Brenton Tarrant Dikabarkan Lakukan Aksi Brutal di Selandia Baru Terinspirasi dari Game Online, PUBG?
Brenton Tarrant Dikabarkan Lakukan Aksi Brutal di Selandia Baru Terinspirasi dari Game Online, PUBG?
Penulis: Nadia Elrani | Editor: Welly Hadinata
SRIPOKU.COM - Tersangka penembakan brutal, Brenton Tarrant, di Kota Christchurch Selandia Baru pada Jumat (15/3/2019) dikabarkan terinspirasi dari sebuah game.
Banyak yang berasumsi bahwa pria asal Australia ini melakukan kekerasan karena belajar dari game online seperti Fortnite dan PUBG.
Namun hal ini ternyata salah. Brenton Tarrant memang terinspirasi dari sebuah video game tetapi bukan jenis battle royale.

Seperti yang telah diberitakan, sebelum Tarrant melakukan aksi sadisnya, lelaki berusia 28 tahun tersebut telah membuat manifesto berjudul "The Great Replacement".
Diakuinya sendiri dalam manifesto yang ia buat sebanyak 73 halaman, Tarrant menuliskan beberapa pernyataan mengenai hal yang membuatnya terinspirasi melakukan kejahatan tersebut.
Dilansir dari GridGames, berikut adalah pernyataan Tarrant dalam manifesto mengenai hal yang yang membuat Ia terinspirasi:
• iGoGreen Bersama Istri Kapolda Sumsel Berikan Sosialisasi Manajemen Sampah di Kuto Batu Palembang
• Kesulitan Beradaptasi, Denis Suarez Siap Kembalikan ke Barcelona
• Gempa Kembali Guncang Bumi Padang Sumatera Barat, Tepatnya di Wilayah Air Bangis Pasaman Barat
• Begini Reaksi Nagita Slavina Jika Raffi Ahmad tak Ada Kabar, Ayu Dewi Curhat Sampai Nangis?
• Sanksi Segera Usai, Conor McGregor Targetkan Comeback Pada Bulan Juli
Apakah Anda diajari kekerasan dan ekstremisme melalui permainan video, musik, sastra, film?
"Ya, 'Spyro the dragon 3' mengajari saya etno-nasionalisme. Fortnite melatih saya untuk menjadi pembunuh dan ber-floss (dansa khas Fortnite) pada mayat musuh saya. Tidak."
Melalui pernyataan Tarrant tersebut, menunjukkan kalau pelaku penembakkan ini benar-benar tidak terinspirasi dengan Fortnite.
Sedangkan "Spyro: Year of the Dragon 3" merupakan game jadul di PlayStation yang dibuat oleh Imsoniac Games dan dimainkan oleh anak-anak.

Aksi penembakan yang dilakukan oleh Brenton Tarrant juga mirip dengan video game online PUBG, yang sekarang menjadi game yang paling banyak diminati berbagai kalangan.
Saat melakukan aksinya tarrant mengenakan kaos tangan kulit, bertopi dan menggunakan GPS untuk memandunya ke sasaran.
Namun ternyata bukan Fortnite ataupun PUBG, Tarrant terinspirasi dari 'Knight Justiciar Breivik' sebutan untuk Anders Breivik dimana lelaki ini melakukan pembunuhan 77 orang dalam aksi pengeboman di Oslo, Norwegia.
Hal ini pun juga dinyatakan dalam manifesto yang ia tulis.
• Begini Reaksi Nagita Slavina Jika Raffi Ahmad tak Ada Kabar, Ayu Dewi Curhat Sampai Nangis?
• Sanksi Segera Usai, Conor McGregor Targetkan Comeback Pada Bulan Juli
• Mayoritas Speedboat tidak Memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SAP), Termasuk Speedboat Awet Muda
Selain mengaku belajar kekerasan dari game online, Tarrant juga sosok yang menyukai senjata api.
Menurut pengakuan seorang manager Big River Gym, Tracey Gray, Kota Grafton, New South Wales Bagian Utara, dimana Tarrant dulunya bekerja disana sebagai salah satu pelatih kebugaran professional, Gray mengaku jika Tarrant sangat menyukai senjata api.
Gray berasumsi jika ada yang mengubah pribadi Tarrant selama ia bepergian ke luar negeri.
Tarrant sempat bekerja di Bitconnect, sebuah perusahaan mata uang digital untuk membiayai perjalanannya.
Tarrant sendiri pernah berkunjung ke sejumlah negara di Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Dikabarkan sebelumnya, sebanyak 49 orang tewas dalam aksi penembakan sadis yang dilancarkan ketika warga Muslim menunaikan salat Jumat di Masjid Al Noor dan Linwood di Kota Christchurch, Selandia Baru.
Membicarakan masalah game online, bahayakah permainan ini untuk perkembangan psikologi manusia?
Dilansir dari Kompas.com selama ini ada banyak penelitian yang mengindikasikan bahwa kekerasan dalam video game membuat pemainnya menjadi agresif dan anti-sosial di dunia nyata.
Namun ada bukti terbaru yang menunjukkan hal sebaliknya.
Bukti tersebut berupa hasil perbandingan pengujian menggunakan Magnetic Resonance Image (MRI) pada otak seseorang yang memainkan game berunsur kekerasan dengan orang yang tidak.
Pemindaian otak dilakukan saat kedua tipe responden tersebut diperlihatkan berbagai gambar yang memicu emosi.
Hasilnya, sebagaimana dilansir KompasTekno dariTechtimes, Sabtu (11/3/2017), orang yang sudah lama memainkan game kekerasan terlihat menunjukkan tanda-tanda reaksi syaraf serupa dengan orang yang sama sekali tidak memainkan game sejenis.
Dr. Gregor Szycik, ketua penulis penelitian sekaligus profesor di Hannover Medical School, menjelaskan bahwa seluruh respondennya adalah pria.
Pemilihan ini dilakukan karena hingga saat ini tindakan agresif cenderung umum terlihat pada pria yang rata-rata menyukai game bernuansa kekerasan.
Responden yang dihadirkan seluruhnya merupakan pemain game berpengalaman dan pernah memainkan game First Person Shooter seperti Call of Duty selama empat tahun.
• Begini Kabar Terbaru Sonny Tulung Famili 100 yang Ternyata Sibuk Nyaleg
• Mayoritas Speedboat tidak Memiliki Surat Persetujuan Berlayar (SAP), Termasuk Speedboat Awet Muda
• Sanksi Segera Usai, Conor McGregor Targetkan Comeback Pada Bulan Juli
Sepanjang tahun itu mereka memainkannya dalam durasi dua jam per hari.
Setiap habis bermain game, tim peneliti melakukan pemindahan syaraf sebagai antisipasi jika terjadi pengaruh tertentu.
Hasil pemindaian ini juga dibandingkan dengan responden lain.
Selain itu, responden juga diminta mengisi kuis psikologis untuk mengukur tingkat empati serta potensi agresi mereka.
Berikutnya, mereka juga diminta melihat serangkaian gambar yang dirancang untuk memicu reaksi emosi.
Sementara itu pemindai MRI dipasang untuk mengetahui reaksi syaraf mereka.
Hasil penelitian Szycik dan timnya telah dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Psychology. Dia berharap hasil penelitian ini akan membuka awal baru untuk penelitan lain yang lebih mendalam.
===