Atasi Mahalnya Biaya Pilkada, Tiga Modus Ini Biasa Digunakan Calon Kepala Daerah  

Mahalnya biaya pengeluaran Pilkada yang harus dikembalikan oleh calon kepala daerah, itulah yang kerap kali menjeratnya

Penulis: Abdul Hafiz | Editor: Reigan Riangga
SRIPOKU.COM/ABDUL HAFIZ
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan SH MH memberikan sambutan acara Pembekalan Anti Korupsi dan Deklarasi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) di Aula KPU Sumsel, Selasa (10/4/2018). 

Laporan wartawan Sripoku.com, Abdul Hafiz

SRIPOKU.COM, PALEMBANG --- Mahalnya biaya pengeluaran Pilkada yang harus dikembalikan oleh calon kepala daerah, itulah yang kerap kali menjeratnya untuk melakukan tindakan korupsi saat menjabat.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan SH MH mengatakan ada beberapa celah kepala daerah melakukan korupsi. Antara lain biaya pilkada yang mahal.

"Untuk menjadi kepala Kabupaten/kota bisa menghabiskan uang Rp 20 sampai Rp 30 miliar. Untuk jadi kepala daerah tingkat Gubernur bisa menghabiskan uang sampai ratusan miliar," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan SH MH pada acara Pembekalan Anti Korupsi dan Deklarasi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) di Aula KPU Sumsel, Selasa (10/4/2018).

Baca: Tingkatkan Pelayanan Puskesmas, Dinkes OKUS Relokasi Puskesmas Mekakau Ilir

Padahal dari hasil LHKPN calon kepala daerah memiliki kekayaan rata-rata Rp 8 M sampai Rp 82 M. Jadi kalau uang dibutuhkan untuk jadi kepala daerah kabupaten/kota Rp 20 M sampai Rp 30 miliar.

"Sedangkan harta kekayaan bapak dan ibu sekitar Rp 8 M hingga Rp 9 M. Modus yang dilakukan adalah dengan cara ijon. Dengan minta uang di muka kepada yang mau memberi bantuan saat pilkada. Ada juga para petahanan sudah mengambil lebih dulu," kata wanita kelahiran Pematang Siantar, 20 Desember 1957.

Modus kedua adalah mahar politik. Ini sulit dibuktikan tapi itu ada. Ketiga adalah dinasti politik. Ada suatu daerah ayahnya 2 periode, kemudian anaknya calon kepala daerah. Adiknya dan sasudaranya mencalonkan diri di DPRD.

Baca: Penataan Ulang Frekuensi Selesai Lebih Cepat, Jaringan 4G XL Bakal Tambah Optimal

"Menurut KPK politik dinasti ada indikasi untuk penguasaan daerah. Itu sebabnya itu menjadi atensi dari KPK," ujarnya.

Basariah mengungkapkan, bicara money politik, segala cara memberikan uang di pilkada atau serangan fajar, pihaknya percayakan ke Kapolda jangan sampai terjadi. Karena kalau ada serangan fajar itu bukan ranah KPK.

"Jangan sampai ada penyidikan. Kalau sudah terjadi penyidikan, percuma disesali. KPU dan Bawaslu punya peran besar jangan sampai terjadi kecurangan," imbaunya.

Menurutnya, seharusnya rekrutmen untuk kepala daerah benar benar selektif. Jangan sampai, parpol jadi sumber cari pangkat. Kader parpol bagaimana bisa diberikan pengarahan bagaimana harusnya mencalonkan kepala daerah adalah kader yang terbaik.

Baca: Dalam Pilkada, KPK Awasi Ketat Pergerakan Petahana Karena Modus Ini

"Supaya kepala daerah tidak punya uang, niatnya bagus, idenya bagus. Bisa jadi kepala daerah. Andai semua itu bisa dibiayai negara, korupsi itu tidak terjadi. Kita harus mendidik masyarakat supaya pandai dan bijak dalam memilih," terangnya.

Halaman
12
Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved