Mutiara Ramadan

Kas Masjid, Sekarang Sudah Menjadi Keharusan Mengisi Celengan Setiap ke Masjid

Sekarang sudah menjadi keharusan mengisi celengan setiap ke masjid dan kemudian total angkanya ditulis besar-besar di papan pengumuman masjid. Setiap

Editor: Bejoroy
1001informasidanedukatif.blogspot.com
Ilustrasi - Celengan Masjid. 

Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
Dosen FISIP UIN Raden Fatah

TERINGAT saat masa kecil dulu, kami dibiasakan untuk belajar dan menginap di Surau/Langgar. Disana kami belajar mengaji, bermain, bersilat, dan tentu saja wajib sholat. Hampir separoh hari dihabiskan di surau itu. Kondisi surau tak bagus-bagus amat, hanya berdinding kayu, lantai semen dengan polesan aci. Atapnya dari seng, tak ada jendela kaca, hanya dua bilah papan yang bisa dibuka dan ditutup. Sebuah aliran sungai kecil ada di depan surau, disanalah tempat kami berwudhu, mandi dan juga buang air. Suci? Tentu saja karena itu air dari gunung. Sederhana memang, maklumlah surau kampung yang besarnya hanya seukuran 5 x 6 meter.

Ada Infak Misterius di Celengan Masjid. Setelah Dibuka, Isinya Bikin Pengurus Masjid Terperangah

Kas Masjid Ini Selalu Rp 0, Padahal Yang Berinfak Banyak, Alasannya Bikin Kagum

Surau itu dikelola oleh warga kampung kami. Tak ada marbot, tak ada petugas khusus. Petugas yang menjaga dan merawatnya, ya kami-kami ini, sembari mengaji, kami juga menyapu dan membersihkannya. Guru ngaji kami adalah seorang ustazd muda yang begitu baiknya meladeni kami, murni pengabdian dan amal ibadah. Bayangkan, kami hanya membayarnya secanting beras setiap minggu. Ada 11 anak, berarti ia dapat 11 canting setiap minggu. Hanya itu.

Tetapi walau kondisi serba pas-pasan, kami menikmatinya, sang guru juga menikmati, saya tahu itu, karena sembari mengajar ngaji, beliau dibantu oleh warga kampung kami untuk membuat kebun di lahan warga. Kebunnya disiapkan, selanjutnya silakan olah sendiri dan hasilnya boleh digunakan sendiri.

Saya tahu itu, karena setiap rapat warga selalu diadakan di surau, dan kami sebagai penghuni tetap, tentu saja boleh nguping. Surau menjadi pusat kehidupan warga kampung saat itu. Surau itu memang sederhana, tapi sangat melekat dan terasa manfaatnya bagi warga kami. Saat sholat berjamaah atau peringatan hari besar Islam, tak ada kebiasaan mengisi celengan sebagaimana lazimnya jaman sekarang. Bukan karena tak mau, tapi memang tak terlalu mendesak.

Apa itu mengisi celengan? Ya infaq dan sadaqah yang tujuannya untuk operasional surau. Nah untuk hal ini semua sudah tersedia. Caranya cukup dengan gotongroyong warga, semua beres. Toh, surau ini juga tak terlalu besar. Kira-kira begitulah. Karena itu, warga kami sangat bangga dengan surau dan kebiasaan gotong royong yang selalu dilakukan.

Kondisi yang saya rasakan 38 tahun lalu, tentu sangat jauh berbeda dengan keadaan jaman sekarang. Saat lebaran tahun lalu saya mudik, surau itu masih ada, walau tak lagi difungsikan karena didepannya sudah berdiri Masjid yang lebih megah, berlantai keramik permanen, dinding semen, dan jauh lebih luas. Guru mengaji tak ada lagi, karena sekarang anak-anak sudah sekolah di SD IT atau belajar agama ditempat lain.

Semua sudah berubah, termasuk celengan masjid. Sekarang sudah menjadi keharusan mengisi celengan setiap ke masjid dan kemudian total angkanya ditulis besar-besar di papan pengumuman masjid. Setiap hari Jumat diumumkan. Para penceramah jaman sekarang pun, dengan getolnya berkata, “mari menyumbang dan salurkan donasi ke masjid-masjid, ke rumah Allah.” Alhasil, masjid memperoleh sumber penghasilan tetap yang menggiurkan.

Sekarang ini, nun jauh dari kampung saya tinggalkan, jauh dari surau tempat dulu mengaji, saya juga menemukan berbagai fenomena yang menunjukkan kekuatan sebuah masjid. Baru-baru ini, dalam sebuah perbincangan di group WA yang saya ikuti, seorang anggota group berkata dengan bangganya bahwa masjid dikampungnya punya kas mencapai Rp 1,5 milyar. Dana itu berasal dari berbagai sumber, baik sumbangan dari jamaah maupun donatur tertentu. Di masjid yang lain, pernah pula terlihat bahwa kas yang terkumpul mencapai Rp. 250 juta. Di tempat lain ada yang mencapai 300 juta lebih. Ada pula yang “hanya” 50 juta atau sekedar 20 juta rupiah. Mungkin jika kita telusuri satu persatu masjid yang ada, kas yang dimiliki banyak yang fantastis.

Fenomena kas masjid yang besar, tentu menjadi sebuah sumber daya yang luar biasa. Melalui dana tersebut, masjid-masjid bisa mempercantik dirinya sedemikian rupa. Ruangan sholat dipasang pendingin udara, keramik lantai dari granit kelas 1, toilet dan sarana berwudhu yang sangat berkelas, serta sajadah dari bahan terbaik nan lembut. Beberapa masjid yang berukuran besar malah memasang videotron sehingga lebih memudahkan dalam beribadah. Tak lupa tentunya CCTV berada disetiap sudut, antisipasi kalau ada syetan-syetan yang beraksi di saat jamaah sedang beribadah. Bahkan di salah satu masjid saya temukan ada masjid yang menganggarkan honor untuk imam sholat fardhu, karena memang dananya ada.

Mengacu pada keuangan dan kas masjid yang begitu kuat (walau tidak sama rata), sebenarnya tak wajar lagi jika ada masalah di masyarakat. Tentu menjadi tidak logis, jika sebuah masjid berdiri mewah dan megah sementara di sekitarnya terdapat warga kelaparan, janda tua yang miskin, pengangguran, warga putus sekolah gara-gara tak punya biaya. Sebaik-baik pengelolaan masjid adalah yang memberikan manfaat langsung bagi warga disekitarnya, alih-alih pada pengurus itu sendiri.

Momentum ramadhan adalah momentum bertambahnya kas masjid setiap malam. Lagi-lagi ini kekuatan muslim. Kekuatan untuk memberdayakan masyarakat. Mungkin tak usah ada renovasi masjid dulu, jika ada warga yang lebih butuh bantuan, mungkin tak perlu beli AC baru dulu atau mungkin tak usahlah bayar honor imam sholat, kalau memang ada orang sakit di samping masjid yang butuh bantuan. (*)

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved