Breaking News

Meletusnya Gunung Api Toba

Gunung Toba Meletus Picu Musim Dingin di Afrika

Indonesia yang kaya dengan kekayaan alam nan indah termasuk ratusan gugusan gunung yang menjulang tinggi mempunyai catatan sejarah .

Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
Kompas.com
ilustrasi gunung berapi(bbc.com) 

Gunung Toba Meletus Picu Musim Dingin di Afrika?

SRIPOKU.COM -- Indonesia yang kaya dengan kekayaan alam nan indah termasuk ratusan gugusan gunung yang menjulang tinggi mempunyai catatan sejarah yang penting meski sebagian diantara hanya dianggap sebagai legenda karena tidak ada bukti konkrit.

Dan cerita melegenda tersebut dengan apik diolah seniman jadi dramatari di daerah dimana gunung itu melegenda.

Seperti halnya Danau Toba yang konon sebelumnya ada gunung yang bernama Gunung Toba di Sumatera utara.

Namun dari kegigihan para ilmuan, secara ilmiah diungkapkan bahwa salah satu dampak letusan gunung berapi yang mematikan dalam sejarah adalah letusan Gunung Purb Toba.

Penelitian-penelitian menganalisis bahwa letusan yang terjadi 74.000 tahun yang lalu itu berimbas ke seantero planet.

Letusan Gunung Toba tersebut menyebarkan abu yang menimbulkan partikel asam belerang serta mendinginkan samudera.

Efeknya terjadi kegelapan total selama 6 tahun serta penuruan suhu selama ribuan tahun. Vulkanolog menyebut peristiwa ini nyaris memusnahkan kehidupan di Bumi.

Dari segi hipotesis, salah satu wilayah yang terdampak adalah Afrika Timur, di mana area tersebut ikut merasakan musim dingin vulkanik berkepanjangan atau musim dingin yang terjadi akibat letusan gunung berapi serta menyebabkan turunnya populasi secara drastis.

Tapi Peneliti Univeristas Arizona punya pendapat lain soal ini.

Letusan gunung berapi Toba ternyata tidak menimbulkan dampak ekstrem di seluruh belahan dunia seperti perkiraan para peneliti sebelumnya.

Kesimpulan ini diambil berdasarkan studi mereka dengan menggunakan bagian tanaman purba yang terhanyut serta mengendap di dasar danau selama bertahun-tahun untuk merekontruksi masa lalu suatu kawasan.

Seandainya daerah tersebut mengalami pendinginan bertahun-tahun pasca meletusnya Toba, inti sedimen akan menunjukkan bukti adanya kematian vegetasi besar-besaran di wilayah ini pada semua ketinggian.

Namun tim justru tidak menemukan tanda-tanda perubahan pada vegetasi dataran rendah pasca letusan tersebut.
Proyek Pengeboran Danau Malawi untuk mengambil inti sedimen dari dasar sungai dilakukan pada tahun 2005 yang lalu.

Dari situ tim kemudian menganalisis sampel yang mewakili setiap 8,5 tahun dalam interval 300 tahun.

Chad L. Yost, salah satu peneliti kemudian mempelajari potongan mikroskopis tanaman yang terawetkan di dalam inti dua sedimen di danau Malawi, danau yang terletak paling selatan di Afrika Timur.

Ia menganalisis sampel arang dan bagian tanaman mengandung silika yang disebut phytoliths.

"Ini adalah penelitian pertama yang memberikan bukti langsung mengenai dampak letusan Toba pada vegetasi, baik sebelum dan sesaat setelah letusan tersebut," katanya.

Jika hipotesis bencana Toba benar, harusnya akan semakin banyak arang yang hanyut ke danau akibat vegetasi yang terbakar.

Namun ia tidak menemukan peningkatan arang di luar angka normal pada sedimen yang diendapkan setelah letusan.

"Ini mengejutkan karena hasilnya tidak terjadi pendinginan yang parah padahal letusan Toba sangat luar biasa hebat," tambahnya.

