SRIPOKU.COM,PALI - Pemasok tempe untuk bahan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten PALI, buka suara usai tempe hasil produksinya dituding sebagai penyebab keracunan massal ratusan siswa.
Maryati, perajin tempe asal Talang Miring, Kecamatan Talang Ubi mengatakan, sejak memulai produksi tempe pada tahun 2012, belum pernah sekalipun ia menerima laporan bahwa produk usahanya menyebabkan keracunan.
Setelah hasil laboratorium MBG keluar, tiba-tiba disebut tempe penyebab keracunan massal ratusan pelajar, Ia mengaku merasa dirugikan, karena bisa membuat kepercayaan publik terhadap usahanya ikut terdampak.
"Sejak tahun 2012 kami mulai produksi, belum pernah ada yang keracunan karena tempe kami. Setelah hasil laboratorium MBG keluar, tiba-tiba disebut tempe penyebabnya, tentunya kami merasa sangat dirugikan, karena bisa berdampak pada usaha tempe kami," ujar Maryati, Senin (26/5/2025).
Bahkan, ia menduga jika persoalan keracunan massal itu bukan berasal dari tempe yang diproduksi, namun bisa jadi disebabkan oleh cara penyimpanan dan pengolahan pihak dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kurang tepat.
Karena menurut Maryati, pada hari insiden keracunan massal tersebut pihak pengelola dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya memesan 300 keping tempe dari yang biasanya 600 keping dengan alasan masih ada stok lama.
“Saat kejadian, mereka cuma pesan 300 keping dari yang biasanya 600 keping, alasannya masih ada stok yang dibekukan, jadikan bisa jadi sebabnya dari sana,” ungkap Maryati.
Dijelaskannya, bahwa di hari yang sama pihaknya memproduksi total sekitar 120 kilogram tempe yang juga dipasok ke beberapa tempat seperti pasar dan rumah makan termasuk dapur Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Pada hari itu, kita produksi sebanyak 120 kilo, 50 kilo untuk MBG, yang 70 kilo dipasok keluar tapi gak ada kendala, yang bermasalah hanya di MBG,” jelasnya.
Dalam menjaga kualitas, Maryati sangat disiplin. Ia bahkan tak segan memotong gaji karyawan jika standar kebersihan tidak terpenuhi.
Proses produksi tempenya memakan waktu lima hari, menggunakan air sumur yang selama ini dianggap layak.
Usaha tempe Maryati kini terpukul, sejak hasil lab penyebab keracunan MBG dikeluarkan, berdampak pada produksi tempe yang biasanya mencapai 50 kilogram per hari turun drastis menjadi 35 kilogram, itupun tidak habis terjual.
Kendati demikian ia tetap mempertahankan untuk mempekerjakan dua karyawan meski omzetnya sedang merosot.
“Memang rugi kalau dipaksakan,tapi saya tidak mau lepas karyawan karena produksi masih tetap jalan,” tuturnya.
Oleh karena itu, Ia meminta pemerintah bertindak transparan dan terbuka dalam menjelaskan penyebab sebenarnya dari insiden keracunan tersebut.
Maryati berharap ada audit menyeluruh terhadap seluruh rantai distribusi bahan makanan di program MBG, bukan hanya menyalahkan satu komponen.
Ia juga berharap ada inspeksi langsung ke tempat produksinya agar ia tahu titik lemah yang harus diperbaiki.
"Saya mohon kepada pemerintah, tolong dijelaskan secara terbuka. Dari mana sebenarnya masalah itu muncul. Kalau memang dari tempe jelaskan dari mananya, kami merasa dirugikan lantaran tempe yang kami anter tempe baru, tempe yang masih bagus, jangan langsung menyalahkan begitu saja. Kami ini juga ingin bantu program baik ini,” pungkasnya.
Sebelumnya, Plt Kepala Dinas Kesehatan Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Andre Fajar Wijaya mengatakan, hasil uji laboratorium dari Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat (BBLKM) di Palembang.
Sejumlah sampel yang diuji, mulai dari sampel makanan, muntahan, hingga air yang digunakan untuk mengolah makanan.
Hasilnya, dari empat sampel makanan, meliputi nasi, ikan tongkol suwir, sayur labu jagung, dan tempe goreng, ternyata, uji parameter bakteri Staphylococcus aureus pada tempe goreng melebihi standar baku mutu. Kandung bakteri itu pada tempe goreng mencapai 45.000 CFU (colony forming units) per gram.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah 66/2024 tentang Kesehatan Lingkungan, standar baku mutu kandungan bakteri Staphylococcus aureus pada media pangan olahan siap saji harus di bawah 100 CFU per gram.
Sehingga kalau dikonsumsi melebihi standar baku mutu, bakteri itu akan menimbulkan gejala keracunan makanan, seperti mual, muntah, dan diare.
Selain itu, hasil uji laboratorium menunjukkan, air sumur bor yang digunakan untuk mengolah makanan memiliki kandungan bakteri Escherichia coli sebesar 17 CFU per 100 mililiter (ml).
Sebaliknya, air PDAM yang digunakan mengolah makanan memiliki kandungan bakteri yang sama hingga 200 CFU per 100 ml.
Kalau terkonsumsi, bakteri itu akan menyebabkan diare atau infeksi saluran pencernaan.
”Ini adalah hasil yang bisa dipertanggungjawabkan karena keluar dari laboratorium milik Kementerian Kesehatan,” ujar Andre.
Simak berita menarik lainnya di sripoku.com dengan mengklik Google News.