Berita Religi
Apa Hukumnya Melafalkan Niat dalam Sholat? Ada yang Menganggap Bid'ah, Ternyata Begini Penjelasannya
Salah satu hal yang dibiasakan saat sholat ialah mengawalinya dengan membaca niat, lantas apakah niat harus dilafalkan atau tidak? Ini hukumnya.
Penulis: Tria Agustina | Editor: Sudarwan
SRIPOKU.COM - Bagaimana hukumnya melafalkan niat dalam sholat? Begini penjelasan Ustaz Abdul Somad.
Sholat merupakan ibadah wajib yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim.
Ibadah wajib ini dikerjakan dalam 5 waktu dalam sehari.
Namun, ada ketentuan dalam mengerjakannya bagi perempuan.
Perempuan justru diberi keringanan dan hari libur untuk menunaikan sholat.
Lantaran perempuan mengalami haid atau datang bulan dan bahkan dilarang untuk sholat.
Selain itu, ada beberapa rukun serta syarat sahnya sholat.
Di antara syaratnya yakni bersuci, menghadap kiblat, dan lain-lain.
Begitu pula dengan rukun sholat terdiri dari takbiratul ihram, rukuk, sujud dan lain-lain.
Selain itu, ada pula melafalkan niat dalam sholat, apa sebenarnya hukumnya?
Berikut ulasan selengkapnya diuraikan oleh Ustaz Abdul Somad melalui Tanya Jawab Ustadz Abdul Somad.
Baca juga: Hukum Perempuan ke Masjid Melaksanakan Sholat Tarawih, Diperbolehkan Selama Menghindari Hal ini!
Melafalkan Niat
Berdasarkan Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar, berikut ini penjelasan mengenai hukum melafalkan niat dalam sholat.
Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan niat sholat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati.
Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya sia-sia?
Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati.
Tidak wajib melafalkan niat sholat, demikian juga dengan ibadah lainnya.
Diterimanya sholat tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
Mazhab Syafi’i berpendapat: boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu hati.
Andai tidak dilafalkan, maka sholat tetap sah dan diterima insya Allah jika memenuhi syarat, di antaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah.
Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Akan tetapi dianggap baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah.
Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama.
Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik.
Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini.
Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah SAW akan melaksanakan sholat, beliau mengucapkan: “Allahu
Akbar”.
Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali.
Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan sholat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam
atau makmum”.
Beliau juga tidak mengucapkan, “Sholat ada’ atau qadha’, atau sholat fardhu”.
Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang sholat,
bahwa sholat itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam sholat dengan zikir.
Lalu mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah melafalkan niat.
Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain.
Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah SAW dalam satu sholat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat masing-masing.
Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima,
apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ah dhalalah.
Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.