Kuasa Hukum Mantan Dirut PDPDE Sumsel Daftarkan Permohonan Praperadilan Terkait Status Tersangka
Tim penasehat hukum gabungan AYH, daftarkan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk penetapan tersangka dan penahanan AYH.
Penulis: Jati Purwanti | Editor: Refly Permana
SRIPOKU.COM - Tim penasehat hukum gabungan AYH, mendaftarkan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk penetapan tersangka dan penahanan AYH, Selasa (21/9/2021).
Menurut Perwakilan Tim Penasehat Hukum Gabungan AYH, Ifdhal Kasim, penetapan tersangka dan penahanan terhadap Dirut PDPDE Sumsel sejak 2014 tersebut bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan oleh KUHAP.
Penetapan juga terkesan tergesa-gesa, dipaksakan, dan eksesif menggunakan rambu hukum yang ada.
"Oleh karena itu, kami menguji di hadapan yang mulia majelis hakim, apakah penetapan dan penahanan tersangka seperti yang dilakukan oleh Jaksa seperti itu dapat dibenarkan secara hukum?" ujarnya melalui keterangan resmi.
Dia menyebut, kliennya tersebut merupakan seorang pengusaha yang profesional dalam yang melakukan bisnis.
Hal tersebut juga ditunjukkan dalam usaha patungan dengan BUMD atau dalam badan hukum perseroan terbatas yang legal dan sah.
Terlebih, dalam kerjasama patungan tersebut sebagai pihak swasta, AYH menggunakan uang dari modal sendiri atau bukan uang negara.
"Membeli dan menjual secara sah. Tak ada yang gratis, membeli dari swasta menjual juga ke swasta, tak ada apa pun fasilitas negara. Lalu klien kami ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dan ditahan pula, apa dasar hukumnya?," tambah Ifdhal.
Dia meyakini tindakan kejaksaan yang menjadikan AYH sebagai tersangka dan menahannya tersebut, selain melecehkan hukum dan akal sehat juga dikhawatirkan menjadi preseden hukum yang buruk bagi iklim bisnis yang sedang digenjot oleh Presiden.
"Akhirnya akan banyak pelaku usaha yang melakukan usaha patungan (joint venture) dengan BUMN/BUMD was-was, karena sewaktu-waktu bisa saja mereka dibidik dengan mudah melakukan korupsi," jelas dia.
Penetapan tersangka dan penahanan terhadap pengusaha rekanan PDPDE ini juga dinilai akan menciptakan iklim tidak kondusif bagi dunia usaha dalam membangun iklim bisnis yang sehat dan kompetitif.
"Bagi klien kami, ini jelas telah dirampas hak asasinya, yang oleh hukum dan konstitusi negara sewajibnya klien kami dilindungi," lanjut Ifdhal.
Terlebih lagi, ujar Ifdahl, sejak awl pemeriksaan kasus dugaan korupsi gas bumi di PDPDE kliennya itu selalu koperatif yakni menghadiri panggilan dari pihak kejaksaan.
"Tidak ada indikasi apapun klien kami melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatan. Gimana mengulangi, klien kami saja sudah mantan?," ujar dia.
Tak hanya itu, akibat penetapan tersangka tersebut mengkibatkan AYH tidak mendapatkan pemeriksaan secara layak.
Hal ini juga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan telah menimbulkan perlakuan yang secara sewenang-wenang dan tidak wajar bagi AYH.
"Ini tentu menimbulkan kerugian juga bagi klien kami baik secara materiil maupun immaterial, yang ikut kami proses dalam ikhtiar ini," kata Ifdhal.
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung RI menetapkan 2 orang tersangka terkait tindak pidana korupsi pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan pada periode 2010-2019.
"Kedua tersangka yaitu CISS dan AYH," kata Kapuspenkum Kejagung RI Leonard Eben Ezer dalam keterangannya, Rabu (8/9/2021).
CISS ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP- 22/F.2/Fd.2/09/2021 tanggal 08 September 2021. Dalam kasus ini, dia menjabat sebagai Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2008.
• Dihadiri Mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, Suasana Pemakaman Yulizar Dinoto Mantan Bupati Lahat
Sementara itu, AYH ditetapkan tersangka berdasarkan surat nomor: TAP- 23/F.2/Fd.2/09/2021 08 September 2021. AYH menjabat Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa sejak 2009 sekaligus merangkap Direktur PT PDPDE Gas sejak 2009 dan Direktur Utama PDPDE Sumsel sejak 2014.
Adapun kasus dugaan korupsi ini bermula saat pemerintah provinsi Sumatera Selatan mendapatkan alokasi membeli gas bumi bagian negara dari J.O.B PT Pertamina, Talisman Ltd. Pasific Oil And Gas Ltd. dan Jambi Merang.
Adapun pembelian gas bumi sebesar 15 MMSCFD berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengelola Minyak Dan Gas (BP MIGAS) atas permintaan Gubernur Sumsel pada 2010 lalu.
"Bahwa berdasarkan keputusan Kepala BP Migas tersebut yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara tersebut adalah BUMD Provinsi Sumsel (Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatra Selatan (PDPDE Sumsel)," jelasnya.
Akan tetapi, dengan dalih PDPDE Sumsel tidak mempunyai pengalaman teknis dan dana, maka PDPDE Sumsel bekerja sama dengan investor swasta PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN).
Leo menyebut PDPDE Sumsel membentuk perusahaan patungan (PT PDPDE Gas) yang komposisi kepemilikan sahamnya 15 persen untuk PDPDE Sumsel dan 85 persen untuk PT DKLN.
Akibat penyimpangan itu, kerugian keuangan negara yang dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan RI adalah 30.194.452.79 Dollar AS yang berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010 sampai dengan 2019 yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel.
"Selain itu sebesar USD 63.750,00 dan Rp 2,1 miliar yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel," ungkapnya.
Adapun CISS dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Sedangkan AYH ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Keduanya ditahan selama 20 hari terhitung sejak tanggal 8 September 2021 sampai dengan 27 September 2021.
Atas perbuatannya itu, tersangka dijerat pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Pasal 3 Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.