Sedih, Seorang Kakek Buta 76 Tahun ini Hidup Sebatang Kara di Pos Kamling Berukuran 2X3 Meter
Seorang Kakek Buta 76 Tahun, Hidup Sebatang Kara di Dalam Pos Kamling Berukuran 2X3 Meter
Penulis: Chairul Nisyah | Editor: Welly Hadinata
Seorang Kakek Buta 76 Tahun, Hidup Sebatang Kara di Dalam Pos Kamling Berukuran 2X3 Meter
SRIPOKU.COM - Kisah pilu datang dari seorang kakek buta yang tinggal di Pos Kamling berukuran 2X3 meter di Desa Jambangan Kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Pos kamling berukuran 2X3 meter tersebut hanya ada sebuah sepeda tua dan beberapa barang rongsokan yang berceceran di bawah dipan usang yang berlapis plastik bekas baliho kampanye.
Kakek tua dan buta itu diketahui bernama Wardi 76 tahun.
Ia hidup sebatang kara dengan kondisi ke dua matanya buta.

Melansir dari laman berita Kompas.com, Saat disambangi “kediaman” Wardi (76) tak menemukan keberadaan kakek sebatang kara yang mengalami kebutaan pada kedua matanya tersebut.
“Kalau tidak ada biasanya keliling nyari rosok atau nyari pasir di sungai. Coba cari di sungai di Utara desa,” ujar Marinem, tetangga di kediaman Mbah Wardi, Senin (19/8/2019).
Kompas.com, kemudian menyusuri jalan desa menuju arah yang ditunjukkan Marinem.
Di sebuah hamparan persawahan di utara desa terlihat Wardi menenteng sebuah tape recorder tua dengan dibonceng sepeda motor warga desa.
Setelah berbincang sejenak terkait tujuan Kompas.com bertemu, Mbah Wardi mempersilakan berkunjung ke kediamannya.
“Saya sudah hampir 20 tahun tinggal di pos ronda ini, sebelumnya tinggal di samping pagar warga,” kata mbah Wardi.
Yatirin, pemilik warung di depan pos ronda yang ditinggali Mbah Wardi mengaku lebih dari 7 bulan pria yang kedua matanya buta tersebut tinggal di bawah pagar warga.
Karena sering kehujanan, Mbah Wardi kemudian pindah ke pos ronda di Dukuh Mbebegan yang sudah lama tidak di fungsikan sampai saat ini.
“Sifatnya itu tidak mau merepotkan orang lain. Ini pos ronda juga bocor kalau musim hujan, dia tidurnya di emperan rumah saya, disuruh masuk ya tidak mau,” ucapnya.
• Asik Teleponan saat Mengendarai Motor, Pria Ini Tersungkur di Jalan Ramai, Videonya Langsung Viral!
• Aneka Hidangan Nusantara hingga Italia Hadir The Zuri Hotel & Convention Palembang All You Can Eat
• Prediksi Skor Semen Padang vs Persela Liga 1 2019: Tim Kabau Sirah Buru Kemenangan Kedua
• Lirik dan Terjemahan Lagu Korea Adios Everglow dari Album Hush Lengkap dengan Video Klip
• Cinta Tak Bisa Ditebak, 6 Pernikahan Ini Viral Karena Beda Usia, Ada yang Berbeda hingga 60 Tahun!
Mbah Wardi memilih hidup menggelandang dari pos ronda ke posa ronda lainnya setelah istrinya meninggal saat dia berusia 35 tahun.
Dulu, Mbah Wardi memiliki gubuk di lahan pinjaman di dukuh Jambangan Kulon, namun karena roboh dia akhirnya menggelandang tak tentu arah.
“Rumah warisan orangtua yang ninggali kakak saya, daripada merepotkan orang lain saya tinggal di pos ronda saja,” tambahnya.
Dari perkawinannya, Wardi mempunyai 3 orang anak, satu di antaranya meninggal dunia. Karena kemiskinan, kedua anak Wardi dipelihara oleh adiknya di luar kota.
Saat ini, kedua anaknya tak ada di Ngawi, anak keduanya tinggal di Kota Jambi.
“Saya tidak mau merepotkan anak karena saya dulu tidak bisa membahagiakan mereka karena tidak punya apa apa. Saya kerja keras tapi tidak cukup untuk memberi penghidupan yang layak kepada mereka,” katanya
Kebutaan Mbah Wardi Akibat Terlalu Keras Bekerja
Wardi mengalami kebutaan ketika berumur 35 tahun.
