Menyusuri Sejarah Kampung Kapitan, Kawasan Pecinan Berusia Lebih 400 Tahun di Palembang
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Bau asap dupa menyengat di bagian depan dua rumah pangung di Kawasan 7 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Palembang, Jumat (7/2/2020).
Pada masa kepemimpinan Tjoa Han Him, wilayah 7 Ulu ini, semakin berkembang dan menjadi sentral perdagangan di bawah pemerintahan Belanda.
Warga kemudian menyebut daerah itu sebagai Kampung Kapitan untuk menghormati jasa Sang Kapten.
Wilayah yang memiliki luas bangunan 165 x 85 meter ini sudah berusia 400 tahun.
Kampung Kampung Kapitan adalah sebuah kawasan yang terdiri dari 15 bangunan rumah panggung milik etnis Tionghoa pada masa kolonial Belanda.
Nama Kampung Kapitan diilhami dari kisah seorang pemimpin masyarakat Tiongkok Palembang Tjoa Kie Tjuan.
• 7 Tradisi Tionghoa yang Bisa Dilakukan di Kampung Kapitan Palembang, Bisa sambil Liburan
Saat itu, Tjoa kie Tjuan memimpin sejak 1830-1855 dan berpangkat mayor.
Kekuasaannya diteruskan oleh sang putra bernama Tjoa Han Him dengan pangkat kapten atau kapitan.
Kawasan Kampung Kapitan dulunya langsung menghadap Sungai Musi, tanpa ada rumah atau bangunan di depannya, yang ada hanya rumah berukuran sekitar 25x50 m, warisan dari seorang perwira Cina berpangkat mayor, dikenal Mayor Temenggung.
Kemudian dilanjutkan oleh Tjoa Kie Tjuan, dan turun temurun diwariskan hingga akhirnya menjadi milik seorang Kapitan atau Kapten, setingkat walikota, bernama Tjoa Ham Ling, seorang residen yang diangkat oleh Belanda untuk memimpin Kota Palembang pada sekitar Tahun 1855.
Tepat di sebelah rumah kapitan, terdapat rumah bangunan batu bercat putih, bernuansa Tionghoa namun sudah bergaya Eropa, yang dibangun oleh pemerintah Belanda untuk menjadi perkantoran bagi Kapitan.
Pewaris keturunan ke 14 Rumah Kapitan, Tjoa Tiong Jie atau Mulyadi, bercerita tentang keturunan Kapitan yang berawal setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, para pedagang dari Cina, pada masa Dinasti Ming, sekitar Tahun 1377, datang ke Palembang, dilanjutkan dengan Dinasti Cing yang merupakan keturunan saat ini.
• Menyusuri Kampung Kapitan, Kawasan Pecinan Berusia Lebih 400 Tahun di Palembang
“Kawasan Kampung Kapitan dulunya terbentang dari Sungai Kelenteng hingga Sungai Seko, tapi sungainya sekarang sudah tidak ada lagi, sudah jadi daratan,” ujarnya.
Mulyadi sudah diwariskan rumah kapitan sejak tahun 2008, dimana kala itu, masyarakat mulai mengenal Kampung Kapitan sebagai objek wisata Pecinan di Kota Palembang.
“Tahun 2008 itu paling ramai pengunjung datang, dalam sehari bisa sampai 600 pengunjung, mulai dari pengunjung lokal, luar kota maupun luar negeri datang,” ujarnya.
Rumah Kapitan selain sebagai tempat wisata, juga digunakan sebagai tempat sembahyang dan menyimpan abu dari keturunan Kapitan.
Rumah Kapitan sendiri memiliki makna, sebagai tempat ibadah menghormati para leluhur dan menyembah dewa.
Terdapat delapan pilar atau tiang di setiap rumah, yang melambangkan tidak putusnya hubungan.
“Seperti angka 8, tidak ada putusnya, bersambung, seperti itu juga hubungan atau garis keturunan Kapitan,” kata dia.
Saat ini, Mulyadi setia untuk menjaga rumah Kapitan, dan menghuni kamar yang dulunya dipakai oleh Kapitan beristirahat.