ngobeng
Ngobeng atau Ngidang, Tradisi Makan Bersama Wong Palembang, Saat ini Berangsur-angsur Ditinggalkan
Sebab, dalam satu kelompok, apabila mengambil makanan terlalu banyak atau secara berlebihan, otomatis akan terlihat secara langsung karena berhadapan
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Kota Palembang memiliki budaya yang sangat beragam dan kental dengat tradisi Kesultanan Darussalam.
Salah satu tradisi di Palembang yang sudah ada sejak zaman Kesultanan Darussalam yaitu ngobeng atau ngidang berupa makanan yang dihidangkan dengan berbagai macam hidangan yang dimakan secara beramai-ramai.
Hal ini dikarenakan menghormati dan memuliakan tamu menjadi suatu yang sangat dianjurkan.
Namun sayangnya, saat ini tradisi ngidang ini sudah jarang dijumpai.
Sejarah ngidang ini berawal dari Arab, namun pada zaman Kesultanan Darussalam Palembang, cara tersebut dibuat berbeda.
Jika dalam budaya Arab semua hidangan dijadikan satu sedangkan dengan cara Palembang sendiri lauk-pauk semua terpisah, tidak dijadikan satu.
Di Palembang sendiri, ngidang ini masih melekat. Di daerah Tangga Buntung, 13-14 Ulu misalnya, masih mempertahankan tradisi ini di tengah kemajuan zaman.
Inilah yang menjadi tugas utama kita untuk kembali memperkenalkan warisan budaya serta mempertahankannya.
• BREAKING NEWS : 5 Orang Napi Narkoba di Lapas Kelas II A Lahat Kabur
Ngidang merupakan tata cara penyajian makanan saat ada acara seperti sedekah, pernikahan, khitanan dan lain-lain.
Cara penyajiannya dengan lesehan dan setiap penyajian hidangan untuk delapan orang.
Hidangan yang dihidangkan ini diletakkan di atas selembar kain dan nasinya dihidangkan di nampan yang diletakkan di tengah dan sekelilingnya berupa lauk yang ditempatkan di piring-piring kecil serta disediakan minumannya.
Dalam budaya ngidang ada syarat penataan makanan yang dilakukan secara silang, yakni lauk harus berdampingan dengan pulur.
Agar tata krama para tamu saat bersantap terjaga.
Dengan syarat itu, artinya tamu tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk.
Ini juga sesuai syariat Islam dan tradisi ini juga mengajarkan tamu untuk menjaga perilakunya.
Kegiatan ini juga disebut dengan besaji yaitu menghidangkan makanan dan beringkes atau merapikan semua kebutuhan.
Dengan cara seperti ini juga akan menciptakan suasana yang penuh dengan keakraban dan kekeluragaan.
Petugas khusus yang membawa makanan tersebut disebut ngobeng yang melayani secara langsung para tamu.
Selama prosesi ini para tamu tak henti-hentinya dilayani oleh ngobeng.
Mereka akan benar-benar diperhatikan kebutuhannya.
Misal kalau lauk atau nasinya habis bisa minta tambah ke ngobeng.
Namun ketika berada dalam suatu kelompok hidangan maka dengan sendirinya para tamu undangan menjaga prilaku.
Sebab, dalam satu kelompok, bila mengambil makanan terlalu banyak atau secara berlebihan, otomatis akan tampak secara langsung karena berhadapan.
Budaya ini mengajarkan kita untuk tidak mubazir.
Tradisi ngidang ini lebih nikmat makannya menggunakan tangan.
Untuk mencuci tangan ngobeng akan melayani secara langsung dengan membawa ceret berisi air dan juga membawa tempat sisa air cuci tangannya.
Menu yang disajajikan adalah makanan khas Palembang seperti malbi, opor ayam, ayam kecap, ikan, pulur terdiri dari buah-buahan, sayuran, acar, sambal dan lain-lain.
Nasinya berupa nasi minyak ataupun nasi putih.
• Bukan dengan Pria Berseragam, Rara LIDA Bak Susul Nasib Lesty, Pacaran dengan Sohib Rizky Billar?
Kepala Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Hj Zanariah S.I.P. M.Si mengatakan, tradisi atau budaya ngobeng-ngidang seperti sebuah proses gotong royong.
Karena dalam satu kelompok yang terdiri dari delapan orang untuk satu hidangan bisa saling berkomunikasi dan memperlihatkan tolong menolong.
Makan bersama seperti ini punya kesempatan untuk mengobrol satu sama lain, dan mengambil makanannya pun tak perlu antre namun secara bergantian dan saling oper piringnya.
Ini merupakan salah satu bentuk saling bantu, yang jadi bagian bersikap gotong-royong.
Zanariah menilai, sebaiknya tradisi ini ha rus tetap dilestarikan dan jangan sampai punah.