Dari diagnosa dokter mata di Kota Madiun, kebutaan yang dialami karena syaraf mata Wardi mengalami kerusakan yang diakibatkan kerja yang terlalu keras.
Karena lahir dari keluarga yang tidak mampu membuat Wardi harus bekerja keras sebagai buruh tani dan buruh penggali pasir.
Beban kerjanya semakin berat karena harus menghidupi keluarganya.
“Berobatnya di Madiun sampai di Yogyakarta. Dokter bilang syaraf matanya rusak karena terlalu banyak kerja,” ujar mbah Wardi.
Meski mengalami kebutaan pada kedua matanya, di usia senjanya Wardi masih harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan makan sehari-hari.
Pekerjaan berat sebagai buruh tani dan mencari pasir di sungai terpaksa masih dilakoni.
Karena saat ini pasir sungai di desanya mulai habis, Wardi memilih bekerja apa saja termasuk jual beli sepeda bekas, tape recorder hingga jualan barang rongsok termasuk makelar sepeda motor.
Tidak bisa dipastikan berapa hasil dari berjualan barang rongsok yang dijalaninya setiap hari.
Kadang barang dagangannya hanya dibarter dengan barang lain tanpa mendapat uang.
Seperti pagi itu, Wardi rela menukar sepeda mini yang dibawanya keliling kampung dengan sebuah tape recorder karena salah satu warga membutuhkan sepeda mini untuk anaknya.
“Ditukar saja tadi tida ada uangnya. Kira kira harganya seratus ribu ini tape, nanti dijual berapa lah yang penting diatas 100 ribu,” tuturnya.
Meski sering tak mendapat untung dalam jual beli barang rongsokan, Mbah Wardi enggan merepotkan warga lain disaat perutnya lapar.
Dia memilih menahan lapar dari pada harus merepotkan orang lain.
“Kalau punya uang dia pasti beli, tidak mau dikasih. Kadang dia memilih menahan lapar, meski kita kasih tidak mau,” ujar Isminah pemilik warung di depan pos ronda tempat tinggal mbah Wardi.
Meski mengalami kebutaan pada usia 35 tahun, Mbah Wardi tidak pernah kesulitan bepergian untuk mencari pembeli maupun mencari barang rongsok untuk dijual keiling kampung .
Dia mengaku cukup hafal dengan jalan jalan di desanya, bahkan jalan di 5 desa sekitar desa Jambangan dia masih mengingat.
“Rabanya pakai kaki. Kalau arah ke mana seperti diingatkan. Seperti mau ke Desa Kebon itu arahnya ke sana, kalau Desa Jambangan kulon arahnya ke sana seperti di tuntun.
Susahnya kalau ketemu mobil selep padi, dengar suara ribut saya bingung tadi arahnya kemana,” Jelas Mbah Wardi.
Tidak Ingin Merepotkan
Meksi hidup terlunta lunta dan mengalami kebutaan, Wardi tidak pernah menerima bantuan apapun dari pemerintah.
Dia mengatakan, tidak membutuhkan bantuan dari siapapun selagi dia bisa mencari sendiri kebutuhan hdupnya.
“Kalau dirasakan ya susah, tapi saya ikhlas menjalaninya. Yang penting masih bisa berusaha,” ucapnya.
Meski lahir di Desa Jambangan, Wardi ternyata tak pernah memiliki Kartu Tanda Penduduk KTP.
Dia mengaku enggan mengurus KTP karena kesulitan untuk mengurus sejumlah persyaratan yang harus dilengkapi.
Dengan kondisinya yang buta dia hanya pasrah jika tidak memiliki KTP.
Sayangnya nasib tidak memiliki KTP tidak diketahui oleh perangkat Desa Jambangan.
Pejabat Sekertaris Desa Jambangan Masroh mengaku tahu jika ada warganya yang mengalami kebutaan dan harus bekerja sebagai buruh penggali pasir, namun tidak tahu jika Mbah Wardi tidak memiliki KTP.
Dia mengaku akan meminta kepala dusun untuk memastikan jika Mbah Wardi memang benar benar tidak memiliki KTP.
“Tahu saya kalau Mbah Wardi yang kerjanya mencari pasir, tapi kalau tidak punya KTP saya baru dengar dari Bapak, ” katanya.