MEMBONGKAR Naskah Asli Supersemar yang Hilang, Surat Perintah Sebelas Maret, Ada 3 Versi Mencuat!

MEMBONGKAR Naskah Asli Supersemar yang Hilang, Surat Perintah Sebelas Maret, Ada 3 Versi Mencuat!

Editor: Fadhila Rahma
National Geographic
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 

MEMBONGKAR Naskah Asli Supersemar, Surat Perintah Sebelas Maret, Setidaknya Ada 3 Versi yang Mencuat

SRIPOKU.COM - Meski sudah berusia 50 tahun, Supersemar masih menuai kontroversi.

Surat perintah bertanggal 11 Maret yang mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan di Indonesia itu menyimpan segudang misteri.

Dari sisi sejarah Supersemar adalah surat yang mengawali peralihan kepemimpinan nasional dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru.

Ini merupakan surat sakti yang menentukan kelahiran dan keabsahan pemerintahan Soeharto, sekaligus "penyingkiran" Soekarno.

Namun, pengungkapan misteri seputar Supersemar bisa dibilang menemui jalan buntu karena surat aslinya tidak diketahui keberadaannya.

Ia hilang secara misterius. Bersama dengan raibnya surat maha penting itu, berbagai spekulasi pun muncul.

Orang bertanya tentang siapa yang menyimpan surat itu, siapa sebenarnya yang membuatnya, seperti apa isinya, hingga apa tujuan dibuat dan bagaimana perintah itu kemudian dilaksanakan.

Dalam artikel berjudul "Arsip Supersemar 1966" yang diterbitkan Kompas 10 Maret 2015, ditulis:

Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.

Namun hingga saat ini setidaknya ada tiga versi naskah Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaannya: Mengapa ada tiga? Mana yang asli? Apakah ada bagian yang ditutupi?

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing.

Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama "Sukarno".

Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu.

Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama "Sukarno", pada versi kedua tertulis nama "Soekarno".

Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," kata Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).

Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).

Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu.

Dalam wawancara oleh Majalah Forumedisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan, naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.

Kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut "menghilang."

Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain?

Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku "30 Tahun Indonesia Merdeka" ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.

Penugasan atau pemaksaan?

Nah, selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial.

Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan anggota Tjakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.

Wilardjito mengatakan, saat itu Mayjen Basoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad), Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di Istana Bogor dengan membawa map merah muda.

M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno.

Wilardjito mengaku dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, ia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta.

Namun begitu, keterangan Wilardjito dibantah M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" halaman 186 Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor.

"Adalah Pak Jusuf yang mengusulkan supaya kami bawa bren, bawa sten, dan segala macam. Saya bilang, di sana ada dua batalyon Cakra (Tjakrabirawa), kami mau apa di sana?" katanya.

Cerita lain,menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara.

Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto.

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.

"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," kaat Asvi.

Kontroversi selanjutnya adalah soal isinya.

Bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya.

Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority.

Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Dengan interpretasi seperti itulah, Soeharto kemudian naik ke tampuk kekuasaan.

Mengungkap kebenaran

Kini, setelah 50 tahun berlalu, belum ada jawaban terang soal pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal. Namun ada harapan bahwa kegelapan itu terungkap.

Salah satu titik berangkatnya adalah konsistensi Arsip Nasional Republik Indonesia dalam mencari dokumen asli Supersemar.

Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.

Asvi Warman Adam berharap ANRI mendorong keluarnya peraturan pemerintah atas UU Kearsipan.

Apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang lebih untuk mencari naskah asli itu.

Bisa jadi, kewenangan itu termasuk menggeledah pihak-pihak yang mungkin menyimpan naskah otentik Supersemar tersebut.

Bila itu yang terjadi, maka ada harapan terjadi pelurusan sejarah. Bila dahulu sejarah selalu disesuaikan oleh kepentingan penguasa, kini sejarah juga memasukkan pandangan dan temuan dari banyak orang.

Adagium "Sejarah ditulis oleh para pemenang" tidak lagi jadi sesuatu yang mutlak.

Walau Soeharto tak lagi berkuasa, dan tak ada dampak langsung secara politik, pengungkapan misteri Supersemar tetap memiliki arti bagi bangsa Indonesia.

Setidaknya sebagai bangsa, sejarah dengan gamblang bisa diceritakan.

Pengungkapan Supersemar juga menjadi peringatan bagi para penguasa agar tidak membelokkan sejarah untuk kepentingannya. Karena mereka bisa saja menuliskan sejarah menurut kemauannya, namun tidak bisa menghapuskan kebenaran.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Di Manakah Naskah Asli Supersemar? Selama ini Ada 3 Versi soal Naskah Supersemar, https://wartakota.tribunnews.com/2018/03/11/di-manakah-naskah-asli-supersemar-selama-ini-ada-3-versi-soal-naskah-supersemar?page=all.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved