Jadi Rebutan Teman-Temannya, Wanita Ini Tidak Menduga Jika Yang Jadi Suaminya Pernah Begini
Aku setengah ngebut menggenjot sepeda bututku. Hingga saat di tikungan, “Gubrak!!” tahu-tahu aku sudah terkapar di jalan.
Penulis: Darwin Sepriansyah | Editor: Ahmad Sadam Husen
Tetap saja ia kalem, sedikit senyum, meski teman-teman wanita di pabrik iseng menggodanya. Dan tak kusangka, “Pria Es” begitu teman-teman pabrik menjulukinya, menjadi buah bibir di pabrik.
Bahkan beberapa teman kerjaku, terang-terangan bersaing mendapatkan perhatian si “Pria Es”. Pagi dan sore mereka sengaja pulang pergi kerja lewat masjid tempat “Pria Es” mengajar ngaji.
Padahal rumah mereka jelas-jelas berlawanan arah. Yang terlintas dalam benakku, mereka benar-benar membuang waktu dan kurang kerjaan.
Hmm… aneh, sampai segitunya. Padahal mereka belum tentu memperoleh apa yang mereka inginkan. Aku tertawa kecut dan geleng-geleng kepala.
Esok hari, pabrik heboh. Ketika Ratna, sebut saja begitu, bercerita bahwa pulang kerja kemarin, ia diam-dia membuntuti “Pria Es” itu sampai ke rumah.

Ketika beberapa teman lain bertanya, “Dimana rumahnya?” Ratna tutup mulut. “enak saja, usaha sendiri donk”.
Ratna melanjutkan kisahnya. Saat itu ia pura-pura tersesat mencari alamat seseorang.
“Tapi sebel dech, masa dia cuma ngomong sedikit dan tidak menyuruh masuk. Padahal aku setengah mati mengikutinya,” kontan tawa meledek dari seantero sudut ruang pabrik. Aku hanya tersenyum.
Qodarullah, esoknya aku kesiangan berangkat kerja. Aku setengah ngebut menggenjot sepeda bututku. Hingga saat di tikungan, “Gubrak!!” tahu-tahu aku sudah terkapar di jalan.
Sementara kudengar pria penabrakku berteriak “Allahuakbar. Bismillah!!” kulihat motornya meliuk-liuk. Sebelum akhirnya ia melompat limbung dan jatuh sangat keras.
Sesaat, aku sadar dari terkejutku. Mencoba bangun untuk menepi dari tengah jalan. MasyaAllah, sakit luar biasa. Namun aku tetap memaksakan diri untuk beranjak.
Karena jujur aku mencemaskan keadaan penabrakku. Ia diam tak bergerak. Sempat kulihat roda sepedaku meliuk seperti angka delapan. Sadelnya lepas entah kemana..
Dengan tubuh yang gemetar dan sakit di sekujur tubuh, ragu-ragu kudekati pria itu. Kuguncang tubuhnya yang telungkup. “Mas, mas, bangun mas?!” suaraku bercampur tangis karena takut.
Kutengok sekeliling, sepi, tak ada lalu lalang orang untuk meminta pertolongan. Untung ia jatuh di tepi jalan hingga aku tak perlu menariknya.
Kucoba berulang kali memanggilnya, tetap tak ada sahutan. Perlahan, meski berat kucoba membalikkannya. Kubuka helm yang masih menutup kepala dan wajahnya.