Dokter di Sekayu Alami Kekerasan

'BUKAN KELUARGA SAYA' Bupati Muba Tegaskan Tak Ada Hubungan Keluarga dengan Pelaku Intimidasi Dokter

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DUKUNG PROSES HUKUM - Bupati Musi Banyuasin (Muba) H. M. Toha (tengah) membantah rumor yang menyebutkan dirinya memiliki hubungan keluarga dengan pelaku intimidasi terhadap dr. Syahpri Putra Wangsa (kanan), seorang dokter spesialis penyakit dalam di RSUD Sekayu.

SRIPOKU.COM, SEKAYU - Bupati Musi Banyuasin (Muba) H. M. Toha membantah rumor yang menyebutkan dirinya memiliki hubungan keluarga dengan pelaku intimidasi terhadap dr. Syahpri Putra Wangsa, seorang dokter spesialis penyakit dalam di RSUD Sekayu.

Toha juga menegaskan komitmennya untuk mendukung penuh proses hukum yang sedang berjalan.

"Saya tegaskan, saya bukan keluarganya. Pemkab Muba mendukung penuh proses hukum yang saat ini sudah ditangani pihak kepolisian," ujar Toha, Senin (18/8/2025).

Menurut Bupati yang dikenal sebagai "orang nomor satu di Bumi Serasan Sekate" ini, semua warga memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk menghormati proses penyelidikan yang sedang ditangani oleh Polres Muba.

"Sekarang perkara ini sudah masuk ke Polres Muba. Mari kita hormati dan percayakan prosesnya kepada aparat penegak hukum," lanjutnya.

Perkembangan Kasus

Di sisi lain, Kasat Reskrim Polres Muba, AKP M. Afhi Abrianto, menjelaskan bahwa penyelidikan kasus ini terus berjalan.

Pihaknya telah memanggil sejumlah saksi dari pihak pelapor, termasuk perawat, petugas keamanan, hingga direksi rumah sakit. Sementara itu, pihak terlapor juga sudah memenuhi panggilan untuk diperiksa.

"Sekarang masih dalam pemeriksaan saksi dan secepatnya akan ada penetapan tersangka," kata AKP Afhi, Minggu (17/8/2025).

Ia menambahkan bahwa sejauh ini belum ada upaya mediasi dalam kasus ini, dan proses penyelidikan akan terus berlanjut sesuai prosedur operasional standar (SOP).

Selain memeriksa para saksi, Polres Muba juga telah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk mengumpulkan bukti. Masyarakat diimbau untuk tidak khawatir karena kasus ini akan ditangani secara profesional.

"Masyarakat tidak perlu khawatir, karena proses penyelidikan kasus pemaksaan dengan ancaman kekerasan ini akan terus berjalan," tegasnya.

Berdasarkan penyelidikan awal, kasus ini dijerat dengan Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan dengan ancaman kekerasan.

Kisah ini meledak ketika sebuah video pendek menyebar cepat di dunia maya. Dalam rekaman tersebut, dr. Syahpri yang tengah bertugas memeriksa pasien, diduga mendapatkan perlakuan tak pantas.

Ia dipaksa untuk membuka masker oleh keluarga pasien dan menerima intimidasi verbal yang membuatnya merasa terancam.

Bagi dr. Syahpri, insiden itu bukan sekadar serangan personal, melainkan ancaman terhadap profesi tenaga kesehatan (nakes) dan pelanggaran serius terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) rumah sakit yang dirancang untuk melindungi pasien dan petugas medis.

Merasa keselamatannya terancam, dr. Syahpri tidak tinggal diam. Didukung oleh manajemen RSUD Sekayu dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muba, ia menempuh jalur hukum.

Tepat pada Rabu pagi, ia secara resmi membuat laporan di Polres Musi Banyuasin.

Langkah hukum yang diambil dr. Syahpri bukan didasari dendam, melainkan sebuah sikap untuk martabat profesi.

Ia berharap kasusnya menjadi yang terakhir, sebuah benteng agar tak ada lagi nakes yang mengalami hal serupa.

"Yang jelas, saya mewakili seluruh nakes di Indonesia, jangan sampai terjadi Syahpri-Syahpri yang lain. Jadi kita harus menentukan sikap, harus tegas," ujar dr. Syahpri dengan suara mantap usai membuat laporan.

Ia menyoroti betapa rentannya posisi para tenaga kesehatan, mulai dari perawat, dokter umum, hingga dokter spesialis, yang merupakan garda terdepan pelayanan. Sebuah ancaman bagi mereka adalah ancaman bagi seluruh sistem kesehatan.

"Untuk menjadi seorang dokter itu tidak mudah. Belum lagi dari biayanya yang luar biasa, dari waktu yang harus dibuang, meninggalkan istri-anak untuk sekolah, itu luar biasa," jelasnya, menyiratkan betapa besar pengorbanan yang dipertaruhkan jika profesi ini tidak dihargai dan dilindungi.

Keluarga Pasien Buka Suara

Di balik tindakan emosional keluarga pasien, ada cerita tentang harapan yang pupus.

Ismet Syaputra, anak dari pasien, mengungkapkan bahwa pemicunya adalah akumulasi kekecewaan terhadap pelayanan yang ia anggap tidak sepadan dengan status pasien VIP ibunya.

Mereka masuk RSUD Sekayu pada hari Jumat. Meskipun kondisi sang ibu membaik, mereka harus menunggu hingga hari Selasa, atau empat hari lamanya, untuk bisa bertemu dengan dokter spesialis.

“Kami memilih pelayanan umum atau VIP karena ingin pelayanan maksimal. Kalau dokter tidak ada saat akhir pekan, apa bedanya dengan BPJS?” keluh Ismet.

Puncak frustrasinya terjadi saat ia merasa diabaikan. Hasil tes dahak yang ia yakini sudah ada sejak Sabtu baru dibahas pada hari Selasa. Ketika ia meminta penjelasan, jawaban yang ia terima justru menyulut amarahnya.

“Bagaimana saya bisa bersyukur melihat ibu saya terbaring sakit?” ungkapnya. “Saya tersulut emosi dan meminta dokter melepas masker untuk memastikan beliau benar dokter atau bukan,” aku Ismet, menjelaskan momen yang terekam dalam video viral itu.

Berita Terkini