"Kami menemukan bahwa letusan Toba tidak memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan vegetasi di Afrika Timur," katanya menyimpulkan.

toba1
Citra Toba (NASA/GSFC/MITI/ERSDAC/JAROS, U.S./Japan ASTER Science Team)

Pemicu
Peneliti mengungkap pemicu letusan gunung api super Toba, letusan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Pengetahuan itu bisa menjadi dasar untuk memprediksi letusan gunung api super pada masa yang akan datang.

Selama ini peneliti bertanya-tanya, bagaimana letusan Toba pada 74.000 tahun lalu bisa begitu besar.

Dalam letusan itu, 2.800 kilometer kubik abu vulkanik dilepaskan ke atmosfer, memicu tahun tanpa musim panas di Eropa, serta membuat manusia di ambang kepunahan.

David Budd dari Departemen Ilmu Kebumian di Universitas Uppsala dan timnya menganalisis kristal kuarsa vulkanik yang dihasilkan dari letusan Toba.

Kristal tersebut menunjukkan perubahan kimia dan termodinamika dalam magma.

"Mirip lingkaran tahunan pohon yang merekam variasi iklim," kata Budd seperti dikutip Daily Mail, Kamis (26/1/2017).

"Saat kondisi magma berubah, kristal merespons dan membentuk zona berbeda yang merekam perubahan ini."

Penelitian ini penuh tantangan.

Lingkaran perubahan kimia magma yang terdapat pada kristal kuarsa vulkanik hanya membentang beberapa mikrometer.

Butuh kecermatan dalam menganalisis sehingga dinamika magma bisa terungkap.

Budd dan tim mengungkap, lingkaran kristal mengandung proporsi isotop 180 yang lebih rendah dibandingkan dengan isotop 160 yang lebih ringan.

"Rendahnya perbandingan isotop 180 terhadap 160 menandakan bahwa sesuatu dalam sistem magma berubah drastis sebelum terjadinya erupsi besar," ujarnya.

Mengapa bisa begitu? Penjelasannya adalah adanya magma yang meleleh dan berasimilasi dengan bebatuan di sekitarnya dalam jumlah besar.

Jenis batuan ini juga sering mengandung banyak air, yang mungkin dilepaskan ke dalam magma, memproduksi uap dan meningkatkan tekanan gas di dalam ruang magma.

"Tekanan gas membuat magma dengan cepat memecah kerak yang berada di atasnya, mengirimkan ribuan kilometer kubik magma ke atmosfer," ungkap Frances Deegan, peneliti lain yang terlibat.

Itulah yang menyebabkan letusan Toba begitu besar.

Pemandangan Danau Toba di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.  Danau Toba merupakan danau terbesar di Indonesia yang tercipta dari hasil letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) pada 75.000 tahun silam.
Pemandangan Danau Toba di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Danau Toba merupakan danau terbesar di Indonesia yang tercipta dari hasil letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) pada 75.000 tahun silam. (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Letusan sebesar Toba jarang terjadi.

Namun, manusia tetap harus bersiap-siap.

"Mudah-mudahan masih ribuan tahun lagi, tetapi faktanya ini hanya soal waktu sebelum letusan dahsyat berikutnya, bisa di Toba, Yellowstone (Amerika Serikat), atau tempat lain.

Kita berharap, kita akan lebih siap dengan itu," ujar Deegan.

Sebelumnya, Ivan Koulakov dari Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences melakukan penyelaman di Danau Toba yang dulunya merupakan lokasi Gunung Toba.

Koulakov dan timnya ingin mencari tahu alasan besarnya volume magma yang dihasilkan Toba dan lamanya jarak antar-letusan.

Koulakov mengembangkan model berdasarkan data seismik. Mereka menemukan bahwa gunung berapi memiliki tempat penyimpanan magma yang besar.

Tempat penyimpanan ini menjaga magma jauh di bawah kerak sampai ada cukup tekanan sehingga letusan terjadi.

Model simulasi yang baru ini juga mengungkapkan sistem yang kompleks, tempat terowongan magma multi-level sepanjang 150 km. Pada kedalaman tersebut, gas dan batuan meleleh.

Lelehan tersebut kemudian terus bertambah hingga mencapai kedalaman 75 km, menciptakan tempat penyimpanan magma utama.

Makalah ini telah diterbitkan online di Journal of Human Evolution.

Sumber:
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved