Ramadan 2021

Hukum Khutbah Sebelum Sholat Tarawih Diperbolehkan Selama Perhatikan Hal Ini, Begini Kata Buya Yahya

Biasanya sebelum atau selepas sholat tarawih atau sebelum sholat witir diselingi dengan ceramah atau khutbah, bolehkah?

Penulis: Tria Agustina | Editor: Welly Hadinata
Tangkap layar YouTube Al-Bahjah TV
Buya Yahya 

SRIPOKU.COM - Apa hukum khutbah sebelum sholat tarawih? Begini penjelasan Buya Yahya.

Bulan Ramadhan merupakan momen untuk berlomba-lomba dalam meraih pahala kebaikan.

Yakni dengan cara meningkatkan ibadah wajib dan sunnah dengan semaksimal mungkin.

Ada banyak cara untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahuwata'aladi bulan Ramadhan salah satunya yakni dengan mengerjakan ibadah sunnah.

Salah satu sholat sunnah yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan yakni sholat tarawih.

Sholat tarawih bisa ditunaikan sendirian ataupun berjamaah di masjid.

Akan tetapi, dalam kondisi masih adanya wabah pandemi saat ini dianjurkan untuk tetap menjaga protokol kesehatan.

Kini, sholat tarawih sudah mulai digelar secara berjamaah di masjid-masjid yang ada di dunia.

Ada yang melaksanakan sholat tarawih sebanyak 23 rakaat yang terdiri dari 20 rakaat sholat tarawih dan 3 rakaat sholat witir.

Ada pula yang mengerjakan sholat tarawih berjumlah 11 rakaat yaitu 8 rakaat sholat tarawih dan 3 rakaat ditutup dengan sholat witir.

Biasanya selepas sholat tarawih atau sebelum sholat witir diselingi dengan ceramah atau khutbah.

Lantas, apa hukum khutbah setelah sholat tarawih? Bolehkah khutbah selesai sholat tarawih?

Begini penjelasan Buya Yahya yang dilansir melalui kanal YouTube Al-Bahjah TV.

Baca juga: Apakah Membaca Dzikir di Antara Sholat Tarawih Disebut Bidah? Begini Penjelasan Ustaz Abdul Somad

"Khutbah sebelum sholat tarawih apakah diperkenankan atau tidak?," tanya seorang jemaah.

"Khutbah sebelum sholat tarawih tidak ada anjuran khusus dan juga tidak ada larangan. itu kesepakatan di sebuah tempat saja," jelas Buya Yahya.

"Kalau kiya sebagai pendatang masuk masjidnya orang tiba-tiba khutbah sebelum tarawih bisa dilempar batu, mereka pengen tarawih lengkap gara-gara ceramah kita," tambahnya.

"Makanya kalau ingin ceramah harus tahu diri, nggak ada larangan khusus, tidak ada perintah khusus, artinya hal yang mubah dan akan dapatkan pahala," terangnya.

"Maka itu dekembalikan kepada kesepakatan, tapi tidak boleh kita itu merubah sesuatu yang sudah biasa, sebagian tempat itu tarawih pengen dipercepat tapi tidak buru-buru, maksudnya waktunya cepat biar selesai di awal nanti bisa tadarusan," jelasnya.

Dalam hal ini Buya Yahya menekankan diperbolehkan melakukan ceramah jika adanya kesepakatan.

Kalau tidak ada kesepakatan, jangan sampai membuat gelisah.

Perlu orang bijak, banyak orang itu melakukan kebaikan dengan hawa nafsu.

"Padahal tarawih adalah amalan terpenting di bulan Ramadhan, abis itu mengerjakan yang lainnya," jelasnya.

Baca juga: Arti Tarawih yang Sebenarnya Jangan Ngebut-ngebut, Ini Asal-Usul Banyak Versi Jumlah Rakaat Tarawih

Melaksanakan Shalat Tarawih Terlalu Cepat

Berikut penjelasan lengkap yang dijabarkan oleh Ustaz Abdul Somad melalui buku berjudul 30 Fatwa Seputar Ramadhan.

Berdasarkan Fatwa Syekh DR. Yusuf al-Qaradhawi, berikut ini hukum melaksanakan sholat tarawih terlalu cepat.

Pertanyaan:

Apa hukum melaksanakan shalat Tarawih terlalu cepat?

Jawaban:

Dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dinyatakan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:

“Siapa yang melaksanakan Qiyamullail di bulan Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharapkan
balasan dari Allah Swt, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.

Allah Swt mensyariatkan puasa di siang hari bulan Ramadhan dan lewat lidah nabi-Nya Ia syariatkan Qiyamullail di malam bulan Ramadhan.

Qiyamullail ini dijadikan sebagai penyebab kesucian dari dosa dan kesalahan.

Akan tetapi Qiyamullail yang dapat mengampuni dosa dan membersihkan dari noda adalah yang dilaksanakan seorang muslim dengan sempurna syarat-syarat, rukun-rukum, adab dan batasannya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa thuma’ninah adalah salah satu rukum dari rukun shalat, sama seperti membaca al-Fatihah, ruku’ dan sujud.

Ketika seseorang melaksanakan shalat dengan cara yang tidak baik di hadapan Rasulullah Saw, tidak melakukan thuma’ninah, Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Kembalilah, shalatlah kembali, karena sesungguhnya engkau belum shalat”.

Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bagaimana shalat yang diterima Allah Swt seraya berkata:

“Ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam ruku’, kemudian bangkitlah hingga engkau i’tidal berdiri.

Kemudian sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam sujud. Kemudian bangkitlah hingga thuma’ninah
dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah itu dalam semua shalatmu”. (HR. Al-Bukhari, Muslim dan para penyusun kitab as-Sunan, dari hadits Abu Hurairah ra).

Thuma’ninah dalam semua rukun adalah syarat yang mesti ada.

Batasan thuma’ninah yang disyaratkan, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Sebagian ulama menetapkan kadar thuma’ninah minimal satu kali Tasbih, misalnya seperti mengucapkan kalimat:

“Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”.

Sebagian ulama seperti Imam Ibnu Taimiah mensyaratkan kadar Thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud
kira-kira tiga kali Tasbih.

Dalam hadits disebutkan bahwa membaca Tasbih tiga kali dan itu adalah batas minimal, oleh sebab itu mesti ada thuma’ninah kira-kira tiga kali Tasbih. Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya”. (Qs. Al-Mu’minun [23]: 1 – 2).

Khusyu’ ada dua jenis:

Khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.

Khusyu’ tubuh adalah tenangnya tubuh dan tidak melakukan perbuatan sia-sia, tidak menoleh seperti
menolehnya srigala.

Tidak ruku’ dan sujud seperti patokan ayam.

Akan tetapi melaksanakan shalat dengan rukun-rukun dan batasan-batasan sebagaimana yang disyariatkan Allah Swt. Oleh sebab itu mesti ada khusyu’ tubuh dan khusyu’ hati.

Makna khusyu’ hati adalah menghadirkan keagungan Allah Swt, yaitu dengan merenungkan makna ayat-ayat yang dibaca, mengingat akhirat, mengingat sedang berada di hadapan Allah Swt.

Allah Swt berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, “Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua
bagian. Ketika seorang hamba mengucapkan:

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 2). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuji-Ku”. 

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Fatihah [2]: 3). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuji-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Yang menguasai di hari Pembalasan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 4). Allah Swt menjawab:

“Hamba-Ku memuliakan-Ku”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 5). Allah Swt menjawab:

“Ini antara Aku dan hamba-Ku. Hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”.

Ketika hamba itu mengucapkan:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. 

Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. (Qs. Al-Fatihah [1]: 6 – 7).

Allah Swt menjawab:

“Ini untuk hamba-Ku dan hamba-Ku mendapatkan apa yang ia mohonkan”. (HR. Muslim).

Allah Swt tidak terasing dari orang yang sedang melaksanakan shalat, Allah Swt memperkenankan permohonannya, oleh sebab itu mesti ada interaksi antara orang yang shalat dengan Allah Swt, menghadirkan hati dalam setiap gerakan shalat, dalam setiap waktu shalat dan dalam setiap rukun shalat.

Baca juga: Berbuka Puasa atau Sholat Magrib, Mana yang Lebih Baik Didahulukan ? Begini Penjelasannya

Orang-orang yang shalat dan hanya memikirkan ingin segera selesai melaksanakan shalat dan melemparkan shalat seakan-akan shalat itu beban berat di pundak mereka, bukanlah itu shalat yang diharapkan.

Banyak orang yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat dan dua puluh tiga rakaat dalam hitungan beberapa menit saja.

Yang mereka inginkan hanyalah cepat menyelesaikan shalat dalam waktu sesingkat mungkin.

Tidak sempurna ruku’, sujud dan khusyu’nya. Ini sama seperti yang disebutkan dalam hadits:

“Shalat itu naik ke langit dalam keadaan hitam pekat. Ia berkata kepada pemiliknya, “Engkau disia-siakan
Allah Swt sebagaimana engkau telah menyia-nyiakanku”.

Shalat yang khusyu’ dan tenang akan naik ke langit dalam keadaan putih bercahaya, ia akan berkata kepada pemiliknya, “Semoga Allah Swt menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku”.

Nasihat saya kepada para imam dan mereka yang melaksanakan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak akan tetapi tidak dengan cara yang benar, tidak khusyu’, tidak menghadirkan hati dan tidak dengan ketenangan tubuh, sebaiknya mereka melaksanakan delapan rakaat dengan tenang dan khusyu’, itu lebih baik daripada dua puluh rakaat.

Yang dilihat bukanlah kuantitas dan banyaknya.

Akan tetapi yang dilihat adalah cara dan sifatnya.

Yang dinilai adalah shalat itu sendiri, apakah shalat yang dilaksanakan oleh orang-orang yang khusyu’ atau shalat orang yang tergesa-gesa.

Kita memohon kepada Allah Swt semoga menjadikan kita tergolong orang-orang beriman yang khusyu’.

Baca juga: Berapakah Jumlah Rakaat Tarawih yang Dikerjakan oleh Rasulullah? Begini Penjelasan Ustaz Abdul Somad

SUBSCRIBE US

Sumber: Sriwijaya Post
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved