Masih Ada Waktu
Mumpung Masih Ada Waktu Manfaatkanlah Sebaik-baiknya
Bila masih mungkin kita menorehkan batin Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas.
Mumpung Masih Ada Waktu Manfaatkanlah Sebaik-baiknya
Oleh: H. Hendra Zainuddin. MPdI.
Pimpinan/Pengasuh Pesantren Aulia Cendekia Talang Jambe Palembang
Bila masih mungkin kita menorehkan batin
Atas nama jiwa dan hati tulus ikhlas.
Mumpung masih ada kesempatan buat kita
Mengumpulkan bekal perjalanan abadi
Kita mesti bersyukur bahwa kita masih diberi waktu
Entah sampai kapan tak ada yang bakal dapat menghitung
Hanya atas kasih-Nya
Hanya atas kehendak-Nya
Kita masih bertemu matahari
Kepada rumpun ilalang
Kepada bintang gemintang
Kita dapat mencoba meminjam catatannya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng
Semuanya terdiam
Semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah Segeralah bersujud
Mumpung kita masih diberi waktu

Begitulah, bait-bait puitis di atas adalah syair lagu yang diciptakan dan sekaligus dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade berjudul "Masih Ada Waktu".
Lagu itu pertama kali mungkin kita dengar sekitar duapuluh tahun lalu.
Meskipun telah lama, tetapi masih juga menggetarkan hati ketika beberapa saat ini kembali diperdengarkan lagi.
Bait-bait puistis dalam lagu tersebut merupakan bentuk komposisi sempurna antara aransemen musik yang apik, kemampuan olah vokal yang khas, dan syair yang sangat indah.
\Mungkin itulah sebabnya sastrawan-- budayawan, Taufik Ismail menyebut Ebiet sebagai "penyair yang bernyanyi".
Lantunan bait-bait puitis lagu Ebiet G. Ade bila dilihat dari konteks kekinian sangatlah tepat.
Apalagi tak lama lagi kita memasuki tahun baru masehi, tepatnya 1 Januari 2018 nanti.
Di antara kebiasaan orang dalam memasuki tahun baru di berbagai belahan dunia, termasuk juga di indonesia, merayakannya dengan begadang semalam suntuk, pesta kembang api, tiup terompet, happy-happy di cafe atau bar, dan lain sebagainya.

Mungkin kita beranggapan pergantian tahun baru berarti usia kita bertambah setahun.
Tapi, hakikatnya justru sebaliknya, usia kita malah berkurang setahun.
Sebagai orang yang beragama seyogyanya pergantian tahun dimaknai dengan semakin bertambahnya amal ibadah kita dan meningkatnya kualitas keimanan kepada Allah SWT.
Hal ini penting karena ada sebagian orang, khususnya kaum muslimin, yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT setelah senja, setelah pensiun (purna tugas) atau ketika memasuki usia senja atau sudah tua.
Padahal pada usia berapa kita akan mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Sebab, setiap tarikan dan desahan nafas kita, saat kita menjalani waktu demi waktu, adalah merupakan langkah menuju alam kubur.
Waktu yang kita jalani untuk hidup di dunia ini, sebenarnya sangat singkat, karena itu sangat rugi apabila kita menjalaninya dengan sesuatu yang tidak berharga.
Kita sia-siakan waktu dan kesempatan hidup di dunia ini, dengan melakukan hal-hal yang tidak membawa kemaslahatan dunia-akhirat.
Bukanlah waktu tidak akan mungkin kembali lagi.
Dalam surat al-Hasyr ayat 18, Allah SWT telah memperingatkan manusia agar selalu beriman dan bertakwa untuk hari esok (akhirat).
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hasyr: 18).
Demikian pula dalam surat al-Ashr ayat 1-3, Allah SWT berfirman; "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. al-‘Ashr:1-3).
Dari kedua surat al-Qur'an di atas dapat dikatakan bahwa waktu itu memang berharga. Bahkan ada yang menyamakan waktu dengan uang; "time is money".
Sedemikian berharganya waktu, sehingga Allah SWT pun bersumpah demi waktu (Ashr) dalam QS al-Ashr ayat 1.
Menurut M Quraish Shihab, kata al-'Ashr di ambil dari kata 'As-hara yang berarti menekan sesuatu, sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya tampak ke permukaan atau keluar (memeras).
Penamaan ini agaknya disebabkan ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya.
Mengutip Syaikh Muhammad Abduh, M. Quraish Shihab menjelaskan, turunnya ayat ini tidak lepas dari kebiasaan orang-orang Arab pada masa turunnya al-Qur'an untuk berkumpul dan berbincang-bincang mengenai berbagai hal.
Tidak jarang, dalam perbincangan tersebut terlontar kata-kata mengumpat dan sekaligus memuji waktu.
Waktu baik jika mereka berhasil dan waktu sial jika mereka gagal.
Padahal, waktu merupakan sesuatu yang netral.
Tidak perlu disematkan kemujaraban atau kesialan dibalik sebuah tanggal atau jam.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menambahkan bahwa pada surah al-Ashar, Allah SWT bersumpah "demi waktu" dengan menggunakan kata Ashr untuk membuat suatu pernyataan.
Demi waktu, di mana manusia mencapai hasil setelah ia memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya itu, kecuali jika ia beriman dan beramal shaleh.
Kerugian tersebut mungkin tidak akan dirasakan pada saat itu, tetapi pasti akan disadarinya pada waktu menjelang matahari hayatnya terbenam.
"Itulah agaknya rahasia mengapa Allah SWT memilih kata "Ashr" untuk menunjuk kepada waktu secara umum.
Waktu yang sangat singkat seharusnya dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin untuk mencari bekal kehidupan akhirat.
Jika tidak diisi dengan kegiatan positif dan produktif, ia akan berlalu begitu saja. Waktu hanya datang satu kali dan tidak dapat diulang dan tidak juga bisa dimajukan.
Dalam pepatah Arab disebutkan; "al-waqtu ka al-saif, in lam taqtho'hu qoto'aka'" (waktu itu laksana pedang, jika kau tak menggunakannnya, maka ia akan memenggalmu)".
Apabila datang saatnya, manusia tidak bisa menghindar. "Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat memajukannya" (QS al-Araf: 34).
Bahkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Khuluqul Muslim menerangkan waktu adalah kehidupan.
Karena itu, Islam menjadikan kepiawaian dalam memanfaatkan waktu termasuk di antara indikasi keimanan dan tanda-tanda ketakwaan. Orang yang mengetahui dan menyadari akan pentingnya waktu berarti memahami pula nilai hidup dan kebahagiaan.
Membiarkan waktu terbuang sia-sia dengan anggapan esok masih ada waktu merupakan salah satu tanda tidak memahami pentingnya waktu.
Padahal, ia tidak pernah datang untuk kedua kalinya atau tidak pernah terulang.
Dalam pepatah Arab disebutkan "Tidak akan kembali hari-hari yang telah lampau".
Di sinilah Rasulullah SAW bersabda; "Idealnya orang adalah orang-orang yang diberi umur panjang dan perbuatan baik, dan buruknya manusia adalah mereka yang diberi umur panjang dan praktik buruk ." (HR Ahmad).
Begitu pentingnya waktu bagi manusia, sehingga Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat Imam al-Bayhaqi dan Ibnu Mubarok, Nabi Muhammad SAW menyuruh kita menggunakan kesempatan untuk melakukan kebaikan."Manfaatkanlah lima kesempatan, sebelum datangnya lima kesempitan (Ightanim khamsan qabla khamsin).
Pertama, syabaabaka qobla haromika (masa muda sebelum tuamu).
Ketika manusia berusia muda, banyak hal yang bisa dilakukan sebab diusia muda tenaga masih kuat, semangat dan cita-cita tinggi.
Mumpung masih muda pula ibadah lebih sempurna, belajar yang giat, berbakti kepada orang tua, dan seterusnya. Kalau sudah tua semua menjadi terbatas.
Kedua, "shihhataka qobla saqomika" (masa sehat, sebelum sakitmu).
Rasulullah SAW pernah mengingatkan nikmat yang seringkali dilalaikan manusia adalah kesehatan. Selagi sehat banyak kebaikan yang bisa dikerjakan.
Tapi kesehatan pula yang menjerumuskan kita pada keburukan.
Di zaman serba modern saat ini, terkadang kita melupakan pola makan yang sehat dan halal.
Kita lebih banyak mengkonsumsi makanan instan dan juga kerja tak kenal batas waktu, sehingga tubuh sangat rentan dengan penyakit.
Nah, kalau sudah sakit, maka ibadah yang kita lakukan sedikit terhambat (tidak istiqamah dan tuma'ninah) dan terkadang kita "menggerutu" menyalahkan Allah SWT.
Jadi, mumpung masih sehat, berjamaahlah ke masjid, kerja yang sungguh-sungguh, tunaikan kewajiban kepada Allah SWT, berbakti pada orang tua dan sesama serta mengkonsumsi makanan yang sehat dan halal.
Ketiga, ghinaaka qobla faqrika (masa kaya, sebelum miskin).
Dalam kehidupan di dunia, terdapat sunnatullah bahwa orang miskin bisa menjadi kaya dan orang kaya juga bisa jatuh miskin.
Tidak semua orang diberi kesempatan kaya, sebab itu selagi kaya dan berkuasa, gunakan untuk kemaslahatan agama dan umat.
Banyak orang kay, tapi sedikit yang dermawan.
Bukan kaya-nya yang penting, tapi kedermawanannya. Orang kaya bisa miskin dalam sekejap, tapi orang dermawan akan selalu kaya.
Kita patut iri kepada orang kaya yang dermawan.
Mumpung masih kaya dan berkuasa, berkaryalah.
Jangan sampai jatuh miskin atau tak berkuasa lagi, baru ingin berbuat baik.
Keempat, farooghoka qobla syughlika (masa luang, sebelum sibukmu).
Masa luang juga adalah karunia Allah SWT yang sering melalaikan manusia, sehingga terjerumus kepada kemaksiatan.
Ada saatnya kita punya waktu luang yang bisa digunakan untuk melakukan kebaikan.
Berkumpul dengan keluarga, orangtua, shalat berjamaah di masjid dan mengunjungi sanak keluarga dan teman untuk mempererat jalinan silaturahmi.
Artinya, waktu luang harus bermanfaat bagi kebaikan diri, keluarga dan masyarakat.
Karena, jika datang masa sibuk, ketemu anak dan istri pun tak sempat, apalagi shalat berjamaah ke masjid.
Hidup seperti mesin, terjebak pada rutinitas yang menjenuhkan.
Kelima, hayaataka qobla mawtika (masa hidup, sebelum matimu).
Penutup dari kelima kesempatan ini adalah hidup dan mati.
Selagi masih hidup, gunakanlah untuk menebar kebaikan dengan beramal shaleh.
Hidup di dunia ini hanya sementara, laksana seorang musafir yang beristirahat di bawah pohon rindang.
Perjalanan akan dilanjutkan kembali.
Kematian adalah awal kehidupan abadi. Kematian begitu dekat dan datang tiba-tiba, seakan tak memberi isyarat.
Tinggal menunggu waktu ajal menjemput.
Iman dan amal shaleh menjadi bekal, agar mati dalam kebaikan (husnul khatimah).
Karena itu, sebelum terlambat, sebelum kematian mendatangi kita, marilah kita memanfaatkan waktu yang tersisa dari umur kita ini untuk hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Marilah kita perbanyak berbuat kebaikan, jangan menunda-nunda amal shaleh, karena belum tentu besok kita masih punya waktu untuk melaksanakannya.
Kita tidak pernah tahu kapan ajal datang menjemput kita.
Dan alangkah sangat menyesalnya kita, apabila dalam hidup kita yang singkat ini, lebih banyak kita lewati dengan melakukan hal-hal yang akan kita sesali di akhirat kelak.
Mau tidak mau, sudah saatnya kita menghentikan kebiasaan buruk dengan bertaubat pada Allah SWT. Lirik puistis lagu Ebiet G Ade yang dikutip di atas harus menjadi sarana introspeksi diri.
"Mumpung kita masih diberi waktu", dan Allah SWT masih memberi kita umur panjang, sehingga merasakan napas dari oksigen pemberian-Nya.
Masih diberikan rezeki berupa pekerjaan, istri, dan anak.
Masih diberi kesehatan untuk shalat dan beramal shaleh.
Melalui momentum tahun baru masehi 2018 ini, mumpung masih ada waktu, kita masih bisa bertaubat dan memohon ampun atas kealpaan selama ini.
Mumpung ada waktu, kita bisa berencana untuk mempersembahkan amal-amal terbaik kita. Amiin ya robbal’alamin. Wassalam.