Ada Andil Besar Orang Tionghoa Dibalik Lahirnya Sumpah Pemuda, Berawal Tempat Kosan

Rumah di Jalan Kramat Raya noor 106 Jakarta, menjadi lokasi kongkres pemuda ke II. Namun siapa kira pemilik rumah tersebut adalah seorang warga ketur

Editor: Yandi Triansyah
Dokumentasi Keluarga Sie Kong Lian
Salah satu peran pemuda Tionghoa dalam Sumpah Pemuda pada 1928 adalah Sie Kong Lian. Sie Kong Lian memberikan rumahnya di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, sebagai tempat untuk menggelar rapat Sumpah Pemuda pada 92 tahun silam. (Dokumentasi Keluarga Sie Kong Lian) 

SRIPOKU.COM -- Rumah di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta, menjadi lokasi kongkres pemuda ke II.

Namun siapa kira pemilik rumah tersebut adalah seorang warga keturunan Tionghoa, bernama Sie Kong Lian.

Rumah tersebut dipakai buat kos-kosan dari anak-anak Stovia.

Stovia merupakan sekolah untuk pendidikan kedokteran bagi rakyat pribumi pada zaman Hindia Belanda.

Beberapa tokoh diketahui pernah ngekos di rumah Sie Kong Lian ini.

Beberapa diantaranya yakni Ketua Kongres Pemuda II Soegondo Djojopoespito, Muhammad Yamin yang merupakan perumus naskah atau ikrar sumpah pemuda hingga Amir Syarifuddin.

Ternyata para pemuda selain menjadi lokasi tempat tinggal, kosan itu juga kerap kali dijadikan ajang diskusi mengenai kebangsaan.

Hingga sejarah pun tercipta di rumah tersebut.

Dimana Kongres Pemuda ke II itu diberlangsungkan di kediaman Sie Kong Lian.

Tidak hanya soal ikrar yang dihasilkan.

Namun cikal bakal lagu Indonesia Raya juga diperdengarkan pertama kali oleh seorang wartawan bernama WR Supratman.

Sie Kong Lian memberikan rumahnya sebagai tempat untuk menggelar rapat Sumpah Pemuda pada 92 tahun silam.

Catatan tersebut disampaikan Azmi Abubakar, pendiri Museum Pusaka Peranakan Tionghoa, pada akhir pekan kemarin.

Azmi Abubakar menyampaikan catatan sejarah itu dalam webinar bertajuk Nasionalisme dan Peran Tionghoa, Peran Tionghoa sejak Sumpah Pemuda, Masa Kini dan Masa Depan.

Webinar digelar NKRI OZ Community Inc bekerjasama dengan Forum Masyarakat Indonesia di Australia (FMIA) untuk memperingati 92 tahun Sumpah Pemuda.

Selain Azmi Abubakar, hadir pula pembicara lain, yakni Siauw Tiong Djin, pemerhati politik Indonesia dan Nur Arif, penasihat Lesbumi, PCNU Depok.

Tak ketinggalan, Yunarto Wijaya yang dikenal sebagai Direktur Eksekutif Charta Politika.

Diskusi dipandu Soraya Permatasari, Bloomberg Asia Pacific Editor for Breaking News yang juga adalah Ketua FMIA.

Dalam materi yang dibawakan, Azmi Abubakar mengatakan, peran penting orang-orang Tionghoa dalam Sumpah Pemuda 1928.

Siauw Tiong Djin, peraih gelar PhD Ilmu Politik Monash University di Melbourne, Australia, menyatakan, banyak stereotipe yang beredar tentang Tionghoa yang bertentangan dengan fakta sejarah.

"Orang-orang Tionghoa memiliki andil besar dalam menginspirasi lahirnya nasionalisme Indonesia," kata Siauw Tiong Djin, seperti dikutip dari Wartakota

Sayangnya, lanjut Siauw Tiong Djin, pemerintah kurang atau tidak berupaya memperbaiki bahan-bahan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.

Sementara Nur Arif, penasehat Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) PCNU Depok, mengajak untuk memahami sejarah kedatangan kaum Tionghoa ke Indonesia sejak 400 Masehi.

Nur Arif menghadirkannya dalam perspektif Islam Nusantara.

Nur Arif yang juga doktor ahli biomolekuler di Fakultas Kedokteran UI dan Tohoku University, Jepang, ini mempertanyakan, masih relevankah memandang etnis Tionghoa sebagai sebutan nonpribumi.

Yunarto Wijaya lebih menyoroti nasionalisme dalam konteks Indonesia sebagai konstruksi sosial yang terus mengalami kontestasi.

Mulai basis legitimasi berhadapan dengan tekanan globalisasi sampai bangkitnya 'kesukuan' yang dikomunikasikan dalam logika identitas primordial.

Ada pula konstruksi sosial dengan banyak yang menjiwai nasionalisme dalam konteks asli versus pendatang, jadi alasan untuk anti-asing.

100 Persen Indonesia

Menurut Yunarto Wijaya, perlu upaya 'menulis ulang' Tionghoa di Indonesia yang tidak berpatokan pada masa lalu dan tidak terpaku pada bidang politik dan ekonomi.

"Secara realistis, cara pandang berbeda terhadap konsep kebangsaan sangat diperlukan apabila stigma tentang Tionghoa ingin diubah," katanya.

Narasi baru nasionalisme, lanjut Yunarto Wijaya, harus fokus pada sisi kemanusiaan agar tidak terjebak pada kilau etnis tertentu.

Di webinar yang diikuti 300 orang dari Indonesia maupun luar negeri ini turut memberi pernyataan Christianto Wibisono dan Christian Silman, cicit pemilik gedung Sumpah Pemuda di Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Ada juga Grace Natalie dan Mari Elka Pangestu, Direktur Pelaksana Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan Bank Dunia.

Di video yang dikirimkan, Mari Pangestu menyatakan, "Walau keturunan (Tionghoa-red), kita adalah 100 persen orang Indonesia."

Menurut Andrew Wanandy, ketua panitia webinar, acara ini ditujukan untuk mengulas peran orang-orang keturunan Tionghoa sejak peristiwa pergerakan pemuda, perjuangan kemerdekaan hingga masa pembangunan dan reformasi sekarang ini.

“Webinar ini sekaligus untuk menegaskan hal tersebut dalam semangat nasionalisme dan perayaan Sumpah Pemuda,” ujar Andrew yang juga adalah presiden NKRI OZ Community Inc.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Rumah Sie Kong Lian di Kramat Raya Jakarta Pusat Jadi Tempat Menggelar Rapat Sumpah Pemuda 1928

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved