Mutiara Ramadan
Baper; Mencandrakan Seseorang yang Menyaksikan Suatu Hal Kemudian Terbawa Perasaannya
Istilah ini marak digunakan kaum milenial untuk mencandrakan seseorang yang menyaksikan atau mendengar suatu hal, kemudian perasaannya terbawa akan ha
Oleh: Izzah Zen Syukri
SRIPOKU.COM - Anak muda menyebutnya baper alias bawa perasaan. Baper memang illegal. Tak masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Istilah ini marak digunakan kaum milenial untuk mencandrakan seseorang yang menyaksikan atau mendengar suatu hal, kemudian perasaannya terbawa akan hal yang disaksikan atau didengarnya itu.
• Pria Jangan Terbawa Perasaan, Simak 10 Tanda Wanita Menyukaimu
• Deretan Zodiak yang Katanya Susah Move On dan Sering Terjebak Kenangan, Ada Gemini Gampang Baper!
Tersebutlah Salahuddin Al-Ayyubi yang oleh orang Barat dikenal sebagai Saladin. Ia adalah panglima perang yang mahir dalam strategi. Saat Perang Salib Jilid 2 yang berada di musim panas, ia memerintahkan kaum muslimin mengenakan baju katun, sehingga ringan dan lincah bergerak. Malam hari pasukannya membakar rumput, sehingga esoknya mereka dengan mudah membabat habis kuda-kuda pasukan musuh.
Pasukan Eropa yang berbaju zirah (pakaian perang dari besi) tentu sangat kepanasan dan kehausan. Mereka sulit menyelamatkan diri tanpa kendaraan. Ditambah pula dengan kostum yang tidak ringan dibawa berlari. Raja Guy de Lusignan yang memimpin pasukan Eropa berhasil ditawan, walau pada akhirnya dibebaskan dengan tebusan.
Saat akan membebaskan Yerusalem, Saladin berhadapan dengan Raja Richard the Lion Heart dari Inggris. Begitu mendengar Raja Richard sakit, Saladin memutuskan gencatan senjata dan mengirim tim medis untuk membantu kesembuhan sang raja. Akhirnya, Saladin dan pasukannya berhasil merebut Yerussalem dan dijuluki sebagai “Singa Padang Pasir”.
Orang-orang terkejut ketika Saladin wafat pada 4 Maret 1193 di Damaskus ternyata seorang Panglima perang yang gagah perkasa hanya memiliki kekayaan berupa kain kafan dan sedikit uang dirham. Kisah ini kembali dituturkan oleh Rhenald Kasali di dalam bukunya Agility: Bukan Singa yang Mengembik (2017:7).
Walau ini kisah lama, menyimak atau membacanya berulang pun takkan menjenuhkan. Bahkan, kita terbawa perasaan ke masa lalu yang sungguh heroik. “Singa-singa” yang garang di medan juang itu tidak hanya menampakkan taring dan cakarnya untuk mengalahkan musuh Allah, tetapi juga memiliki kelembutan hati, kesederhanaan, dan sifat kemanusiaan yang terpuji.
Kisah-kisah heroik dan bersejarah di dalam Alquran pun memiliki dampak lebih dari itu. Kita bisa baper dan memiliki semangat yang menyala-nyala saat membaca cerita tentang kemenangan kaum muslimin di medan Badar walau dengan jumlah yang jauh dari seimbang. Kita enggan menjadi kaum Hawariyyin yang tak pandai bersyukur walau hidangan dari langit diturunkan Allah untuk mereka atas permohonan Nabi Isa AS. Kita kian semangat berjuang ketika membaca bagaimana Allah tidak tinggal diam saat Nabi Musa AS beserta Bani Isroil terdesak antara kepungan Fir’aun dengan Laut Merah yang membentang. Kita terhanyut dalam bayangan Kan An yang durhaka terhadap ayahnya, Nabi Nuh AS, saat tak mau menaiki kapal untuk menyelamatkan diri dari banjir yang dahsyat.
Romadhon dan Alquran tak bisa dipisahkan, kawan. Menghormati Romadhon sekaligus juga memuliakan Alquran yang turun pada bulan yang mulia ini. Mengistimewakan Romadhon berarti mengisinya dengan lantunan ayat-ayat Alquran yang bergerak dan merambat dari rumah yang satu ke rumah lainnya, dari surau yang satu ke surau berikutnya, dari mesjid yang satu ke semua mesjid yang ada di dunia. Baper kita dengan alunan merdu Alquran, meresapi, memahami maknanya, dan memohon kepada Allah dapat menerapkannya dalam tiap tarikan nafas hingga kita kembali ke haribaaan-Nya.
===