CODE Silence Penghalang Misteri Tewasnya Brigadir J, Analisa Psikologi Forensik Ada yang Aneh

Akibat insiden itu, Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J usai ditembak oleh Bhayangkara Dua (Bharada) E.

Editor: Wiedarto
Kolase Tribunnews
Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dan Senjata api Glock 17. Diketahui dalam insiden baku tembak di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo Brigadir J menggunakan senjata jenis HS-9 sedangkan Bharada E menggunakan senjata jenis Glock 17. Pakar Psikologi Forensik sebut kasus ini tidaklah sulit untuk dibongkar. 

SRIPOKU.COM, JAKARTA--Baku Tembak di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo sebenarnya bukan kasus yang sulit untuk diungkap. Akibat insiden itu, Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J usai ditembak oleh Bhayangkara Dua (Bharada) E.

Bagi Polri kasus serupa bukan kali pertama terjadi. Penyelidikannya pun tak segempar kasus meninggalnya Brigadir J. Dalam waktu singkat, insiden penembakan sesama anggota polisi diselesaikan secara cepat.


Namun kali ini yang terjadi menimbulkan polemik dan kontroversi. Informasi yang simpang siur membuat kasus Brigadir J seakan-akan menjadi misteri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membentuk tim gabungan untuk menangani kasus baku tembak yang terjadi di rumah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Inspektur Jenderal Ferdy Sambo.

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menduga ada hal lain yang melatarbelakangi pembentukan tim gabungan ini. Pasalnya, insiden ini sebetulnya melibatkan sesama anggota kepolisian.

"Jadi, semestinya tidak ada kendala bagi kepolisian untuk melakukan investigasi hingga tuntas terhadap personelnya sendiri," ujar Reza dikutip dari Kompas TV dalam Sapa Indonesia Pagi, Kamis (14/7/2022).

Adanya desakan pembentukan tim gabungan untuk investagasi ini lantas menjadi pertanyaan besar. Bagi Reza, hal itu justru menimbulkan syak dan sangkaan terhadap integritas dan profesionalisme institusi kepolisian.

Di sisi lain, Reza tidak memungkiri dalam kajian psikologi forensik menemukan fenomena code of silence atau kode keheningan. Menurut dia, fenomena ini marak terjadi di berbagai institusi kepolisian di banyak negara.

Menurut Reza, code of silence ditandai oleh kecenderungan sesama polisi untuk menutupi kesalahan sesama kolega, baik itu melindungi atasan, menjaga nama baik institusi, hingga memastikan kepercayaan masyarakat.

Sayangnya, kata Reza, tujuan baik itu kerap dilakukan dengan cara keliru dengan code of silence.

"Itu yang saya tafsirkan. Bahwa untuk menginvestigasi di lingkup internal pun Polri seolah saat ini tidak lagi sepenuhnya diyakini oleh masyarakat," ujar Reza.

Menurut Reza, pembentukkan tim gabungan masuk akal apabila ada korban sipil atau pun melibatkan pihak luar institusi. Namun, Reza melihat pihak yang terlibat sejauh ini seluruhnya adalah personel polisi.

Reza berpandangan insiden yang melibatkan antar polisi ini bukan pertama kali. Terlebih kasus polisi tembak polisi dan selalu menimbulkan kegemparan.

Namun, selama ini tidak pernah ada tuntutan atau desakan kepada negara atau Polri untuk membentuk tim khusus.


"Saya pun pada awalnya beranggapan tidak dibutuhkan tim semacam itu. Tidak dibutuhkan langkah seluar biasa itu," tutur Reza.

Adapun baku tembak terjadi antara Brigadir J dan Bharada E di rumah Kadiv Propam. Brigadir J disebut tewas dalam insiden baku tembak dengan rekannya Bharada E.

Baku tembak itu terjadi karena dipicu dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap istri Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi di rumahnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved