Ramadan 2020

Ternyata Ini Cara Ganti Utang Puasa yang Belum Dibayar Bertahun-tahun, Ada Penjelasan Rincinya!

Lalu bagaimana jika belum lunas dibayar? Apakah boleh berpuasa? dan bagaimana cara menggantinya?

Penulis: Rizka Pratiwi Utami | Editor: Welly Hadinata
SRIPOKU.COM/ANTON
Lafaz Niat Puasa Arafah dan 10 Keistimewaan Puasa Sunah Arafah, No 7 Dimudahkan Kematiannya 

SRIPOKU.COM - Tak terasa bulan Ramadan 2020 tinggal hitungan jari lagi.

Meski tahun ini sangat berbeda dengan tahun sebelummnya karena pandemi Virus Corona, namun semoga ibadah puasa kalian bisa berjalan dengan sempurna ya.

Jatuh pada tanggal 24 Mei puasa pertama di ramadan 1441 H, biasanya masih ada beberapa hutang puasa yang belum lunas dibayarkan.

Lalu bagaimana jika belum lunas dibayar? Apakah boleh berpuasa? dan bagaimana cara menggantinya?

Pertanyaan tersebut sering muncul ketika menjelang bulan ramadan.

Tak jarang memang, puasa sering dikerjakan secara tidak full karena memiliki kendala. Apalagi bagi wanita yang setiap bulannya selalu kedatangan tamu bulanan.

Tidak saja wanita, lelaki pun bisa tak ikut berpuasa di bulan ramadan lantaran sakit atau ada hal lain.

Bacaan Doa Buka Puasa Ramadan yang Biasa Diucapkan Rasulullah serta Anjuran Buka Puasa di Awal Waktu

Dulu Kontroversial, Lihat Mewahnya Istana Awkarin, Selebgram Tajir Melintir dengan 11 Pabrik Uang!

Menurut Al-quran dalam surat Al Baqarah, 

Allah membolehkan, bagi orang yang tidak mampu menjalankan puasa, baik karena sakit yang ada harapan sembuh atau safar atau sebab lainnya, untuk tidak berpuasa, dan diganti dengan qadha di luar ramadhan. Allah berfirman,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 184)

Kemudian, para ulama mewajibkan, bagi orang yang memiliki hutang puasa ramadhan, sementara dia masih mampu melaksanakan puasa, agar melunasinya sebelum datang ramadhan berikutnya. Berdasarkan keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ

Dulu saya pernah memiliki utang puasa ramadhan. Namun saya tidak mampu melunasinya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950 & Muslim 1146)

Dalam riwayat muslim terdapat tambahan,

الشُّغْلُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

‘Karena beliau sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

A’isyah, istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu siap sedia untuk melayani suaminya, kapanpun suami datang. Sehingga A’isyah tidak ingin hajat suaminya tertunda gara-gara beliau sedang qadha puasa ramadhan. Hingga beliau akhirkan qadhanya, sampai bulan sya’ban, dan itu kesempatan terakhir untuk qadha.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر

Disimpulkan dari semangatnya A’isyah untuk mengqadha puasa di bulan sya’ban, menunjukkan bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. (Fathul Bari, 4/191).

Ilustrasi - Wanita langsing karena puasa.
Ilustrasi - Wanita langsing karena puasa. (https://www.google.co.id/)

Dan bagaimana jika puasa di bulan ramadan belum di qadha selama bertahun-tahun, dan ramadan sudah datang lagi?

Menurut Ustadz Ammi Nur Baits, dari konsultasi syariah.

Sebagian ulama memberikan rincian berikut,

Pertama, menunda qadha karena udzur, misalnya kelupaan, sakit, hamil, atau udzur lainnya. Dalam kondisi ini, dia hanya berkewajiban qadha tanpa harus membayar kaffarah. Karena dia menunda di luar kemampuannya.

Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang sakit selama dua tahun. Sehingga utang ramadhan sebelumnya tidak bisa diqadha hingga masuk ramadhan berikutnya.

