59,6 juta hektare dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia. Greenpeace mencatat, tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektare per tahun.
Adapun data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015-2020 memperlihatkan, angka deforestasi atau kerusakan hutan sudah menunjukkan penurunan drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2015, angka kerusakan hutan mencapai 1,09 juta hektare per tahun. Lalu, 2016 angkanya turun menjadi 629,18 hektare per tahun.
Angka tersebut kembali turun di tahun 2017 menjadi 480,01 hektare, lalu 439,44 hektare. Di 2019, luas hutan yang rusak kembali meningkat jadi 462,46 hektare, dan turun lagi di 2020 menjadi 115,46 hektare. Buya menilai, kerusakan ini disebabkan oleh persekongkolan pengusaha dengan para pejabat.
"Kerusakan dahsyat ini umumnya dilakukan oleh pengusaha-pengusaha hitam yang bersekongkol dengan pejabat setempat. Kerusakan dalam skala lebih kecil juga berasal dari warga demi menyambung napas untuk hidup karena lapangan pekerjaan yang tidak tersedia," kata dia.
Pada akhirnya, manusia dihadapkan realita pahit, mengejar keperluan primer dan menanggung kerusakan lingkungan sebagai akibatnya. Buntut dari kerusakan lingkungan ini ialah habitat hewan dalam berbagai jenis makin terdesak oleh ulah manusia. Harimau, beruk, babi, dan binatang jenis lain mengamuk karena manusia telah menggusurnya. Keseimbangan ekosistem hancur berantakan.
Jika kerusakan lingkungan, darat, laut, dan udara, berjalan seperti sekarang, bahkan mungkin semakin ganas, nasib spesies-spesies itu pada tahun-tahun mendatang menjadi tanda tanya besar.
"Masihkah kita bangga sebagai manusia beradab yang mengacu pada sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab? Mohon dijawab pertanyaan ini dengan bahasa hati, tidak dengan bahasa kepentingan," ucap Buya.
Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juta memperlihatkan kerusakan serupa.