"DUA Kali Lahirkan Bayi," Hancur Hati Orangtua 12 Santriwati yang Dirudapaksa Oknum Guru Ngaji
Korban rudapaksa guru pesantren bernama Herry Wirawan yang berasal dari Garut ternyata masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
SRIPOKU.COM, JAKARTA--Pilu. Itulah gambaran perasaan keluarga korban rudapaksa guru agama di Bandung, Herry Wirawan. Dari 12 korban, 11 di antaranya berasal dari Kabupaten Garut.
Bukan cuma keluarga, kekecewaan juga dirasakan Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan.
Dia merasakan betul rasa marah dan perasaan yang berkecamuk dari para orang tua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, itu.
Korban rudapaksa guru pesantren bernama Herry Wirawan yang berasal dari Garut ternyata masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah menyaksikan pilunya momen pertemuan para orang tua dengan anak-anaknya yang sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dirudapaksa guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia empat bulan oleh anaknya, semuanya nangis," kenang Diah.
Orang tua korban pun berat terima kenyataan
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orang tua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orang tua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung, sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orang tua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Orang tua dan korban sama-sama diberi terapi psikologi
Kasus ini, menurut Diah, sangat menguras emosi semua pihak. Apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kami semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orang tua mereka," kata Diah.
Orang tua korban kebanyakan bukan orang mampu
Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orang tuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya.
Bahkan, jika para orang tua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.
Karena, para orang tua korban, menurut Diah, bukan orang-orang yang tergolong mampu.
Mereka, kebanyakan adalah buru harian lepas, pedagang kecil dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa pesantren sambil sekolah gratis di pesantren tersebut.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.
Kisah orang tua, yang anaknya lahirkan dua anak
Diah menceritakan ada anak korban Herry sampai melahirkan dua kali. Anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua.
"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Diah.
Korban yang melahirkan paling akhir pada bulan November ini usianya masih 14 tahun.
Setelah melahirkan, dia pun menawarkan bantuan jika orang tuanya tidak sanggup mengurus.
Namun, orang tuanya mau mengurusnya.
"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya.
Artikel ini telah tayang di TribunnewsBogor.com