SRIPOKU.COM, JAKARTA - Keamanan data pribadi warga mudah
sekali berpindah tangan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Kondisi ini mencemaskan karena banyak kejadian yang telah merugikan
warga. Warga diminta berhati-hati dengan publikasi data privat,
sementara pemerintah diminta segera menjamin keamanan data pribadi
dengan membuat Undang-Undang Privasi.
Sejumlah kasus yang didapat Kompas,
Minggu (17/2), memperlihatkan bahwa kebocoran data pribadi mulai dari
nama, nomor telepon seluler, alamat surat elektronik, hingga yang paling
parah seluruh data pribadi warga sudah dikuasai oleh orang yang tidak
berhak.
Kasus seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Pekan lalu, kantor berita AFP melaporkan, di Singapura, seorang karyawan bank swasta besar dipecat
karena membocorkan data 87 nasabah. Data itu berupa nama, alamat surat
elektronik, dan kekayaan. Pekan lalu, warga Hongkong juga memperdebatkan
pengaturan data pribadi mereka.
Kekhawatiran kebocoran data
pribadi di Indonesia kuat karena kartu tanda penduduk (KTP) lama yang
diserahkan kepada pemerintah, menyusul program KTP elektronik, belum
dimusnahkan. Di samping itu, keamanan data KTP elektronik juga belum
memberikan kepastian bagi warga.
Kasus yang paling banyak
ditemukan di Indonesia adalah tenaga penjual produk yang mengetahui nama
dan nomor telepon seluler warga. Kemudian, ia menawarkan produknya.
Tri
(42), warga Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah, mengungkapkan
kejengkelannya karena setiap hari menerima telepon dari orang yang
mengaku bagian pemasaran perbankan dan asuransi.
”Tiap hari, dari
pagi hingga sore, bisa lebih dari lima orang menelepon menawarkan kartu
kredit dan asuransi. Kadang satu bank bisa tiga orang berturut-turut
menelepon. Kalau kita angkat telepon, mereka akan langsung bicara
terus-menerus sehingga sulit dihentikan, kecuali kita matiin,” ujarnya.
Ina,
manajer bisnis di sebuah perusahaan nasional yang berkantor di
Semarang, juga mengungkapkan kejengkelannya karena sering diganggu.
”Data pribadi kita sering diperjualbelikan kepada tenaga penjual produk
bank- bank lainnya sehingga kita sering dapat telepon yang lumayan
mengganggu,” katanya.
Parahnya lagi, lanjut Ina, persetujuan atas penawaran dari tenaga penjual itu dilakukan melalui rekaman pembicaraan via telepon.
”Kalau
kita terjebak dengan pertanyaan mereka dengan jawaban ’ya’, itu sudah
masuk kategori menyetujui untuk program yang ditawarkan. Saya pernah
terjebak sebuah program di kartu kredit,” ujar Ina. Otomatis, hampir
seluruh data Ina dikuasai oleh tenaga penjual itu.
Dian (34),
karyawan swasta, menuturkan, hampir setiap hari dia menerima pesan
singkat melalui telepon selulernya tentang promosi produk hingga tawaran
pinjaman. Promosi produk yang ditawarkan itu mulai dari racun tikus
hingga telepon seluler.
Sementara itu, Wakil Sekjen DPP PDI-P
Hasto Kristianto pernah dibajak alamat surat elektroniknya. Si pembajak
menyebarkan permintaan sejumlah uang. Namun, sebagian besar penerima
surat tidak menggubris sehingga tidak terjadi kerugian.
”Saya
sempat berkomunikasi dengan Yahoo setelah kejadian itu. Mereka
menyarankan setiap periode tertentu kita harus mengubah kata sandi,”
katanya.
Pengalaman dia lainnya, sebagai pengurus partai, namanya
pernah dipalsukan untuk mencari dana oleh pihak tertentu. ”Ini terjadi
terutama menjelang pilkada. Ada orang yang memanfaatkan momen ini.
Mereka mencari dana dengan menggunakan nama pengurus DPP,” katanya.
Modus ini menggunakan KTP palsu.
Andri, pria asal Kabupaten
Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pernah kehilangan uang Rp 2 juta pada
2008. Saat itu, ia ditelepon seseorang yang mengaku dari perusahaan
telekomunikasi yang memberitahukan bahwa Andri berhasil memenangi undian
berhadiah mobil Toyota Avanza.
Andri diminta mengirim uang Rp 2
juta sebagai biaya transportasi pengiriman mobil. Ia kemudian mengirim
uang itu beberapa saat setelah dihubungi.
Berhati-hati
Kepala
Grup Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah ketika
dikonfirmasi mengakui banyak kebocoran data di masyarakat.
”Data
itu kerap diperjualbelikan. Saya hanya menyarankan para nasabah agar
berhati-hati membuka data privat. Intinya, nasabah harus lebih
berhati-hati, mana yang merupakan data privat dan mana yang publik,”
katanya.
Warga juga harus mengamankan sendiri data privat ketika
bermedia sosial. Data tanggal lahir, nama ibu, dan alamat surat
elektronik kerap dipublikasikan di media sosial sehingga mempermudah
orang mengakses data personal itu.
Difi menegaskan, hingga
sekarang, belum ada kasus pembocoran data nasabah oleh karyawan
perbankan. Meski demikian, ia menyarankan agar masyarakat dan pemerintah
mulai memikirkan Undang-Undang Privasi. Di negara lain, seperti
Inggris, Amerika Serikat, dan India, sudah ada perlindungan bagi data
warga.
”Salah satunya, jika warga ditawari oleh tenaga penjual yang tidak diundang (unsolicited offer), mereka berhak mempermasalahkan dan menuntut tenaga penjual itu,” katanya.
Dengan UU Privasi, warga bisa terhindar menjadi korban korporasi yang memasarkan produk secara jarak jauh.
”Semula
hanya produk perbankan dan asuransi, makin lama makin meluas, sampai
pelangsing badan, penyedia layanan televisi berlangganan, juga
obat-obatan,” katanya.
Sementara itu, lembaga yang bertanggung
jawab atas data investor di pasar modal nasional, PT Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI) menjamin tak bakal menyalahgunakan data investor.
”Secara
kelembagaan, KSEI tidak mungkin memberikan data personal investor untuk
keperluan komersial,” kata Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan
Layanan Jasa KSEI Alec Syafruddin.(BEN/KO6/KO7/ENY/SON/MAR)
Kebocoran Data Pribadi Gawat
Editor: Bejoroy
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger