Begini Cara Mengasuh Anak Tanpa Harus Berteriak

Meski sudah berusaha menjadi orangtua yang rasional saat menghadapi ulah anak, namun terkadang ada saja kejadian yang membuat amarah kita memuncak dan

Editor: Bejoroy
zoom-inlihat foto Begini Cara Mengasuh Anak Tanpa Harus Berteriak
http://manado.tribunnews.com/
Ilustrasi.

SRIPOKU.COM - Meski sudah berusaha menjadi orangtua yang rasional saat menghadapi ulah anak, namun terkadang ada saja kejadian yang membuat amarah kita memuncak dan berteriak.

Memarahi anak atau menegurnya dengan berteriak ternyata dilakukan 90 persen dari 1000 orangtua yang disurvei dalam penelitian yang dimuat di Journal of Marriage and Family.

5 Artis yang Pilih Mengasuh Anak Tanpa Babysitter di Rumah, Rela Vakum di TV Demi Sang Buah Hati

5 Kelebihan Ayah dalam Mengasuh Anak

Lebih dari itu, keluarga yang memiliki anak berusia di atas 7 tahun hampir 100 persennya pernah berteriak sambil marah ke anak.

“Orangtua berteriak karena mereka seolah ditarik ke segala arah dan mulai frustasi. Misalnya mereka melihat anak mereka bertengkar atau melakukan sesuatu yang dilarang,” kata Nina Howe, profesor bidang pendidikan anak usia dini.

Ia menambahkan, seringkali teriakan itu adalah respon otomatis orangtua.

Meski tujuannya adalah untuk mendisiplinkan anak, ternyata cara tersebut tak sepenuhnya efektif.

Bukan saja kita memberi contoh strategi menghadapi konflik secara buruk, tapi juga ada efek jangka panjangnya.

Studi tahun 2013 mengungkap, perilaku verbal yang negatif (seperti berteriak) tidak akan membuat anak usia pra-remaja dan remaja mengubah perilakunya, malah mereka akan meneruskan ulahnya tersebut.

Sebagian pakar juga menilai bahwa berteriak adalah bentuk baru dari pukulan pada bokong (spanking).

Banyak dari generasi orangtua milenal yang tumbuh dengan teriakan, omelan, dan juga pukulan orangtuanya. Sehingga terkadang itu jadi referensi dalam pola asuhnya mendisiplinkan anak.

Yang terlambat kita sadari adalah cara tersebut membuat kita merasa buruk.

Teriakan dan omelan itu juga menakutkan anak-anak (seperti halnya dulu kita juga takut) menanti akhir dari kalimat. Membuat anak merasa cemas dan cenderung menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik.

“Anak-anak memiliki sistem saraf yang sensitif dan teriakan akan menakutkan mereka, apalagi melihat ekspresi wajah orangtua saat marah. Itu sangat agresif dan mengintimidasi,” kata konselor keluarga Elana Sures.

Ketika orangtua mendapatkan hasil yang diinginkan setelah meneriaki anak, itu lebih karena anak-anak takut dan ingin ayah atau ibunya berhenti berteriak.

“Itu bukan karena keputusan mereka. Jadi, kebiasaan berteriak hanya akan efektif dalam jangka pendek, tapi lama-lama anak akan mengacuhkannya,” ujarnya.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved