Wong Kito
DOKTER Wanita Ini Sering Dipukul dan Dimarahi Pasiennya, Tapi Tetap Enjoy dan Nyaman, Ini Sosoknya!
Selama empat tahun terakhir menjadi dokter spesialis di RSJ Erba membuatnya merasa nyaman dan enjoy dalam menghadapi tantangan bertemu pasien
Penulis: maya citra rosa | Editor: Welly Hadinata
Laporan wartawan Sripoku.com, Maya CR
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Hampir setiap harinya, dr RA Mulya Liansari Sp KJ bertemu dan menangani pasien dengan gangguan jiwa di Rumah Sakit Jiwa Ernaldi Bahar (RSJ Erba) Palembang.
Sebagai dokter spesialis kedokteran jiwa sejak tahun 2017 lalu, dr Mulya seringkali bertemu pasien dengan berbagai permasalahan kejiwaan, juga dengan usia yang beragam mulai dari anak kecil hingga orang tua.
Dia bercerita, pasien pertamanya yang paling ia ingat adalah seorang atlit berusia 20 tahunan dengan gangguan perubahan perilaku Skizofrenia.
Pasien tersebut mengamuk dan merusak benda sekitarnya saat penyakit kejiwaannya mulai kambuh.
Namun dr Mulya harus menanganinya dengan sabar dan tidak terpancing emosi, sehingga pasien tersebut kembali tenang.
“Pasien atlit itu masih saya ingat karena waktu itu awal-awal menjadi dokter spesialis. Kalau mereka mengamuk itu bisa merusak atau memukul, saya pernah semua, dimarahi dan dipukul, tapi sebagai dokter tidak boleh diambil hati,” ujarnya.
Selama empat tahun terakhir menjadi dokter spesialis di RSJ Erba membuatnya merasa nyaman dan enjoy dalam menghadapi tantangan bertemu pasien dengan sakit kejiwaan.
Hal ini karena di Sumsel sendiri masih sedikit dokter umum yang mengambil spesialis kedokteran jiwa.
Setelah menempuh pendidikan dokter umum di Universitas Sriwijaya (Unsri) pada Tahun 2009, dr Mulya mengambil pendidikan dokter spesialis di Universitas Indonesia, dan menyelesaikannya pada tahun 2017.
“Setelah itu, saya masuk jadi dokter PNS di RSJ Erba, dan sampai saat ini nyaman, sudah terbiasa dengan pasien disini,” ujarnya, Senin (22/2/2021).
Menurutnya, selama ini orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dianggap meresahkan masyarakat dan seringkali mendapatkan penolakan ditengah keluarga.
Padahal seorang dengan gangguan jiwa juga dapat pulih dan bekerja seperti orang pada umumnya.
Beberapa pasien yang pernah ia rawat merupakan orang-orang yang sudah tidak terawat oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya, dengan gejala kejiwaan yang sudah parah, sehingga sulit untuk diobati.
Namun banyak pasien lainnya juga yang datang dengan gejala ringan hingga sedang yang masih bisa diobati, sehingga saat menjalani perawatan, pasien kemungkinan dapat pulih minimal dapat mengurus dirinya sendiri.
“Saat menangani pasien, kami tidak boleh menjanjikan pasien akan sembuh, tapi jika pun pulih minimal pasien tersebut bisa mengurus diri sendiri dan berfungsi meskipun tidak bisa kembali normal,” ujarnya.
Dalam beberapa kasus ODGJ juga, dr Mulya sering menemui pasien ODGJ yang setelah menjalani perawatan dapat kembali bekerja seperti biasa, walaupun masih minum obat secara rutin.
Wanita kelahiran Palembang 15 Juli 1981 juga mengatakan, dalam menangani pasien ODGJ, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan persuasi dengan menenangkan pasien dan mendengarkan apa yang dikatakan pasien.
Namun dokter tidak boleh menertawakan, terpancing emosi atau tidak boleh membenarkan atas apa yang dikatakan pasien.
Setelah itu, dokter boleh menawarkan kepada pasien untuk meminum obat atau melakukan suntikan.
“Kami tidak boleh baperan, sadar saja kalau mereka seperti itu karena memang bagian dari gejala ODGJ tersebut,” ujarnya.
Selain itu, ada dua kategori orang yang mengalami persoalan kondisi kejiwaan, orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) yaitu orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, perkembangan atau kulatias hidup, dan berisiko mengalami gangguan jiwa.
Juga sebutan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
“Saat melakukan pemeriksaan, dokter harus mengetahui perbedaan dari keduanya. Biasanya ODMK bisa melakukan konsultasi awal ke psikolog atau psikater, yang mana membuat nyaman terlebih dahulu,” ujarnya.
Namun sayangnya, saat ini stigma masyarakat masih sangat melekat menganggap ODMK dan ODGJ adalah orang-orang yang harus dijauhi dan mendapatkan respon dari lingkungan yang kurang tepat atau diobati dengan cara yang tidak ilmiah, akan tetapi saat kondisi dengan gejala berat, pasien baru dibawa ke rumah sakit.
Dia meminta kepada masyarakat agar tidak memberikan stigma negatif kepada ODMK dan ODGJ, justru memberikan respon yang baik untuk pemulihan orang tersebut.
“Tidak semua ODGJ itu dari faktor genetik, bisa dari faktor diri sendiri, karena lingkungan, atau permasalahan lain yang multikausal penyebabnya sehingga harus mendapatkan respon yang tepat dan dikonsultasikan jika adanya perubahan perilaku,” ujarnya.