Diremehkan Arteria Dahlan, Ini Asal Usul Suku Sunda & Alasan Orang Sunda Tak Suka Disebut Orang Jawa

Lantas apa itu sebenarnya Suku Sunda dan seperti apa sejarahnya? berikut ulasannya.

Penulis: Nadyia Tahzani | Editor: adi kurniawan
sripoku.com/Nadyia Tahzani
Suku Sunda 

SRIPOKU.COM - Politisi PDIP Arteria Dahlan kembali menjadi sorotan publik lantaran meminta Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dicopot usai menggunakan bahasa Sunda.

Aksi Arteria Dahlan meminta Jaksa Agung memecat Kajati yang menggunakan bahasa Sunda itu menuai kecaman dari banyak pihak.

Bahkan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil juga angkat bicara dan meminta Arteria Dahlan meminta maaf.

Bukannya minta maaf, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mempersilakan masyarakat untuk melaporkannya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

"Kalau saya salah kan jelas, mekanismenya ada MKD, apakah pernyataan salah. Kita ini demokrasi, silakan kalau kurang berkenan dengan pernyataan saya silakan saja," kata Arteria di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/1/2022).

Arteria mengaku DPR sudah memiliki mekanisme apabila publik keberatan dengan pernyataan wakil rakyat.

"Izinkan saya juga menyatakan yang demikian, repot dong kalau anggota DPR tiba-tiba seperti ini," ujar politikus PDIP tersebut.

Lantas apa itu sebenarnya Suku Sunda dan seperti apa sejarahnya? berikut ulasannya.

Baca juga: Bukannya Minta Maaf, Arteria Dahlan Malah Tantang Balik yang Tersinggung soal Sunda : Silahkan Lapor

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat & Banten.

Populasi suku Sunda secara signifikan juga dapat ditemukan di wilayah Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan).

Orang Sunda tersebar diberbagai wilayah Indonesia, dengan provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai wilayah utamanya.

Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasa dan budayanya.

Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang dan bersahaja.

Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang Sunda bersifat jujur dan pemberani.

Orang Sunda juga adalah suku bangsa pertama yang melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain.

Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan bangsa lain pada abad ke-15 dengan orang Portugis di Malaka.

Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal.

Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi Wakil Presiden pada kabinet RI.

Di samping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor, dan aktris dari etnis Sunda yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.

Asal Usul Suku Sunda

Menurut Rouffaer menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, berkilau, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289).

Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata Sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup.

Karakter orang Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), wanter (berani) dan pinter (cerdas).

Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang.

Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibu kota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya.

Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.

Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh.

Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Tak Suka Disebut Orang Jawa

Menurut Revi Soekatno, selaku pendiri Wikipedia bahasa Indonesia (WBI)dan Wikipedia bahasa Jawa ini mengatakan bahwa memang benar orang sunda tak suka disebut orang jawa.

Karena orang Sunda itu memang bukan orang Jawa.

Di sini harus dibedakan antara orang etnis Jawa dan orang yang mendiami Pulau Jawa. Sebab orang Sunda tentu tidak bermasalah jika disebut sebagai orang Jawa Barat.

Bahasa dan budaya Sunda pada hakekatnya berbeda dengan bahasa dan budaya Jawa. Walau demikian ada pengaruh dari bahasa dan budaya Jawa terhadap bahasa dan budaya Sunda. Apa sebaliknya ada juga, saya kurang tahu.

Selain itu sebagai sesama etnis utama di Pulau Jawa, ada sedikit rivalitas antara orang Jawa dan orang Sunda.

Jadi kesimpulannya orang etnis Sunda itu berbeda dengan orang etnis Jawa, sehingga memang tidak logis untuk menyebut orang Sunda sebagai orang Jawa.

Tetapi orang Sunda tidak berkeberatan jika mereka disebut sebagai penghuni Pulau Jawa dan khususnya disebut sebagai orang Jawa Barat.

Kemudian melansir phinemo.com, Alasan kenapa orang-orang Jawa Barat tidak berbahasa Jawa serta menolak jika disebut orang Jawa adalah karena memang mereka bukan orang Jawa.

Orang Jawa yang tinggal di sebagian besar wilayah Pulau Jawa berasal dari Suku Jawa.

Sedangkan orang-orang di Jawa Barat tidak, mereka berasal dari kelompok etnis berbeda, Suku Sunda.

Mereka sudah sejak lama tinggal di wilayah barat Pulau Jawa yang dikenal sebagai Tatar Pasundan.

Tome Pires, seorang penjelajah Portugis dalam catatannya Suma Oriental pada abad ke-16 menjelaskan bahwa Tatar Pasundan adalah tanah kesatria dan pelaut pemberani.

Mereka jauh lebih terkenal dibandingkan para kesatria atau pelaut dari Jawa.

Menurut Pires orang Sunda pada masa itu selalu bersaing dengan orang Jawa, begitu pula sebaliknya.

Dalam keseharian, antara orang Jawa dan Sunda tidak terlalu akrab dan berteman. Namun tidak pula bermusuhan.

Mereka mengurus urusannya masing-masing.

Mereka saling berdagang. Tapi ketika bertemu di lautan sebagai seorang perompak, pihak yang lebih siap akan lebih dulu menyerang.

Serangan biasanya terjadi di wilayah perairan Cimanuk, tak peduli betapa erat hubungan atau pertemanan diantara keduanya.

Baca juga: Pak JA Orang Sunda Lho Hati-hati Saat Arteria Dahlan tak Senang dengan Kajati Berbahasa Sunda

 

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved