Mengenal Tradisi Barzanji di Palembang. Mulai dari Cukuran Anak Hingga Maulid Nabi
Barzanji sudah dilakukan sejak Palembang masih bernamakan Kesultanan Palembang Darussalam.
Penulis: Refli Permana | Editor: Sudarwan
Laporan wartawan Sriwijaya Post, Refli Permana
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Barzanji, bagi yang sudah memiliki anak, terutama umat Islam di Palembang tentu tak asing dengan kata tersebut.
Saat anak belum genap satu tahun, aktivitas ini dilakukan sebagian besar Islam di dunia.
Di Palembang sendiri, Barzanji bukanlah tradisi baru.
Pemerhati budaya dan seni Palembang, Vebry Al Lintani, mengatakan Barzanji sudah dilakukan sejak Palembang masih bernamakan Kesultanan Palembang Darussalam.
Tahun ke tahun, abad demi abad, pelaksanaannya tak berbeda.
Tetap dengan membaca syair yang sudah dibukukan, dilakukan oleh seseorang yang bergantian dengan yang lain, serta tetap berisikan sejarah Nabi Muhammad SAW.
"Selain dilakukan ketika akikah anak, tradisi ini juga dilakukan ketika merayakan Maulid Nabi.
Jadi, tak heran apabila terdengar lantunan syair-syair Arab di masjid atau langgar," kata pria yang menjabat Ketua Dewan Kesenian Palembang ini, Sabtu (13/1/2018).
Sejarah tradisi ini, dijelaskan Vebry, dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang datang ke Bumi Sriwijaya.
Mayoritas mereka berasal dari negara Yaman, yang menurut Vebry memang banyak membawa budaya Islam ke Indonesia.
Lambat laun, tradisi ini tersebar ke umat Islam lain hingga akhirnya ikut dilakukan pribumi.
Sampai sekarang, tradisi tersebut tidaklah mati.
Beda kota, tak berarti ada perbedaan. Dilanjutkan Vebry, pelaksanaan Barzanji sama, tak ada yang beda.
Secara garis besar, dikatakan Vebry, prosesi pelaksanaan Barzanji tak berbeda di setiap kepentingan.
Dipimpin oleh seseorang yang sudah dipilih dan nantinya akan dibacakan secara bergantian.
Bisa pula yang mendengar ikut membaca syair yang sudah dipegang.
Dalam satu kali bacaan, bisa cukup panjang karena syair Barzanji memang cukup panjang.
Perbedaan sedikit tampak jika kepentingannya adalah marhabah anak.
Dikatakan Vebry, usai pembacaan Barzanji, ada pembagian bendera yang diberikan tuan rumah kepada tamu undangan.
Tak jarang pula ada yang menggunakan telok abang yang juga diberikan kepada tamu undangan.
Kegiatan ini tak akan bisa dilihat andai Barzanji dibacakan untuk kepentingan Maulid Nabi.
"Saat marhabah, Barzanji dibacakan sebelum rambut anak dicukur. Dibacakan oleh seseorang terpilih dan nantinya bergantian," kata Vebry.
Ketika membagikan bendera yang sudah dilengkapi uang, suasana Marhabah pasti seru dan ramai.
Pasalnya, anak-anak akan sangat antusias menggapai bendera tersebut.
Melihat tuan rumah sudah memegangi gedebog pisang, saat itulah anak-anak mendekat karena bendera uang ditancapkan di benda tersebut.
Meski terkadang uang yang ada di bendera bukanlah pecahan besar, orangtua yang datang tak ketinggalan antusiasnya.
Meski tak berebut, mereka kadang kala menitip sama tuan rumah supaya kebagian.
Alasannya untuk membuat anaknya yang tak ikut datang bisa gembira ketika orangtuanya membawa benda ini.
Mengenai syair yang dibaca, jelas Vebry, dari jaman dulu adalah syair karya Syaikh Ja'far Al Barzanji.
Dari namanya, jelas tradisi ini mengutip nama sang penyair.
Adapun isi syair tak lepas dari sejarah Nabi Muhammad hingga puja-pujaan untuk nabi terakhir umat Islam tersebut.
"Barzanji sudah tak ubahnya seperti hiburan Islami di momen-momen tertentu.
Karena namanya tradisi, maka tak ada persoalan tidak melakukannya," tutup Vebry.
