Berita Palembang
KPK Hadirkan Plt Bupati Muaraenim Juarsah di Sidang Tipikor, Jadi Saksi Kasus Suap 16 Paket Proyek
Dengan menggunakan peci berwarna hitam, pakaian batik berwarna coklat muda, Juarsah hadir di ruang sidang Tipikor Palembang sebagai saksi bersama 3
Laporan wartawan Sripoku.com, Chairul Nisyah
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Plt Bupati Muara Enim H Juarsah SH hadir di ruang sidang, Pengadilan Tipikor PN Palembang, Selasa (20/10/2020).
Dengan menggunakan peci berwarna hitam, pakaian batik berwarna coklat muda, Juarsah hadir di ruang sidang Tipikor Palembang sebagai saksi bersama 3 saksi lainnya.
Ia dihadirkan oleh Jaksa Penuntun Umum KPK, sebagai saksi atas kasus dugaan suap 16 paket proyek di Muara Enim.
Dari pantauan Sripoku.com, Sidang tipikor dimulai sekira pukul 10.00 wib, dengan agenda mendengarkan keterangan dari 4 saksi, yang diantaranya Plt Bupati Muara Enim H Juarsah SH.
Serta 9 orang kuasa hukum dari terdakwa Haris HB, dan Ramlan Suryadi.
Sidang dijalankan dengan penerapan protokol kesehatan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Erma Suharti SH MH.
Sidang juga dilakukan secara virtual, yang menyambungkan ruang sidang dengan terpidana Ahmad Yani yang sebelumnya telah divonis majelis hakim hukuman 5 tahun penjara.
Baca juga: DPRD Muaraenim Usul Berhentikan Bupati Muaraenim Non Aktif Ahmad Yani dan Gantinya adalah Juarsah
Baca juga: Bupati Muara Enim Nonaktif Ahmad Yani Divonis 5 Tahun Penjara, Lebih Ringan dari Tuntutan JPU
Baca juga: Menurut Jaksa KPK, Jawaban Ahmad Yani di Persidangan Berbelit-belit, Seperti Orang Mau ke Pasar Km 5
Diberitakan sebelumnya, Bupati Muara Enim Nonaktif Ahmad Yani Divonis 5 Tahun Penjara.
Ahmad Yani terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (5/5/2020).
Ahmad Yani terbukti bersalah melanggar ketentuan sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 12 a UU tipikor jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Pelaku divonis hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp 2,1 miliar yang apabila tidak dibayar selama 1 bulan, maka harta benda terdakwa akan dilelang,"
"Apabila tidak mencukupi, maka digantikan dengan 8 bulan penjara," kata Erma Suharti selaku hakim ketua pada sidang Ahmad Yani.
Vonis yang diberikan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU KPK yang mana pada saat itu Ahmad Yani dituntuk hukuman 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
Majelis hakim juga menolak tuntutan JPU KPK yang menuntut agar hak politik Ahmad Yani dicabut.
Mengingat hal yang meringankan terdakwa yakni berstatus sebagai kepala keluarga yang masih memiliki tanggungan.
"Hal-hal memberatkan yakni bahwa terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam memberantas korupsi serta sebagai seorang bupati seharusnya menjaga kepercayaan warganya." kata Erma.
Setelah adanya putus dari hakim, kuasa hukum Ahmad Yani, Maqdir Ismail mengatakan pihaknya masih memikirkan atas putusan hakim tersebut.
Ia menilai bahwa, selama persidangan semua kebenaran seolah berada di pihak A.Elfin MZ Muchtar yang merupakan PPK proyek yang juga ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara ini.
"Menurut kami tidak adil. Karena itu nanti akan kami bicarakan bagaimana sikap kami dalam menyikapi putusan ini," katanya.
Ahmad Yani terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 3 September 2019 lalu. Ia terjerat kasus suap perkara 16 paket proyek di Dinas PUPR Muara Enim.
Tepatnya pada proyek Dana Aspirasi DPRD Kabupaten Muara Enim pada proyek APBD Murni TA 2019 di Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim senilai Rp 130 miliar.
Dalam dakwaan terungkap bahwa terdakwa menerima fee sebesar 10% dari proyek tersebut.