Mimbar Jumat

Menjemput Ketenangan di Era Gelisah: Kembali ke Spirit Tasawuf

Dalam beberapa dekade terakhir, kajian ilmiah mulai mengeksplorasi hubungan antara praktik spiritual Islam dan kesehatan mental.

Editor: tarso romli
handout
Abdurrahmansyah, Guru Besa Pascasarjana UIN RF Palembang 

Sejak masa awal Islam, praktik-praktik seperti shalat khusyu’, dzikir, tafakkur (kontemplasi), dan disiplin etika hati (tazkiyat al-qalb) dimaksudkan untuk membentuk jiwa yang stabil dan responsif terhadap ketidakpastian hidup.

Literatur klasik dan tradisi tasawuf menekankan proses pembersihan hati dengan cara menjauhi sifat-sifat yang merusak seperti riya’, takabbur, hasad dan menumbuhkan sifat-sifat proporsional seperti sabar, syukur, ikhlas, dan tawakal.

Praktik-praktik pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs) di atas merupakan sentral dan substansi ajaran Islam karena mampu melakukan transformasi etis-spiritual yang menghadirkan keseimbangan antara dimensi individu dan sosial.

Dalam beberapa dekade terakhir, kajian ilmiah mulai mengeksplorasi hubungan antara praktik spiritual Islam dan kesehatan mental.

Meta-analisis dan studi empiris menunjukkan adanya korelasi positif antara keterlibatan pada praktik spiritual misalnya zikir, shalat teratur, membaca do’a dan wirid, serta keterikatan dalam jama’ah atau komunitas kegamaan,  terhadap penurunan kecemasan dan depresifitas pada sejumlah populasi.

Beberapa riset menjunjukkan bahwa praktik-praktik sufistik atau meditasi Islami menemukan efek menenangkan yang mirip dengan praktik mindfulness modern.

Manusia yang hidup di era digital seperti sekarang dapat melakukan beberapa langkah praktis yang bersifat aplikatif untuk mengaktifkan energi spiritual seperti membiasakan ritual singkat semacam dzikir singkat di sela pekerjaan, atau memastikan niat dan kesadaran teologis sebelum memulai tugas sehingga mampu menengahi kecemasan dan mengembalikan fokus.

Ibadah shalat sebagai ritual rutin mulai diarahkan pada kehadiran batin (presence) agar lebih efektif menumbuhkan ketenangan daripada sekadar ritual formal tanpa rasa. Komunitas berupa majelis taklim atau kelompok kajian sebaiknya dijadikan ruang hubungan sosial yang menyehatkan dan memperkuat rasa makna bersama.

Pembacaan terhadap kitab suci al-Qur’an sudah mulai ditingkatkan dengan memahami makna dan mengkontekstualisasikan pemahaman makna ayat-ayat tersebut untuk membantu umat memahami bagaimana nilai Islam memberi solusi konkret.

Harus diingat bahwa ajakan kembali pada spirit Islam bukan berarti menghindari dunia modern atau menolak sains. Sebaliknya, spirit Islam yang matang harus membuka dialog dengan ilmu pengetahuan, layanan kesehatan mental, dan kebijakan sosial.

Umat Islam harus mampu menerjemahkan warisan spiritual ini ke dalam praktik harian yang relevan dengan ritme kehidupan modern. Dengan begitu, modernitas tak lagi menjadi ancaman bagi jiwa, melainkan medan baru untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam.

Dalam pendekatan keilmuan Islam, kebenaran tertinggi tidak lagi berbasis data empiris, positifistik, tekstual (bayani), dan logis rasionalistik (burhani) semata, tetapi sudah menembus batas horizon metafisika yang sangat luas dan dalam disebut pendekatan ‘irfani.

Karena itu menjadi sangat penting bagi umat Islam untuk memahami konteks kebenaran ‘irfani sebagai pendekatan intuitif dan spiritual dengan melatih keterhubungan ruhani dengan semesta raya sebagai penyingkapan Ilahi (tajalli).

Posisi manusia sebagai khalifat al-Allah fi al-‘ardh  atau wakil Tuhan di bumi memikul tanggung jawab spiritual manusia untuk menjaga keseimbangan kosmos. Pendekatan ‘irfani merupakan sacred science, ilmu sakral yang mengintegrasikan dimensi rasional, moral, dan spiritual.

Pendekatan keilmuan ini akan mengakui Tuhan sebagai pusat realitas, dan menempatkan manusia sebagai penjaga keseimbangan, bukan penguasa alam.

Sumber: Sriwijaya Post
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved