KISAH Pilu Ade Irma, Anak Jenderal AH Nasution yang Ditembak PKI, Ucapkan Kalimat Ini ke Kakaknya

Putri sulung AH Nasution, Hendrianti Sahara Nasution, menceritakan peristiwa kelam yang merenggut nyawa adiknya dalam peristiwa G30S/PKI.

Penulis: Nadyia Tahzani | Editor: Welly Hadinata
kolase/sripoku.com
Ade Irma Suryani, Anak Jendral AH Nasution 

SRIPOKU.COM - Peristiwa G30S PKI menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia.

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan peristiwa sejarah G30S PKI terjadi pada 56 tahun yang lalu.

Meski begitu, sejarah terkait G30S PKI masih ramai dibahas hingga sekarang.

Terlebih pada aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Salah satunya kisah tragis Ade Irma Suryani anak dari jendral AH Nasution yang juga ikut menjadi korban G30S PKI.

Ade Irma yang masih berusia 5 tahun ditembak dipunggungnya dengan total 3 peluru ditemukan dalam tubuhnya.

Ia meninggal dalam perawatan di RSPAD Gatot Subroto, 6 Oktober 1965.

Bagaimana kisahnya? berikut dilansir Sripoku.com dari Tribunnews saat mewawancari putri sulung AH Nasution, kakak dari Ade Irma Suryani

Putri sulung AH Nasution, Hendrianti Sahara Nasution, menceritakan peristiwa kelam yang merenggut nyawa adiknya dalam peristiwa G30S/PKI.

Ya, peristiwa berdarah G30S/PKI yang terjadi pada 1965 meninggalkan luka mendalam.

Baca juga: ITU Tudingan yang Keji, Pangkostrad Soal TNI Telah Disusupi: Patung Penumpas G30S PKI Dibongkar

Keluarga AH Nasution menjadi korban. Meski AH Nasution berhasil lolos dari maut, anak dan ajudannya tidak selamat.

Anaknya yang masih kecil, Ade Irma Suryani menderita luka tembak dan sempat mendapat perawatan tapi tidak dapat diselamatkan.

Pasukan yang membawa para jenderal salah mengira Pierre Tendean adalah AH Nasution dan menculiknya.

Sedangkan putri sulungnya, Hendrianti Sahara Nasution kabur dan mengalami patah kaki.

Hendrianti mengatakan sang adik tewas tertembak dari jarak dekat.

Hendrianti menggambarkan, peristiwa berdarah itu di tempat kejadian di kediaman AH Nasution yang telah dijadikan museum, di Menteng, Jakarta Pusat.

Pada pukul 03.30 WIB dini hari, Jenderal AH Nasution dan Johanna Sunarti Nasution terbangun dari tidur.

"Pukul 03.30 pagi, ibu saya dan ayah terbangun gara-gara nyamuk. Terdengar pintu digerebek, ibu saya melihat pasukan Cakrabirawa masuk," kata Hendrianti.

Menyadari hal tersebut, istri AH Nasution langsung menutup pintu.

"Itu yang membunuh kamu sudah datang," kata Johanna kepada suaminya.

Kemudian, pasukan Cakrabirawa menembaki pintu tersebut.

"Lalu Bapak (AH Nasution) bangun dan bilang biar saya hadapi, tapi ibu bilang jangan," kata Hendrianti.

Saat penyerbuan terjadi, Ade Irma Suryani bersama ayah dan ibunya.

Johanna berusaha melindungi AH Nasution, ia menyerahkan Ade Irma Suryani kepada adik iparnya.

"Ibu bilang ke adik bapak, tolong pegang Irma, karena dia harus menyelamatkan bapak. Sementara ibu nangis lihat ayah ditembak," carita Hendrianti.

Adik AH Nasution menuruti permintaan Johanna, ia menggendong Ade Irma Suryani.

Namun, ia panik dan tak sengaja membuka pintu yang diberondong oleh pasukan Cakrabirawa.

"Langsung, (pasukan Cakrabirawa) menembak adik saya. Jaraknya segini (sambil menunjuk diorama tempat ditembaknya Ade Irma dalam jarak dekat)," katanya.

Peluru tersebut akhirnya menembus badan Ade Irma Suryani.

"Adik saya ditembak, peluru masuk ke tangan tante saya, dan menembus ke badan adik saya," ujarnya.

Setelah Ade Irma Suryani tertembak, pintu ditutup kembali oleh Johanna Nasution.

Ia langsung menggendong tubuh anaknya yang bersimbah darah, sambil mengantar AH Nasution untuk menyelamatkan diri.

Bahkan Hendrianti mengatakan darah versi asli lebih banyak dibandingkan yang ada di diorama.

Melansir dari Intisari, ternyata ada sekitar tiga peluru yang bersarang di punggung Ade Irma Suryani.

Ade Irma Suryani, Anak Jendral AH Nasution
Ade Irma Suryani, Anak Jendral AH Nasution (kolase/sripoku.com)

Mengutip dari halaman Facebook Museum of Jenderal Besar Dr AH Nasution, Hendrianti menjelaskan saat peritiwa itu terjadi usianya masih 13 tahun.

Saat rumahnya dikepung Cakrabirawa, ia tidur di kamar seberang kamar orang tuanya.

Ia terbangun saat mendengar suara tembakan.

Putri sulung AH nasution itu berusaha menyelamatkan diri dengan cara melompat dari jendela yang tingginya 2 meter.

"Sampai tulang kaki saya patah yang saya rasakan sakitnya sampai sekarang, paha kaki saya yang kanan penuh dengan pen penyambung tulang," ucapnya.

Sambil menahan rasa sakit, ia mencari ajudan.

Ia kemudian bersembunyi di kamar ajudan dan diberi tahu keselamatan keluarganya sedang di ujung tanduk.

"Tak berapa lama terjadi ribut-ribut di ruang jaga dan ajudan Pak Nas Lettu Czi Pierre Tendean diculik. Sampai pagi saya bersembunyi," katanya.

Setelah hari menjelang pagi, Johanna mencari Hendrianti sambil menggendong Ade Irma yang terluka.

Sementara itu, AH Nasution menyelamatkan diri dengan cara melompat pagar ke Kedubes Irak yang ada di sebelah.

Ia bersembunyi di belakang tong untuk menyelamatkan diri dari penculikan dan pembunuhan.

Ade Irma dibawa ke RSPAD untuk diberikan pertolongan.

Gadis kecil itu harus menjalani operasi beberapa kali.

Hendrianti yang tak kuasa melihat adiknya yang bersimbah darah hanya bisa menangis.

"Adik saya bilang, 'Kakak jangan nangis, adik sehat'," katanya.

Selain menenangkan Hendrianti, Ade Irma juga bertanya kepada sang ibu.

"Adik tanya ke ibu saya, 'Kenapa ayah mau dibunuh mama?"

Kalimat tersebut diucapkan sebelum Ade Irma Suryani meninggal dunia.

Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.

"Tanggal 6 Oktober adik saya dipanggil Allah. Saya sebagai manusia sudah memaafkan mereka tapi peristiwa ini tidak boleh dilupakan," ucapnya.

Kesaksian Pengasuh Ade Irma Suryani

Saat itu, sekira Maret 1960, kira-kira dua minggu setelah Ade Irma lahir (19 Februari 1960), Johana Sunarti Nasution mencari calon pengasuh buat putri keduanya di Yayasan Tilaar.

Terpilihlah Oma Tintang yang saat ini masih sangat muda.

Keraguan sempat muncul karena dia tidak percaya diri. Tapi, kebaikan hati Johana, serta jiwa mengayomi dari Jenderal Nasution saat dia mulai bertugas, membuat kepercayaan dirinya muncul.

Dia pun menjadi sangat akrab dengan orang-orang yang tinggal di Jalan Teuku Umar No 40, Menteng, Jakarta Pusat, yang sempat menjadi rumah kediaman Keluarga Nasution, termasuk puteri pertama mereka, Hendrianti Sahara (Yanti) dan Lettu Czi Pierre Andries Tendean, ajudan Nasution.

Waktu pun berjalan, Om Tintang yang sangat cinta dengan budaya Sangihe, mulai menyisipkan budaya Sangihe dalam pola asuhnya ke Ade Irma dan Yanti.

Termasuk dalam soal panggilang kepada saudara atatu kerabat yang lebih tua dan muda.

Saat peristiwa naas itu, Alpiah berumur 25 tahun. Dia menceritakan, tiga minggu sebelum Ade Irma meninggal ia sudah mendapati ada firasat buruk kepada putri bungsu sang jenderal.

Kadang suka menangis tanpa sebab dan juga tidak suka makan.

Namun takdir berkata lain, peristiwa tragis itu akhirnya merenggut nyawa Ade Irma.

Saat itu ia langsung membawanya ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan menuju RS, Alpiah mengaku turun dari mobil untuk melaporkan kejadian naas itu.

Baca juga: JELANG Subuh, Sebelum Diculik PKI, Jenderal Soeprapto Tak Bisa Tidur Usai Cabut Gigi:Ajudan Sudirman

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved