Kilas Balik

Cerita Anak Jenderal Yani: Setelah Bapak Ditembak Kami Selalu Berpindah Rumah

Eddy, sapaannya merupakan anak ke-8 dari Jendral TNI Achmad Yani yang gugur dalam peristiwa 30 September 1965

Editor: Wiedarto
Kolase Foto: indocropcircles.wordpress.com/tribunnews/bartzap.com/net via TribunManado.co.id
(Ilustrasi) Kesaksian Eks Personel KKO AL Pengangkat Jenazah Korban G30S di Sumur Lubang Buaya, Jasad Jenderal Ahmad Yani Paling Mengenaskan 

SRIPOKU.COM--Eddy, sapaannya merupakan anak ke-8 dari Jendral TNI Achmad Yani yang gugur dalam peristiwa 30 September 1965. Eddy menjadi saksi mata kematian ayahnya. Saat kejadian, Eddy yang membangunkan sang ayah dari tidurnya ketika pasukan Cakrabirawa datang.”Betul semua seperti yang ada di film termasuk kejadian yang ada di Lubang Buaya. Waktu kejadian usia saya masih 7 tahun,” katanya kepada TribunJakarta.com, Rabu (30/9).
Melihat sang ayah ditembak membabi buta di depannya, membuat Eddy kerap histeris selama beberapa tahun pascakejadian.Bukan hanya menangis, beberapa kali ia berteriak ketika mengingat kejadian itu.”Sejak kejadian itu saya trauma, saya lihat bapak ditembak. Pas ditembak itu bapak cuma teriak “aduh”. Saya yang bangunin bapak, saya dengar semua percakapan Cakrabirawa itu dengan almarhum seperti apa,” jelasnya.
Akhirnya, selepas kejadian ia bersama keluarga kerap hidup berpindah-pindah.Dalam kurun waktu satu tahun, Eddy bersama ibu dan tujuh saudara kandungnya singgah ke beberapa kota di Pulau Jawa.Alasan keamanan membuat mereka hidup berpindah, menjalani home schooling hingga dikelilingi dengan pengawal saat berpergian.Selanjutnya, di tahun 1966, keluarganya mulai menetap dan menempati rumah di Jalan Lembang, Jakarta Pusat.
Rumah yang berhadapan dengan kediamannya dulu saat penembakan ayahnya.”Setelah peresmian di tahun 1966 (Museum Sasmita Loka Achmad Yani), ibu gak mau jauh-jauh dari rumah ini dan selalu ke sini.Jadi, ambil rumah di depan. Kita dari tahun 1966-1991 tinggal di situ, sampai almarhumah enggak ada. Tapi saya ke sini selalu nyaman,” ungkapnya.
Mulai menetap dan tak berpindah, Eddy dan saudara kandung lainnya mulai beraktifitas seperti biasa.Mereka tak lagi home schooling dan mengikuti pelajaran di sekolah umum.Sayangnya, penjagaan pengawal tetap dilakukan demi keamanan mereka.
Hingga akhirnya selepas Sekolah Menengah Pertama (SMP), Eddy tak lagi mendapat pengawalan dari personel TNI.”Pergi sekolah di antar sampai dalam sama pengawal. Pulang sekolah di jemput sama pengawal di kelas. Jadi benar-benar dikawal dan saya tidak main walupun sudah sekolah umum. Saya saat itu enggak nyaman lah ya, karena mikir akan ada apa ya sampai dijaga (dikawal) seperti ini. Tapi lepas SMP sudah enggak ada pengawal,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, trauma yang ada juga kian berkurang.Eddy mulai berbesar hati bila menjawab sejumlah pertanyaan perihal kejadian kelam tersebut.Walaupun sesekali air matanya menetes bila mengingat pasukan Cakrabirawa menembak sang ayah dihadapannya. (tribun jakarta/Kurniawati Hasjanah)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved