Berita Religi
Apa Itu Air Musta'mal yang Suci Namun Tidak Mensucikan? Ini Pengertian Dalam Ilmu Fiqih & Syaratnya
Pentingnya mengetahui pembagian air lantaran hal ini terkait dengan perkara yang diperlukan dalam ibadah, salah satunya ari air musta'mal berikut ini.
Penulis: Tria Agustina | Editor: Welly Hadinata
SRIPOKU.COM - Jangan keliru, inilah arti air musta'mal yang perlu dipahamai oleh umat muslim.
Air Musta'mal termasuk ke dalam jenis air yang suci namun tidak mensucikan, apa maksudnya?
Pentingnya mengetahui pembagian air lantaran hal ini terkait dengan perkara yang diperlukan dalam ibadah.
Pembagian air untuk bersuci dalam thaharah telah dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka yang biasanya dijelaskan di bab awal.
Diantaranya adalah tentang macam macam air yang digunakan untuk bersuci.
Ada macam-macam air di dalam ilmu fiqih di antaranya air mutlak artinya air suci mensucikan seperti air hujan, air hujan es, air salju, air laut, air sumur, air sungai, dan air yang berasal dari mata air.
Macam macam air suci mensucikan atau air mutlak tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci misalnya untuk berwudhu, mandi besar dan untuk menghilangkan najis.
Selanjutnya, salah satu macam air lainnya dinamakan air musta'ma, apa itu air musta'mal?
Berikut penjelasan dibagikan melalui kanal YouTube Yufid.TV - Pengajian & Ceramah Islam.
Baca juga: Arti Husnul Khotimah dan Khusnul Khotimah Ternyata Punya Perbedaan Makna, Awas Ada yang Artinya Hina
Pengertian air musta'mal adalah air yang kurang dari dua kulah yang telah digunakan untuk thaharah wajib, jenis air musta'mal misalnya: air wudhu basuhan pertama air atau air untuk mandi wajib.
Air musta'mal adalah air yang lepas dari anggota tubuh orang yang sedang berwudhu atau mandi.
Air Musta'mal termasuk ke dalam air suci yang tidak mensucikan.
Air suci yang tidak mensucikan adalah air yang suci zatnya akan tetapi jenis air ini tidak bisa mensucikan.
Air suci tidak mensucikan terbagi menjadi dua yakni:
1. Air musta'mal
2. Air yang tercampur benda suci lain.
Nah, kali ini kita akan membahas secara lengkap mengenai pengertian dan jenis-jenis air musta'mal.
Perlu diketahui bahwa para ulama membagi air dari sisi banyak dan sedikitnya menjadi dua, yakni:
1. Air sedikit, yaitu air yang volumenya kurang dari dua kulah.
Kulah adalah ukuran untuk volume air yang digunakan oleh bangsa arab zama dahulu.
Dua kulah adalah seukuran lima ratus rithl Baghdad.
Jika dikonversi ke dalam satuan berat zaman sekarang setara dengan 200 kg atau jika ditakar seukuran 200 liter.
Sebagian mengkonversi menjadi 217 liter.
Jika dalam bentuk kubus, maka panjang, lebar, dan tingginya masing-masing 1,25 hasta (Al-Fiqhu al-Manhaji 1/34), yaitu sekitar 60 cm.
Baca juga: Jangan Sampai Kirim Alfatihah Sia-sia, Ini Bedanya Arti Kata Ilaa Ruhi, Ilaa Arwahi dan Ilaa Hadroti
Lantas, apa itu air musta'mal?
Air musta'mal adalah air sedikit (kurang dari dua kulah) yang telah digunakan untuk taharah wajib, baik itu untuk mengangkat hadas, seperti air bekas wudhu basuhan pertama, air bekas mandi junub, atau air bekas mencuci najis pada badan atau baju. (Al-Khulashah al-Fiqhiyyah 'ala Madzhabi as-Saadati asy-Syafi'iyyah, hlm.19)
Dari definisi di atas, kita ketahui bahwa air musta'mal hanya ada pada air yang sedikit dan tidak ada pada air yang banyak.
Jika air musta'mal digabungkan satu sama lain sehingga mencapai dua kulah, maka menjadi air yang suci dan mensucikan (Fathul Mu'in, hlm.19)
Air Musta'mal Bekas Mengangkat Hadas
Air musta'mal dari bekas mengangkat hadas mencakup:
1. Air bekas wudhu anak kecil yang sudah tamyiz atau belum tamyiz yang diwudhukan oleh orantuanya atau walinya untuk melaksanakan ibadah thawaf, karena syarat sah thawaf anak kecil adalah suci.
2. Air bekas bersuci orang yang selalu hadas, seperti selalu keluar air kencing atau wanita istihadhah.
3. Air bekas digunakan memandikan jenazah.
4. Air bekas mandi junub perempuan ahli kitab ketika dia suci dari haid dan nifas agar suaminya yang muslim halal melakukan hubungan suami istri dengannya.
5. Air bekas mandi junub perempuan yang gila, ketika dia suci dari haid atau nifas agar suaminya halal melakukan hubungan suami istri dengannya. (Al-Manhaj al-Qowim, hlm. 34 dan Hayisah asy-Syarqawi 1/34)
Syarat-syarat Air Musta'mal
Air yang sudah digunakan untuk thaharah mengangkat hadas seperti wudhu dan mandi junub, dihukumi sebagai air musta'mal sehingga tidak sah digunakan untuk taharah jika terpenuhi empat syarat berikut:
1. Air tersebut sedikit, yaitu kurang dari dua kulah.
2. Air tersebut telah digunakan untuk taharah yang wajib seperti basuhan pertama wudhu dan mandi junub.
3. Air tersebut sudah berpisah dari anggota taharah.
Dengan demikian, jika air tersebut masih berada atau masih menempel atau bolak-balik di anggota taharah (pada tubuh), maka belum disebut air musta'mal.
4. Orang yang melakukan taharah tidak berniat ightiraf (menciduk)
Jika dia sudah berniat ightiraf, maka air sisa taharah tidak menjadi musta'mal.
Masalah Niat Ightiraf
Tentang niat ightiraf ketika taharah agar mudah dipahami dapat dideskripsikan melalui cerita berikut:
Ada seorang yang berwudhu dengan menggunakan air yang kurang dari dua kulah.
Dia berwudhu dengan cara menciduk air dari wadah dengan menggunakan tangannya (bukan berwudhu dengan menggunakan kran).
Dia mulai berwudhu dengan mengerjakan sunah-sunah wudhu seperti membaca basmalah, membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung secara bersamaan.
Setelah itu dia mulai membasuh wajah.
Setelah membasuh wajahya, dia ingin membasuh tangannya.
Sebelum memasukkan tangannya ke dalam wadah, maka dia diharuskan berniat "ightiraf" (yaitu niat menciduk air, dia jadikan tangannya sebagai alat untuk menciduk air), ini agar air dalam wadah tidak menjadi musta'mal.
Hal ini dilakukan karena setelah dia selesai membasuh wajahnya, urutan berikutnya dia membasuh tangannya, ketika dia memasukkan tangannya ke dalam wadah maka berarti sebenarnya dia telah melakukan basuhan wajib pada tangannya (yaitu basuhan pertama), sehingga air yang tidak ada di wadah menjadi musta'mal walaupun dia tidak meniatkan apapun saat memasukkan tangannya.
Berbeda halnya jika dia meniatkan untuk menciduk, maka air tidak berubah menjadi musta'mal.
Perkara ini merupakan perkara yang rumit bagi orang awam, sehingga tidak perlu memberatkannya dan bisa memilih pendapat Imam al-Ghazali yang diikuti oleh Bamakhramah rahimahumullah yang menyatakan tidak wajib niat ightiraf (lihat at-taqrirat as-Sadidah 1/59-60 dan al-Manhal al-Warif, hlm. 87)
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa air bekas basuhan keuda dan ketiga pada wudhu dan mandi junub tidak termasuk air musta'mal karena bukan taharah wajib namun hanya sunah saja.
Demikian pula air bekas memperbarui wudhu dan bekas mandi untuk sholat Jum'at tida tergolong musta'mal karena keduanya hukumnya tidak wajib.
Air mUsta'mal Bekas mensucikan Benda yang Terkena Najis
Adapun air yang telah digunakan untuk mensucikan benda yang terkena najis, dihukumi sebagai air musta'mal yang suci namun tidak mensucikan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Air tersebut sedikit, yaitu kurang dari dua kulah.
2. Air mendatangi najis, seperti misalnya kain yang terkena najis dicuci dengan cara diguyur air.
Berbeda halnya jika najis mendatangi air, maka air langsung menjadi najis walaupun tidak ada perubahan pada air karena air sedikit dihukumi najis ketika kemasukan benda najis meskipun tidak mengalami perubahan.
Contohnya kain yang terkena najis dimasukkan ke dalam wadah berisi air kurang dari dua kulah.
3. Tidak berubah salah satu dari tiga sifat air, rasanya, warnanya, dan baunya.
4. Berat air tidak bertambah setelah dikurangi kadar air yang diserap oleh benda najis yang disucikan.
5. Benda yang disucikan (yang terkena najis) berubah menjadi suci.
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka air menjadi najis dan bukan musta'mal.
Hukum Menggunakan Air Musta'mal
Air musta'mal tidak bisa digunakan untuk taharah meskipun zatnya suci.
Ini merupakan pendapat Imam Syafi'i yang juga merupakan pendapat Imam Malik Ahmad, Laits, al-'auza'i, dan pendapat yang masyhurdari Imam Abu Hanifah. (Al-Bayan, 1/43)
Fuqaha' Syafi'iyyah berbeda pendapat mengenai illat (sebab) larangan penggunaan air musta'mal untuk taharah.
Pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ialah karena air musta'mal bukan lagi tergolobng air mutlak.
Pendapat ini dikuatkan oleh Imam an-Nawawi sebagaimana di kitabnya at-Tahqiq dan selainnya.
Pendapat lain mengatakan bahawa air musta'mal masih tergolong air mutlak, sedangkan larangan penggunaannya adalah ta'abudi (semata0mata penghambaan).
Pendapat kedua ini dipilih oleh ar-Rafi'i. (Al-Iqna' fi Halli Alfadzi Abi Syuja', hlm, 46)
Dalil Air Musta'mal Suci Namun Tidak Mensucikan
dalil yang menjadi dasar bawha air musta'mal itu zatnya suci adalah hadits Jabir radhiyallahu'anhu,
Artinya:
"Nabi sholallahu'alaihiwasallam menjengukku saat aku sedang sakit sampai tidak sadarkan diri, kemudian beliau berwudhu dan mengguyurkan air bekas wudhu beliau padaku." (HR. Bukhari no. 194 dan Muslim no. 1616)
Seandainya air musta'mal itu tidak suci, tidak mungkin Nabi sholallahu'alaihiwasallam mengguyurkannya pada Jabir radhiyallahu'anhu. (At-Tadzhib, hlm, 10; al-Fiqhu al-Manhajj 1/33)