Jawaban yang beliau sampaikan,

ليس عليها إطعام إذا كان تأخيرها للقضاء بسبب المرض حتى جاء رمضان آخر ، أما إن كانت أخرت ذلك عن تساهل ، فعليها مع القضاء إطعام مسكين عن كل يوم

Dia tidak wajib membayar kaffarah, jika dia mengakhirkan qadha disebabkan sakitnyam hingga datang ramadhan berikutnya. Namun jika dia mengakhirkan qadha karena menganggap remeh, maka dia wajib qadha dan bayar kaffarah dengan memberi makan orang miskin sejumlah hari utang puasanya.

Kedua, sengaja menunda qadha hingga masuk ramadhan berikutnya, tanpa udzur atau karena meremehkan.

Download Drama Korea Memorist Episode 11 - 12, Han Sun Mi dalam Bahaya, Ada Link untuk Streaming

Jadwal Sholat atau Waktu Sholat Hari Ini, Rabu 15 April 2020 untuk Daerah Kota Palembang

Ada 3 hukum untuk kasus ini:

Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha, sekalipun sudah melewati ramadhan berikutnya. Ulama sepakat akan hal ini.

Kewajiban bertaubat. Karena orang yang secara sengaja menunda qadha tanpa udzur hingga masuk ramadhan berikutnya, termasuk bentuk menunda kewajiban, dan itu terlarang. Sehingga dia melakukan pelanggaran.

Karena itu, dia harus bertaubat.
Apakah dia harus membayar kaffarah atas keterlambatan ini?
Bagian ini yang diperselisihkan ulama.

Pendapat pertama, dia wajib membayar kaffarah, ini adalah pendapat mayoritas ulama.

As-Syaukani menjelaskan,

وقوله صلى الله عليه وسلم: “ويطعم كل يوم مسكينًا”: استدل به وبما ورد في معناه مَن قال: بأنها تلزم الفدية من لم يصم ما فات عليه في رمضان حتى حال عليه رمضان آخر، وهم الجمهور، ورُوي عن جماعة من الصحابة؛ منهم: ابن عمر، وابن عباس، وأبو هريرة. وقال الطحاوي عن يحيى بن أكثم قال: وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin”, hadis ini dan hadis semisalnya, dijadikan dalil ulama yang berpendapat bahwa wajib membayar fidyah bagi orang yang belum mengqadha ramadhan, hingga masuk ramadhan berikutnya. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat yang diriwayatkan dari beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah.

At-Thahawi menyebutkan riwayat dari Yahya bin Akhtsam, yang mengatakan,

وجدته عن ستة من الصحابة، لا أعلم لهم مخالفًا

Aku jumpai pendapat ini dari 6 sahabat, dan aku tidak mengetahui adanya sahabat lain yang mengingkarinya. (Nailul Authar, 4/278)

Pendapat kedua, dia hanya wajib qadha dan tidak wajib kaffarah. Ini pendapat an-Nakhai, Abu Hanifah, dan para ulama hanafiyah. Dalilnya adalah firman Allah,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-aqarah: 184)

Dalam ayat ini, Allah tidak menyebutkan fidyah sama sekali, dan hanya menyebutkan qadha.

Imam al-Albani pernah ditanya tentang kewajiban kaffarah bagi orang yang menunda qadha hingga datang ramadhan berikutnya. Jawaban beliau,

هناك قول، ولكن ليس هناك حديث مرفوع

Ada yang berpendapat demikian, namun tidak ada hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) di sana. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 3/327).

Dilansir dari rumah fiqih, apabila  seseorang punya hutang puasa, namun tidak dibayar-bayar sampai lewat Ramadhan berikutnya. Bahkan boleh jadi sudah berkali-kali Ramadhan terlewat sedangkan hutang puasa belum dibayar juga.

Dalam hal ini seluruh ulama sepakat bahwa hutang puasa itu tidak gugur, walaupun sudah lama terlewat dan belum dibayar dengan qadha'.

Tidak ada istilah hangus atau pemutihan dalam masalah ini. Bahkan hutang puasa ini tidak bisa dikonversi menjadi bentuk lain seperti sedekah atau memberi makan fakir miskin, selagi masih sehat dan mampu berpuasa.

Maka bila masih sehat dan ada usia, segeralah bayarkan hutang qadha' puasa itu secepatnya. Dalam hal ini harus berlomba dengan malaikat Izrail, agar jangan sampai dia datang duluan, sementara hutang puasa masih banyak.

Mumpung masih ada kesempatan menikmati alam dunia, maka bayarkan hutang puasa itu. Semoga bisa menutup dosa-dosa dan kesalahan, dan semoga Allah SWT mengampuni.

Apakah Cukup Qadha' Saja Atau Ada Denda Lain?

Kalau hutang puasa biasa, memang yang harus dibayarkan cukup qadha' puasa sejumlah hari yang ditinggalkan. Para ulama umumnya sepakat akan hal itu.

Namun mereka agak berbeda pendapat kalau kasusnya hutang puasa tidak dibayarkan, hingga lewat setahun sampai bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun kemudian. Apalagi bila bukan cuma setahun tetapi bertahun-tahun lamanya hutang puasa itu masih belum dibayarkan.

1. Jumhur Ulama : Denda Fidyah

Sebagian fuqaha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha‘ setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda).

Perlu diperhatikan, meski disebut dengan lafal ‘kaffarah’, tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin.

Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan. Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah).

2. Al-Hanafiyah : Tidak Ada Denda

Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Madzhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha‘i.

Menurut mereka tidak boleh kita mengqiyas ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha‘ saja. Yang penting jumlah hari puasa qadha'nya sesuai dengan jumlah hutang puasanya.

Bagaimana Kalau Lupa Jumlah Hutangnya?

Nah, kalau masalah yang satu ini memang agak sulit juga menjawabnya. Sebab hutang kita kepada Allah SWT itu seharusnya kita catat baik-baik.

Maka cara yang paling masuk akal adalah dengan cara melakukan appraisal atau perkiraan. Cara ini biasa dilakukan oleh lembaga profesional untuk menaksir kira-kira nilai suatu asset. Biasanya perbankan menggunakan jasa ini untuk menaksir nilai suatu asset yang dijadikan jaminan.

Kalau dalam bahasa fiqihnya, kita bisa pakai istilah ijtihad. Maksudnya, orang yang berhutang ini dipersilahkan berijtihad untuk menghitung-hitung sendiri sesuai dengan perkiraannya.

Namanya cuma perkiraan, tentu tidak 100% akurat. Tetapi setidaknya ada dasar-dasar pijakan yang bisa dijadikan patokan dalam mengira-ngira jumlah hutang puasa.

Katakanlah misalnya dalam sekali Ramadhan ada kurang lebih 50% hari yang ditinggalkan tidak berpuasa. Maka kalau selama berturut-turut 5 tahun hal itu terjadi, kita bisa hitungan dengan mengalikan 15 hari selama 5 tahun. Hasil totalnya adalah 75 hari.

Buatlah list di atas catatan, isinya kolom nomor, hari ke berapa, dan tanggal pelaksanaan. Kemudian mulai lakukan qadha' puasa itu sehari demi sehari secara santai.

Yang penting setiap kali selesai satu hari puasa, contrenglah catatan itu serta beri tanggal pelaksanaannya. Semua itu agar kita punya catatan pasti dan tahu progres jadwal pembayaran hutang kita kepada Allah SWT.

Dalam pelaksanaan teknisnya, boleh saja puasa qadha' itu dijatuhkan pada hari-hari khusus yang nilai pahalanya bisa dapat plus, seperti hari Senin atau Kamis.

Atau boleh juga dijatuhkan pada tiap tanggal 13,14 dan 15 tiap bulan qamariyah, sebagaimana halnya puasa ayyamul biidh. Dan kalau mau puasa berselang-seling seperti puasa Nabi Daud alaihissalam juga boleh, malah akan lebih bagus lagi.

Tetapi semua teknis di atas bukanlah aturan baku dalam mengqadha' puasa. Tidak mampu seperti itu juga tidak mengapa. Yang penting dan paling utama adalah bagaimana agar jumlah hutang puasa bisa tertutup hingga selesai.

Dan kalau mau memperbanyak nilai pahala puasa, silahkan rajin-rajin mengerjakan ibadah puasa sunnah. Apalagi kalau bisa lebih banyak bersedekah, tentu pahalanya akan kita nikmati sendiri di akhirat.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved