Mengenang Letjen S Parman yang Jadi Korban Brutal G30S PKI, Ternyata Adik Petinggi PKI, Ini Kisahnya
Ya, S. Parman dikenal sebagai jenderal yang cerdas yang juga sebagai adik dari petinggi PKI.
Penulis: Nadyia Tahzani | Editor: Sudarwan
SRIPOKU.COM - Peristiwa G30S PKI menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia.
Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan peristiwa sejarah G30S PKI terjadi pada 56 tahun yang lalu.
Meski begitu, sejarah terkait G30S PKI masih ramai dibahas hingga sekarang.
Terlebih pada aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Salah satunya Siswondo Parman yang akrab disapa S Parman.
Namun tahukah kalian jika salah satu kerabat kandung Letjen Siswondo Parman, jenderal yang menjadi korban G30S PKI merupakan salah satu petinggi di Partai Komunis Indonesia.
Ia adalah Sakirman, kakak kandung sang Jenderal.
Bagaimana kisahnya? Berikut ulasannya.
Baca juga: Sempat Dituduh Jadi Dalang G30S PKI, Terjawab Sudah Alasan Mengapa Soeharto tak Jadi Sasaran Diculik
Adik Petinggi PKI
S Parman dikenal sebagai jenderal yang cerdas yang juga sebagai adik dari petinggi PKI.
Siswondo Parman lahir pada 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah.
Pada masa pendudukan Jepang S Parman bekerja pada Jawatan Kenpeitai.
Dia pernah ditangkap karena dicurigai Jepang namun akhirnya dilepas kembali.
Dia bahkan dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijen pada Kenpei Kasya Butai.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), kemudian diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Palisi Tentara di Yogyakarta.
Korban G30S PKI
Siswondo Parman menjadi korban ketika meletusnya Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan G30S.
Kala itu pada malam 30 September-1 Oktober di area rumahnya tidak ada petugas yang menjaga.
Hingga menjelang pagi hari pukul 04.00, ia dan istrinya terbangun dari tidurnya karena suara dari samping rumahnya.
Ia pun keluar untuk menyelidiki dan ternyata telah ada 24 tentara dari Pasukan Cakrabirawa (pasukan penjaga istana presiden) yang sudah menuju ke ruang tamu rumahnya.
Parman pun berganti pakaian dan ketika 10 Cakrabirawa mengikutinya.
Bahkan, istri Parman yang diminta untuk menghubungi Jenderal Ahmad Yani pun tidak bisa lantaran saluran telepon telah diputus.
Siswondo Parman pun diangkut dengan truk dan dibawa ke ke basis gerakan di Lubang Buaya.
Sesampainya di Lubang Buaya ia bersama dengan para tentara yang lain dieksekusi dan tubuhnya baru ditemukan pada 4 Oktober 1965.
Setelah itu jenazahnya pun dikuburkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober.
Sebelum dimakamkan, dirinya dikukuhkan sebagai Pahlawan Revolusi oleh Presiden Soekarno melalui SK Presiden Nomor 111/KOTI/1965.
Anti PKI
Pada bulan Desember 1949 S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya,
Kemudian menjadi Kepala Staf G dan mendapat tugas belajar pada Military Police School di Amerika Serikat tahun 1951, kembali ke tanah air dengan tugas di Kementerian Pertahanan.
Berada di lingkaran anti-PKI, sikap S. Parman kerap dipertanyakan, lantaran sang kakak, Ir. Sakirman merupakan anggota Politbiro PKI.
Sakirman juga merupakan pemimpin laskar rakyat bersenjata sayap kiri di Jawa Tengah.
Terlepas dari statusnya sebagai adik dari petinggi PKI, S. Parman merupakan salah satu jenderal paling disegani.
Kemampuan intelejensi S. Parman yang mumpuni membuatnya sangat diandalkan dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap PKI.
Tahun 1959, S. Parman kembali diangkat sebagai Atase Militer Rl di London dan 5 tahun kemudian ditugaskan sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat mayor jenderal.
Sebagai perwira intelijen yang berpengalaman S. Parman banyak mengetahui usaha-usaha pemberontakan PKl untuk membentuk Angkatan Kelima.
Karier Militer
Pada masa penjajahan Jepang, S. Parman sempat ikut dan diangkat sebagai perwira sipil Kempeitai (polisi militer Jepang).
Namun, setelah Indonesia merdeka ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ini merupakan cikal bakalnya Tentara Nasional Indonesia.
Kariernya di dunia militer cukup bagus. Pada tahun 1945 dia diangkat menjadi kepala staf dari Polisi Militer di Yogyakarta.
Empat tahun kemudian ia menjadi kepala staf untuk Gubernur Militer Jabodetabek dan dipromosikan menjadi mayor.
Ketrampilannya dalam bidang militer diuji ketika adanya pemberontakan yang dipimpin oleh Raymond Westerling.
Raymond Westerling bersama pasukannya yang bernama "Hanya Raja Angkatan Bersenjata" (Angkatan Perang Ratu Adil, APRA) melakukan pemberontakan dengan tujuan untuk membunuh komandan menteri pertahanan dan angkatan bersenjata.
Namun, pemberontakan itu dapat ditumpas oleh Siswondo Parman.
Kemudian pada 1951 ia dikirim untuk berlatih di Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat.
Karier Siswondo Parman semakin melejit, ia berhasil menduduki jabatan penting seperti Polisi Militer Nasional HQ, dan Departemen Pertahanan Indonesia.
Selain itu ia juga dikirim ke London sebagai atase militer ke Kedutaan Indonesia di sana.
Setelah itu pada 28 Juni dia yang berpangkat Mayor Jenderal kemudian diangkat menjadi asisten pertama dengan tanggung jawab untuk intelijen untuk Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani.
Baca juga: KISAH Jenderal Ahmad Yani yang Jadi Korban G30S PKI, Paginya Resmikan Jembatan Ampera Palembang