Ikon Sumatra Selatan dan Gerbang Jalur Rempah Nusantara
Sepenggal syair lagu Kapal Api sengaja dipinjam guna mengawali tulisan ini, dan maknanya kurang-lebih mempresentasikan suasana dinamis masyarakatnya
Tentunya secara artefaktual tinggalan-tinggalan Sriwijaya juga terbanyak ditemukan dan terdapat di Sumatra Selatan, hal itu pula menjadi alasan kuat dan sulit dibantah bahwa pengendalian sistem pemerintahan Sriwijaya kala itu berpusat di Palembang.
Jika pusat Sriwijaya bukan di Palembang karena berpindah-pindah, seperti apa tafsirnya untuk menjawab pertanyaan, di mana saja letak istana Sriwijaya ketika berpindah-pindah itu?
Sementara untuk pendapat kedua, memang secara artefaktual-arkeologis Palembang sangat kuat, tafsir ini berpijak pada teori Tanda (sign index) "Sebab-Akibat," atas situs pun artefak tinggalan Sriwijaya, dan sudah
beberapa kali kita ungkapkan, bahwa istana dimaksud berada di area pabrik pupuk PT. Pupuk Sriwijaya (Pusri), Kecamatan Kadoni, Kota Palembang sekarang.
H Abdul Malik, SH atau H Abdul Malik Walinegara, mantan Kepala Badan Pengembangan Pariwisata Sumsel, juga Penasehat Ahli Gubernur Sumsel, sejak tahun 1975 telah mempopulerkan "Bhumi Sriwijaya" tetapi hingga sekarang lebih dipahami untuk Palembang.
Berdasarkan data arkeologi (Balai Arkeologi Sumsel, BP3 Jambi, dan Puslit Arkeologi Nasional), situs-situs arkeologis Sriwijaya tersebar ke Banyuasin, Ogan Ilir, Pali, Musirawas, selain di Kota Palembang, Sumatra Selatan. Sehingga konsep Bumi Sriwijaya sesungguhnya layak menjadi nama lain atau alias bagi Sumatra Selatan.

Bukti-bukti artefaktual-arkeologis tentang ekstensi Kerajaan Sriwijaya secara ilmiah sudah tidak perlu diragukan lagi.
Sebagaimana ungkapan hanya bangsa besar yang akan melahirkan bangsa besar berikutnya, kerajaan Sriwijaya dalam pertumbuhan dan perkembangan hingga menjadi salah satu imperium teokratis terkemuka di dunia, tentu
tidak lepas dari tradisi dan budaya masyarakat yang melahirkannya, yaitu Tradisi Megalitik Pasemah.
Sriwijaya berperan besar dalam menghegemonikan Bangsa Melayu di kawasan Asia Tenggara, dengan ciri utama: tinggal menghuni rumah-rumah kostruksi panggung berbahan kayu, berbahasa Melayu dengan beragam etnik pun religinya, bertradisi dengan nilai-nilai ke-Melayu-an. Tak mengherankan beberapa prasasti dan arca Sriwijaya, masih melanjutkan menggunakan media batuan andesit yang memang juga menjadi media utama tradisi megalitik di Dataran Tinggi Pasemah.Kapal Sriwijaya Ikonik Sumatra Selatan.
Tradisi khas Bangsa Melayu yang terkenal sejak zaman Yunani Kuno adalah pelaut tangguh, pedagang, dan petarung yang disegani dunia. Orang Yunani selain mengenali Bangsa Melayu sebagai yang disegani, orang Yunani mengenali Melayu sebagai Chrisy(Negeri Emas) dan Negeri Atlantis. Orang Cina menyebut Bangsa Melayu sebagai Kun-lun,atau dimaknai dan dipahami mereka sebagai wilayah gugusan perbukitan di selatan.
Dalam kitab sastra kuno Cina peninggalan era Dinasti Tang (618-906 M), Kun-lun Numemberikan makna satu kawasan atau wilayah gugusan perbukitan di selatan yang berkulit sawo matang, mengisahkan seorang pendekar bernama Sang Mohe atau Sang Maula, karena kesaktiannya dipercaya Kaisar sebagai Komandan Pasukan Pengawal Kaisar.
Kitab sastra Kun-lun Nu jauh lebih tua daripada Kitab Sam Kok (Tiga Kerajaan), dan pada 2015 Kun-lun Nu telah difilmkan dengan judul The Promise.
Masih banyak lagi data sejarah bersumber dari asing, semua itu cukup membuktikan eksistensi Bangsa Melayu yang identik dengan Sriwijaya, juga sebagai bangsa/masyarakat pelaut cenderung banyak menghuni kepulauan.
Salah satu konsekuensi penting pada bangsa pelaut adalah sarana transportasi untuk melaut atau berlayar, berupa kapal (berukuran besar) dan perahu atau jukung (berukuran kecil).
Karena itu tidak mengherankan pada candi Borobudur direpresentasi kan relief kapal juga rumah panggung, itulah bentuk kapal dan rumah hunian pada era Sriwijaya.