Kisah Ibu di Semarang: Suami Direbut Wanita Lain, Anak Dirudapaksa Preman, Pelaku Bebas Berkeliaran
"Alasan Kepolisan tidak menuntaskan kasus ini lantaran para pelaku residivis, kami harus menunggu mereka keluar dari penjara. Tapi tak ada kelanjutan
SRIPOKU.COM, SEMARANG - Ibu mana yang hati dan perasaannya tak hancur.
Ibu mana yang kerap menangis.
Ibu mana yang kuat menahan cobaan.
Manakala melihat si buah hati diperlakukan semena-mena.
Dirudapaksa preman.
Lalu ...
Ya itu, premannya bukan dihukum.
Malah melenggang bebas ...
Tindakan biadab preman ini menimpa seorang ibu di Semarang.
Kisah pilu seorang gadis diperkosa tiga preman terjadi bertepatan dengan sang ibu ditinggal suami yang direbut wanita lain.
Pelakor.
Inisial si ibu adalah SW.
Baca juga: Mengenal Zack Lee, Preman di Sinetron Buku Harian Seorang Istri, eks Nafa Urbach Blasteran 3 Negara!
Baca juga: CARI Mati, Menantang Maut, Pria Ini Selingkuhi Istri Preman: 3 Kali Tersenyum, Keempat Keok di Sawah
Dia menceritakan kisah anaknya yang menjadi korban perkosaan pada lima tahun lalu.
Dia ingat betul kejadian itu terjadi saat momen tahun baru.
Korban keluar rumah sendirian.
Ketika di jalan dia bertemu dengan seorang temannya yang mengajak ke suatu tempat di Meteseh, Kota Semarang.
Sesampai di tempat tersebut mereka dihampiri tiga orang pemuda.
Gerombolan pemuda tersebut menyuruh temannya untuk membeli minuman seorang diri dan meninggalkan korban.
Namun teman korban menolak yang berujung penganiyaan terhadapnya.
Bahkan tiga pemuda tersebut memukuli teman korban menggunakan genting.
Mendapat penganiyaan tersebut, teman korban lari ketakutan.
Setelah itu korban diseret oleh ketiga pemuda itu ke semak-samak dan terjadilah aksi pemerkosaan.
"Betapa terpukulnya saya atas kejadian biadab itu, apalagi saat itu suami saya juga kabur dibawa seorang pelakor," katanya dalam forum kesaksian korban yang diselenggarakan LRC-KJHAM.
SW lantas berupaya menempuh jalur hukum untuk menyeret para pelaku pemerkosa anaknya ke penjara.
Dia pun melaporkan kejadian itu ke Polrestabes Semarang.
Hampir bersamaan, setelah kejadian pemerkosaan itu ketiga pelaku di penjara namun berbeda dengan kasus tersebut.
Mereka bertiga dikenal sebagai preman kampung dan merupakan residivis berbagai kasus seperti penganiyaan dan kepemilikan senjata tajam.
"Alasan Kepolisan tidak menuntaskan kasus ini lantaran para pelaku residivis, kami harus menunggu mereka keluar dari penjara.
Namun hingga kini tidak ada kelanjutan," bebernya.
Baca juga: Preman Kampung Naik Pitam Istri Bareng Pria Idaman Lain, Selingkuhan Kocar-kacir dan Tewas di Ladang
Menurutnya, dirinya sudah berusaha maksimal namun tidak ada kejelasan dari Kepolisian.
Dia pun tidak dapat berbuat banyak dan memilih pasrah terhadap kasus tersebut.
Dia hanya berharap para pelaku pelecehan seksual ke depannya mendapat hukuman setimpal, kalau perlu hukuman mati.
"Tidak ada keadilan bagi anak saya, akan tetapi jangan bagi korban lain," paparnya.
Hamil
Sementara korban pemerkosaan Nur (bukan nama sebenarnya) mengatakan, tepatnya pada 2018 saat dirinya berusia 16 tahun mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga hamil.
Mendapat perlakuan tersebut, dia kehilangan semuanya mulai dari teman dan pendidikan.
Pasalnya saat itu dia dikeluarkan dari sekolah.
"Sekolah takut namanya tercemar sehingga saya dikeluarkan padahal saya ingin tetap melanjutkan sekolah saya yang saat itu masih kelas 2 SMA," ungkap warga Solo ini.
Nur juga harus memperjuangkan keadilan dengan membawa kasus kekerasan seksualnya yang dialaminya ke ranah hukum.
Dia harus bolak-balik ke kantor polisi dan pengadilan sembari mengurus anaknya yang masih bayi.
Setelah berbulan-bulan akhirnya pelaku dijebloskan ke penjara dengan hukuman selama tujuh tahun.
"Tuntutan hukuman selama 15 tahun namun vonis hanya 7 tahun.
Jujur saya tidak puas dengan vonis tersebut.
Saya telah kehilangan semuanya dari pendidikan, teman dan lainnya.
Hukuman itu saya rasa tidak setimpal," ungkapnya.
Baca juga: Preman Nekad Lawan Polisi, Nasibnya Berakhir di Sungai dengan 3 Peluru Bersarang di Tubuh
Pendamping Korban dari LRC-KJHAM, Lenny Ristiyani mengaku, korban kekerasan seksual di Jawa Tengah dan para pendamping seringkali kesulitan dalam mengakses keadilan secara hukum.
Selain itu, dari lingkungan para korban juga kurang memahami kekerasan seksual yang dialami oleh korban sehingga memilih menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara kekeluargaan seperti menikahkan korban dengan pelaku.
"Begitupun dengan masyarakat yang seringkali melontarkan stigma atau label negatif kepada korban seperti dicap sebagai perempuan nakal," ujarnya