MEMBONGKAR Naskah Asli Supersemar yang Hilang, Surat Perintah Sebelas Maret, Ada 3 Versi Mencuat!
MEMBONGKAR Naskah Asli Supersemar yang Hilang, Surat Perintah Sebelas Maret, Ada 3 Versi Mencuat!
Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.
"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," kata Asvi Warman Adam, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).
Selain yang disimpan ANRI, ada pihak-pihak lain yang mengaku memiliki naskah aslinya (buku Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam, halaman 80).
Beberapa sumber menyebutkan bahwa naskah asli Supersemar disimpan di sebuah bank di luar negeri, sedangkan sumber lain menyebut yang asli sebenarnya sudah tidak ada karena dibakar dengan tujuan tertentu.
Dalam wawancara oleh Majalah Forumedisi 13, 14 Oktober 1993, mantan Pangdam Jaya sekaligus mantan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud mengatakan, naskah asli Supersemar diserahkan oleh Basoeki Rachmat, M Jusuf, dan dirinya kepada Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.
Kemudian Pak Harto menyerahkan surat itu pada Soedharmono untuk keperluan pembubaran PKI. Setelah itu surat tersebut "menghilang."
Apakah dikembalikan pada Soeharto karena Soedharmono mengaku tidak menyimpannya, atau disimpan orang lain?
Menurut Amirmachmud naskah asli Supersemar terdiri dari dua lembaran. Itu sebabnya buku "30 Tahun Indonesia Merdeka" ditarik dari peredaran karena di dalamnya memuat naskah Supersemar yang palsu, hanya satu lembar.
Penugasan atau pemaksaan?
Nah, selain soal keaslian, cerita mengenai proses kelahiran Supersemar juga kontroversial.
Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" (Syamdani halaman 189), diceritakan ada mantan anggota Tjakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wilardjito yang menyaksikan bahwa Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.
Wilardjito mengatakan, saat itu Mayjen Basoeki Rachmat (saat itu Pangkostrad), Mayjen Maraden Panggabean (Wakasad), Mayjen M Yusuf dan Mayjen Amirmachmud mendatangi Soekarno di Istana Bogor dengan membawa map merah muda.
M Yusuf kemudian menyodorkan sebuah surat yang harus ditandatangani. Sempat terjadi dialog dengan Bung Karno.
Wilardjito mengaku dari jarak tiga meter di belakang Soekarno, ia melihat Basoeki Rachmat dan M Panggabean menodongkan pistol. Bila itu yang terjadi, maka orang bisa menyimpulkan bahwa sedang terjadi kudeta.
Namun begitu, keterangan Wilardjito dibantah M Yusuf dan Amirmachmud. Dalam buku "Kontroversi Sejarah Indonesia" halaman 186 Amirmachmud hanya menyebutkan sempat ada rencana membawa senjata ke Bogor.