Berita Viral

PETAKA Abdul Muis, Guru SMAN 1 Luwu Utara Dipecat Jelang 8 Bulan Pensiun, Berawal Bantu Honorer

Abdul Muis resmi diberhentikan dari status PNS berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap.

Editor: pairat
MUH AMRAN AMIR via Kompas.com
DIPECAT JELANG PENSIUN - Kolase Abdul Muis (59), guru mata pelajaran Sosiologi di SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Minggu (9/11/2025). Ia harus menerima kenyataan pahit diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA). 

SRIPOKU.COM - Kenyataan pahit harus dialami Abdul Muis, seorang guru Sosiologi di SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan.

Ia harus diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Nahasnya, Abdul Muis diberhentikan jelan 8 bulan pensiun.

Ia pun resmi diberhentikan dari status PNS berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap.

Putusan tersebut tertuang dalam MA Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tanggal 26 September 2023, dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tentang pemberhentian dirinya sebagai guru ASN.

Kasus Abdul Muis ini berawal dari niat kemanusiaan membantu sumbangan untuk guru honorer,

Kasus ini pun menyeret nama mantan Kepala Sekolah Rasnal.

Sebelumnya sejumlah guru honorer SMAN 1 Luwu Utara belum menerima honor selama 10 bulan karena terkendala masalah data di sistem Dapodik.

Karena honorer tidak dapat dibiayai dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kepala Sekolah dan Abdul Muis berinisiatif mencari solusi.

Namun, langkah kemanusiaan dan kebijakan internal sekolah yang terbuka ini justru berbuntut panjang.

Diketahui, kasus ini bermula pada tahun 2018 silam.

Saat itu, Abdul Muis yang menjabat sebagai Bendahara Komite Sekolah menghadapi masalah pelik.

Ia dipilih untuk mengelola dana sumbangan sukarela berdasarkan kesepakatan dalam rapat pengurus komite dan orang tua siswa.

"Saya didaulat jadi bendahara komite melalui hasil rapat orang tua siswa dengan pengurus. Jadi posisi saya itu hanya menjalankan amanah," kata Abdul Muis kepada Kompas.com saat ditemui di Sekretariat PGRI Luwu Utara, Senin (10/11/2025).

Muis menjelaskan bahwa dana yang dikelola merupakan hasil kesepakatan rapat bersama orang tua siswa, bukan pungutan sepihak.

"Dana komite itu hasil kesepakatan orang tua. Disepakati Rp20.000 per bulan," ujarnya.

"Yang tidak mampu, gratis. Yang bersaudara, satu saja yang bayar," imbuh Muis.

Dana tersebut digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.

Menurut Muis, saat itu sekolah menghadapi kekurangan tenaga pendidik karena banyak guru yang pensiun, mutasi, atau meninggal dunia.

"Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun," ucapnya.

Sekolah pun harus mencari guru honor baru.

Namun, proses administrasi agar mereka masuk sistem Dapodik butuh waktu hingga dua tahun.

"Kalau guru honor baru itu, butuh dua tahun untuk bisa masuk ke Dapodik. Nah, sementara itu, kegiatan belajar tetap harus jalan," tambahnya.

Jumlah guru honor di sekolah tersebut mencapai 22 orang dan banyak di antaranya bekerja dengan penghasilan minim.

"Ada guru honor namanya Armand, tinggal di Bakka," ucap Muis.

"Kadang saya kasih Rp150 ribu sampai Rp200 ribu karena dia sering tidak hadir, tidak punya uang bensin," kenangnya.

Masalah muncul pada tahun 2021, ketika seorang pemuda yang mengaku aktivis LSM datang ke rumahnya menanyakan soal dana sumbangan.

"Anak itu datang, langsung bilang, 'Benarkah sekolah menarik sumbangan?'. Saya jawab benar, itu hasil keputusan rapat. Tapi saya kaget, dia mau periksa buku keuangan," tutur Muis.

Tak lama kemudian, ia mendapat panggilan dari pihak kepolisian.

Kasus berkembang hingga ia didakwa melakukan pungutan liar (pungli) dan pemaksaan kepada siswa.

Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.

"Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar," ujarnya.

Menurut Muis, proses hukum berjalan panjang.

Setelah berkas dilimpahkan ke kejaksaan, sempat dinyatakan belum lengkap (P19) karena belum ditemukan bukti kerugian negara.

"Lalu entah bagaimana, polisi bekerja sama dengan Inspektorat. Maka lahirlah testimoni dari Inspektorat yang menyatakan bahwa Komite SMA 1 itu merugikan keuangan negara," kata Muis.

Ia menyebut, Inspektorat Kabupaten Luwu Utara hadir sebagai saksi dalam sidang Tipikor tingkat pertama.

Meski menerima putusan, Muis tetap yakin tidak bersalah.

Ia menilai kasus tersebut terjadi karena salah tafsir terhadap peran komite sekolah.

"Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak dan sembunyi-sembunyi. Padahal, semua keputusan kami terbuka, ada rapatnya, ada notulen, dan dana itu digunakan untuk kepentingan sekolah," ucapnya.

"Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya banyak yang tidak membayar dan mereka tetap ikut ujian, tetap dilayani," tambahnya.

Usai menjalani masa pidana, Muis kembali mengajar di SMAN 1 Luwu Utara.

Namun, beberapa waktu kemudian, ia menerima SK pemberhentian tidak dengan hormat dari Gubernur Sulsel.

Muis tak menyangka pengabdiannya selama puluhan tahun di dunia pendidikan harus berakhir dengan keputusan pahit.

Ia sendiri telah menjadi guru sejak tahun 1998, dengan total pengabdian selama 27 tahun.

Setelah diberhentikan dari status PNS, Muis mengaku pasrah namun tetap tegar.

"Rezeki itu urusan Allah. Masing-masing orang sudah ditentukan jatahnya. Saya tidak mau larut. Cuma sedih saja, niat baik membantu sekolah malah berujung seperti ini," ujarnya pelan.

Selama menjadi bendahara, ia hanya menerima uang transportasi Rp125.000 per bulan dan tambahan Rp200.000 sebagai wakil kepala sekolah.

Sebagian ia gunakan membantu guru honor.

Kasus Abdul Muis memantik aksi solidaritas dari PGRI Luwu Utara di halaman DPRD Luwu Utara pada Selasa (4/11/2025).

Aksi tersebut juga mendukung Rasnal, guru dari UPT SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

"Guru hari ini berada di posisi yang rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berujung pada kriminalisasi," ujar Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin.

PGRI kemudian mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto untuk dua guru tersebut.

Keduanya diberhentikan tidak hormat berdasarkan keputusan Gubernur Sulsel:

Drs Rasnal, MPd, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD
Drs Abdul Muis, Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD
Kasus Abdul Muis menjadi cerminan batas kabur antara sumbangan sukarela dan pungutan liar di sekolah negeri.

Komite sekolah sejatinya adalah mitra lembaga pendidikan, bukan penanggung jawab utama pendanaan.

Namun di banyak daerah, keterbatasan anggaran memaksa mereka berperan lebih.

"Saya ini hadir dengan niat ikhlas untuk membantu sekolah. Tapi mungkin ini jalan yang harus saya lalui. Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor," tutur Muis.

Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com.

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved