Ikon Sumatra Selatan dan Gerbang Jalur Rempah Nusantara
Sepenggal syair lagu Kapal Api sengaja dipinjam guna mengawali tulisan ini, dan maknanya kurang-lebih mempresentasikan suasana dinamis masyarakatnya
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - “…Kapal api masuk Palembang, airnya tenang jadi gelombang, oi mak mano ati dak
senang, gadis belagak siap dipinang…”
Sepenggal syair lagu Kapal Api sengaja dipinjam guna mengawali tulisan ini, maknanya kurang-lebih mempresentasikan suasana dinamis masyarakatnya.
Sejarah panjang peradaban di Sumatra Selatan sudah tercatat baik dalam Sejarah Nasional Indonesia, bahkan Sriwijaya telah menjadi fenomenal dalam wacana sejarah dunia.
Tradisi Megalitik Pasemah telah pula menjadi kajian ilmiah para arkeolog dan sejak era Van der Hoop (1930-1931), diakui sebagai salah-satu tinggalan era Megalitikum khas Nusantara.
Megalitik Pasemah pun Sriwijaya merupakan dua “cagak” yang menjadi tonggak monumental bagi Sumatra Selatan, sehingga memiliki potensi kultural yang khas dibanding wilayah lainnya di Indonesia, sejak masa lalu hingga masa kini dan ke depan.
Patung-patung megalit Pasemah tidak terbantahkan, merupakan karya rupa terbaik pada masanya dalam ranah dunia. Sriwijaya terpahatkan dengan tinta emas sebagai negara/kerajaan/Kedatuan terpanjang rentang kekuasaannya dan berpangaruh hingga ke manca negara.
Khusus Sriwijaya, berawal dengan ditemukannya prasasti Kota Kapur pada bulan Desember 1892 oleh J.K. van der Meulen di dekat Sungai Mendo, Kota Kapur, Kabupaten Bangka Barat, berisikan teks berbahasa Melayu Kuno dan huruf Pallawa Sriwijaya, di antaranya bermakna lebih-kurang: “…pelayaran Sriwijaya guna
menghukum bumi Jawa yang tidak patuh...”
Tentu pelayaran itu menggunakan kapal laut, menghukum karena tidak patuh juga bermakna bahwa Jawa merupakan bagian wilayah kekuasaan Sriwijaya.
Pada penanggalan prasasti tertua peninggalan Sriwijaya yang sudah ditemukan, yakni Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 604 Saka atau 682 M, pada parasasti itu juga terpahatkan teks berbahasa Melayu Kuno dengan huruf Pallawa Sriwijaya, di antaranya: “…Dapunta Hyang berlayar dari Minanga Tamwam menuju Mukha
Upang…”
Berdasar prasasti itu jelas Sriwijaya mengunakan kapal laut karena berlayar, selain itu bersama bala tantara membangun Wanua, artinya sebagai negara maritim memang memiliki pasukan dan wanua dapat diartikan istana.
Dalam kurun waktu seabad lebih telah mewarnai perbincangan dan perdebatan ilmiah, pada berbagai forum diskusi dari waktu ke waktu, semuanya sepakat bahwa eksistensi dan hegemoni Sriwijaya kala itu sulit dicarikan tandingannya.
Memang, dari berbagai kajian para ahli secara umum, dapat dibagi menjadi dua pendapat yang sama-sama
berdasar data dan argumentasi kuat: 1). Sriwijaya berpusat di Palembang dan 2). Sriwijaya berpindah-pindah tidak berpusat di Palembang. Namun dari kedua pendapat itu, sebagian besar para ahli cenderung lebih mendukung pendapat pertama.
Sehingga klaim tidak salah, apabila Sumatra Selatan dikatakan sebagai Bumi Sriwijaya, mengingat di wilayah Sumatra Selatan pula terlihat eksistensi Sriwijaya sangat kuat secara arkeologis, termasuk ciri kemaritimannya jelas merupakan gerbang utama jalur rempah Nusantara.
Banyaknya situs-situs arkeologi dan beragam artefaktual tinggalan Sriwijaya yang ditemukan, bahkan terbanyak di Palembang sekarang. Karenanya,sudah selayaknya ke-Sriwijayaan terpilih sebagai simbolik dan dapat diangkat menjadi icon bagi Sumatra Selatan sebagai Bumi Sriwjaya, maupun Gerbang Jalur Rempah Nusantara.

Dasar Pemikiran
Berdasarkan usia Megalitikum Pasemah memang merupakan peradaban tertua di Sumatra Selatan dan tercatat sebagai salah-satu karya rupa terbaik pada masanya (A. Erwan Suryanegara, Tesis Terbaik – FSRD, ITB, 2006 dan Disertasi – FSRD, ITB, 2018).
Namun, tinggi dan besarnya peradaban megalitik itu pula yang kemudian pada masa berikutnya melahirkan peradaban bersar baru yakni Sriwijaya (A. Erwan Suryanegara, dkk, Kerajaan Sriwijaya, Dinas Pendidikan Nasional Prov. Sumsel, 2009, dan kemudian Membaca Sriwijaya, Yayasan Tandipulau dan Dinas Kebudayaan Kota Palembang, 2018).
Negara/Kerajaan/Kedatuan Sriwijaya yang berpusat di Palembang berdasar hasil kajian para ahli dunia, juga menurut catatan-catatan para musafir bangsa asing kala itu seperti, Cina, Arab, dan India.
Semua mengindikasikan Sriwijaya pernah menghegemoni sebagian dari belahan dunia.
Sriwijaya kala itu memiliki beberapa bandar besar,sebagai tempat bertemu dan berlangsungnya geliat ekonomi dunia.
Sriwijaya merupakan negara maritim besar, tentu disegani baik lawan maupun kawan kala
itu.
Sriwijaya juga menjadi salah-satu pusat bertemunya peradaban dunia (Cina, Arab, dan India), dan telah memiliki pendidikan tinggi pertama Agama Budha (Syakiakirti), dengan mahagurunya bernama Dharmakirti, selain (Nalanda) India.
Peran kemaritiman Sriwijaya tidak dapat diragukan lagi, bahkan keperkasaannya di tengah samudra itu terbukti.
Hingga kini banyak ditemukan sisa bekas kapal ataupun serpihannya, tersebar pada situs-situs arkeologis dengan artefaknya, bahkan terpahatkan pula secara visual pada relief di dinding candi Borobudur, dengan adanya tampilan beberapa jenis kapal layar maupun perahu Sriwijaya.
Keberadaan Borobudur memang sezaman dengan era keemasan Sriwijaya dalam Dinasti Syailendra.
Sehingga “Jalur Rempah Nusantara” tentu berkait erat dengan keperkasaan Sriwijaya, dalam perdagangan samudra kala itu, dan visual kapal adalah simbolik Sriwijaya sebagai bangsa dan negara maritim yang besar dan kuat, pernah berjaya selama berabad-abad mengamankan jalur pedagangan laut di Nusantara masa itu, sehingga bandar-bandarnya selalu ramai dikunjungi kapal-kapal niaga para sudagar mancanegara.
Bumi Sriwijaya
Sumatra Selatan adalah wilayah yang paling banyak memiliki situs-situs arkeologis Sriwijaya (baca: Jurnal-jurnal arkeologi Sidhayatra, Balai Arkeologi Sumatra Selatan).
Tentunya secara artefaktual tinggalan-tinggalan Sriwijaya juga terbanyak ditemukan dan terdapat di Sumatra Selatan, hal itu pula menjadi alasan kuat dan sulit dibantah bahwa pengendalian sistem pemerintahan Sriwijaya kala itu berpusat di Palembang.
Jika pusat Sriwijaya bukan di Palembang karena berpindah-pindah, seperti apa tafsirnya untuk menjawab pertanyaan, di mana saja letak istana Sriwijaya ketika berpindah-pindah itu?
Sementara untuk pendapat kedua, memang secara artefaktual-arkeologis Palembang sangat kuat, tafsir ini berpijak pada teori Tanda (sign index) "Sebab-Akibat," atas situs pun artefak tinggalan Sriwijaya, dan sudah
beberapa kali kita ungkapkan, bahwa istana dimaksud berada di area pabrik pupuk PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri), Kecamatan Kadoni, Kota Palembang sekarang.
H Abdul Malik, SH atau H Abdul Malik Walinegara, mantan Kepala Badan Pengembangan Pariwisata Sumsel, juga Penasehat Ahli Gubernur Sumsel, sejak tahun 1975 telah mempopulerkan "Bhumi Sriwijaya" tetapi hingga sekarang lebih dipahami untuk Palembang.
Berdasarkan data arkeologi (Balai Arkeologi Sumsel, BP3 Jambi, dan Puslit Arkeologi Nasional), situs-situs arkeologis Sriwijaya tersebar ke Banyuasin, Ogan Ilir, Pali, Musirawas, selain di Kota Palembang, Sumatra Selatan. Sehingga konsep Bumi Sriwijaya sesungguhnya layak menjadi nama lain atau alias bagi Sumatra Selatan.

Bukti-bukti artefaktual-arkeologis tentang ekstensi Kerajaan Sriwijaya secara ilmiah sudah tidak perlu diragukan lagi.
Sebagaimana ungkapan hanya bangsa besar yang akan melahirkan bangsa besar berikutnya, kerajaan Sriwijaya dalam pertumbuhan dan perkembangan hingga menjadi salah satu imperium teokratis terkemuka di dunia, tentu
tidak lepas dari tradisi dan budaya masyarakat yang melahirkannya, yaitu Tradisi Megalitik Pasemah.
Sriwijaya berperan besar dalam menghegemonikan Bangsa Melayu di kawasan Asia Tenggara, dengan ciri utama: tinggal menghuni rumah-rumah kostruksi panggung berbahan kayu, berbahasa Melayu dengan beragam etnik pun religinya, bertradisi dengan nilai-nilai ke-Melayu-an. Tak mengherankan beberapa prasasti dan arca Sriwijaya, masih melanjutkan menggunakan media batuan andesit yang memang juga menjadi media utama tradisi megalitik di Dataran Tinggi Pasemah.Kapal Sriwijaya Ikonik Sumatra Selatan.
Tradisi khas Bangsa Melayu yang terkenal sejak zaman Yunani Kuno adalah pelaut tangguh, pedagang, dan petarung yang disegani dunia. Orang Yunani selain mengenali Bangsa Melayu sebagai yang disegani, orang Yunani mengenali Melayu sebagai Chrisy(Negeri Emas) dan Negeri Atlantis. Orang Cina menyebut Bangsa Melayu sebagai Kun-lun,atau dimaknai dan dipahami mereka sebagai wilayah gugusan perbukitan di selatan.
Dalam kitab sastra kuno Cina peninggalan era Dinasti Tang (618-906 M), Kun-lun Numemberikan makna satu kawasan atau wilayah gugusan perbukitan di selatan yang berkulit sawo matang, mengisahkan seorang pendekar bernama Sang Mohe atau Sang Maula, karena kesaktiannya dipercaya Kaisar sebagai Komandan Pasukan Pengawal Kaisar.
Kitab sastra Kun-lun Nu jauh lebih tua daripada Kitab Sam Kok (Tiga Kerajaan), dan pada 2015 Kun-lun Nu telah difilmkan dengan judul The Promise.
Masih banyak lagi data sejarah bersumber dari asing, semua itu cukup membuktikan eksistensi Bangsa Melayu yang identik dengan Sriwijaya, juga sebagai bangsa/masyarakat pelaut cenderung banyak menghuni kepulauan.
Salah satu konsekuensi penting pada bangsa pelaut adalah sarana transportasi untuk melaut atau berlayar, berupa kapal (berukuran besar) dan perahu atau jukung (berukuran kecil).
Karena itu tidak mengherankan pada candi Borobudur direpresentasi kan relief kapal juga rumah panggung, itulah bentuk kapal dan rumah hunian pada era Sriwijaya.
Candi itu diresmikan oleh Raja Samaratungga disertai puteri mahkotanya Pramodawardhani (yang kemudian dipersunting menjadi isteri oleh Raja Rakai Pikatan dari Medang Kamulan), sebagai bangunan tempat menyimpan perbuan Raja Indra.
Pahatan relief kapal pada candi Borobudur sangat relevan menjadi sumber ide kreatif untuk ikon Sumatra Selatan, karena secara epistemologis mencirikan kekhasan Sriwijaya.
Di sisi lain konsep desain arsitektur candi Borobudur juga mencirikan ajaran Budha Mahayana yang dianut Sriwijaya dan diajarkan oleh Acharya (Mahabhiksu) Dharmakirti, yaitu Delapan Dharma (The Wheel of Sharp Weapon).
Candi Borobudur tersusun dari bangunan stupa beralaskan segi delapan (heksagonal) yang secara semiotik menyiratkan “hidup berlandaskan pada Delapan Dharma”.
Sriwijaya yang pernah digdaya, menghegemoni sebagian permukaan dunia itu sudah lama dibiarkan terselimuti kabut dan “terabaikan” oleh negara bangsa Indonesia hinggsa hari ini.
Kini telah saatnya diangkat ke permukaan kembali,sebagaimana para ahli dulu mewacanakannya.
Sekarang tentu wacana itu harus diimplementasikan, hingga dapat dirasakan masyarakat bahkan dunia maanfaat ke-Sriwijaya-an itu.
IKON SUMATRA SELATAN dan GERBANG JALUR REMPAH NUSANTARA
Oleh: Dr. A. Erwan Suryanegara, M.Sn.
Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau