Potensi Korupsi
Membesarnya Potensi Korupsi Dana Bencana Alam
Beberapa waktu ini Indonesia berduka dengan bencana banjir di kota NTT dan NTB yang mengakibatkan 127 orang meninggal dan 27 orang masih hilang.

Oleh : Zainul Arifin, SH. MH
(Dosen Fakultas Hukum Unsri)
Beberapa waktu ini Indonesia berduka dengan bencana banjir di kota NTT dan NTB yang mengakibatkan 127 orang meninggal dan 27 orang masih hilang.
Bencana ini dikatakan oleh BMKG sebagai Siklon Tropis Seroja yakni naiknya suhu muka air laut di perairan yang mencapai 30 derajat celcius mestinya rata-rata sekitar 26 derajat celcius.
Siklon Tropis Seroja bisa diantisipasi karna menjadi rutinitas tahunan namun tahun ini berbeda dan penyebab dasarnya adalah panasnya suhu muka air laut yang disebabkan oleh Global Warming. (Detik)
Dalam data, warga mengungsi tersebar di lima kabupaten di wilayah Provinsi NTT.
Pengungsian terbesar berada di Kabupaten Sumba Timur berjumlah 7.212 jiwa atau 1.803 KK, Lembata 958 jiwa, Rote Ndao 672 jiwa atau 153 KK, Sumba Barat 284 jiwa atau 63 KK, dan Flores Timur 256 jiwa. (Detik)
Konsep Dasar
Dilihat dalam beberapa tahun terakhir bencana alam menjadi rutinitas di Indonesia, baik itu gempa bumi, longsor, banjir, gunung meletus, kebakaran hutan dan kekeringan.
Meskipun bencana tidak diinginkan namun terjadi hampir merata diseluruh wilayah indonesia.
Bahkan Covid-19 ini pun menjadi bencana yang mengakibatkan terhentinya kegiatan perekonomian, belajar mengajar dan terbatasnya akses masyarakat dalam berinteraksi.
Dalam berbagai catatan selama 10 tahun terakhir dana penanganan bencana seringkali disalahgunakan oleh pemangku kepentingan, mulai dari oknum pejabat pemerintah, legislatif hingga pihak swasta yang mendapatkan tender proyek penanganan bencana.
Seolah masih jelas dalam ingatan kita terkait operasi tangkap tangan Menteri Sosial yang melakukan korupsi dana Bansos Covid 19 melalui permainan 1,9 juta paket bansos sembako yang bernilai 35 Miliar. (Tempo)
Banyak celah titik rawan dalam korupsi dana bantuan bencana alam seperti pengadaan barang dan jasa, sumbangan pihak ketiga, refocusing dan realokasi, laporan pertanggung jawaban keuangan serta pemulihan ekonomi nasional melalui penyelenggaraan bansos.
Celah ini sering digunakan oleh pemangku kepentingan untuk curang sebab ada kelemahan dalam kontrol keuangan negara yang lebih mengutamakan keselamatan jiwa.
Sehingga markup harga barang kebutuhan dasar pasca bencana digunakan guna mengakali dan mendapatkan keuntungan ditengah kesempitan.
Dalam pasal 1 dan 2 UU Tipikor menyebutkan : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
Kemudian, ayat 2 menyebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (2), diterangkan bahwa “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter
Makna “keadaan tertentu” menjadi garis tebal dan memiliki tafsiran yang berbeda.
Namun satu hal yang pasti bahwa ini menjadi faktor pemberat hukuman sebab keadaan negara sedang tidak baik.
Disatu sisi persoalan transparansi pengelolaan dana bencana cenderung minim.
Disisi lain pelaksanaan transparansi tidak semudah yang diharapkan dalam aturan yang direncanakan.
Bisa dikatakan bahwa bencana alam merupakan kejadian extraordinary yang sifatnya tidak dapat diprediksi kapan dapat terjadi.
Namun disisi lain kondisi tertentu ini seringkali dimanfaatkan oleh oknum pejabat untuk berbuat curang.
Masalah Saat Bencana
Pengelolaan pendistribusian bantuan bagi korban bencana kurang optimal, penuh kekeliruan karena kesalahan administratif dan terkendala keadaan krisis yang menuntut kecepatan dan ketepatan.
Di sisi lain, instansi penyelenggara pemerintah maupun lembaga bantuan maupun administrasi berupa bukti penerimaan bantuan atau sumbangan, identitas korban bencana merupakan hal penting dalam hal untuk menentukan bentuk bantuan yang sesuai dengan kebutuhan korban bencana.
Pada saat terjadi bencana, korban sangatlah membutuhkan bantuan dari para bagai pihak, namun demikian kadang keterlibatan pihak luar pada khususnya didalam memberikan bantuan kepada korban dapat menimbulkan permasalahan baru berupa ketidak sesuaian bantuan yang diberikan dengan kebutuhan masyarakat, dengan ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan permasalah sosial di tingkat bawah.
Hal tersebut terjadi karena tidak adanya pola koordinasi yang baik sehingga menimbulkan kesimpang siuran pengalokasian maupun pendistribusian di tingkat lapangan, (Evi Hanavia).
Dalam situasi tanggap darurat bencana, banyak sekali permasalahan yang terjadi dan secara umum meskipun telah banyak pedoman-pedoman yang diatur secara resmi.
Namun dalam pelaksanaannya tetap saja terjadi kealfaan atau kesalahan seperti alokasi dana bantuan kurang akurat atau penumpukan dana bantuan karena simpang siurnya data informasi dan kurangnya koordinasi atau pantauan.
Dengan banyaknya bantuan, nampak jelas dalam situasi bencana solidaritas relawan maupun lembaga pemerintah dan donor secara naluri kemanusiaanya berusaha untuk membantu.
Hal yang terlihat secara kasat mata pada umumnya bantuan maupun lembaga yang berusaha untuk menyelamatkan, mengevakuasi, mendistribusikan bantuan, mengarahkan pengungsian.
Namun yang tidak nampak adalah bagaimana aliran dana tersebut berputar di situasi tersebut, dengan banyaknya bantuan dari berbagai pihak dan modus pendekatan yang berbeda-beda, seperlunya memerlukan pengelolaan informasi, komunikasi dan koordinasi yang tegas dan jelas.
Dan pada umumnya, korban bencana tidak sadar bahwa bantuan-bantuan bencana yang diberikan bersumber darimana saja.
Berapa banyak dan untuk apa terkadang kurang dipahami, yang terpenting bagi mereka menganggap cukup bersyukur dengan adanya bantuan, sehingga berpikir tidak perlu tahu dari mana asal-usul bantuan yang diberikan.
Dalam situasi bencana, misalnya kondisi tanggap darurat, dengan banyaknya bantuan dana tak lepas dari indikasi-indikasi penyimpangan dana, yang berlandaskan “cepat” dan yang terpenting adalah “tepat”.
Seharusnya sudah menjadi kewajiban moral bagi setiap pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana bencana alam untuk tidak melakukan perbuatan penyimpangan mengingat dana bencana alam pada prinsipnya diperuntukkan untuk tujuan kemanusiaan.
Namun ternyata hal tersebut memunculkan celah hukum yang pada akhirnya banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengelola dana bencana alam.
Perbuatan-perbuatan seperti memanipulasi pertanggungjawaban dengan dalih adanya keadaan darurat bencana, padahal dananya kemudian dialihkan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara.
Menarik untuk diamati pada tahun 2021 saja KPK sudah menerima laporan masyarakat terkait penyalahgunaan dana Covid 19 di Sumatera Barat temuan indikasi pemahalan harga pengadaan sanitasi tangan dan transaksi pembayaran pada penyedia barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan.
Dalam temuan KPK dan BPK di Sumbar tersebut indikasi kerugian negara sebesar Rp. 4,9 Miliar.
Kabupaten lain yang tertangkap oleh KPK terhadap markup dana bantuan Covid 19 adalah kendari dan minahasa.
Jika KPK dapat lebih teliti mungkin daerah-daerah lain akan ikut terkena sebab dana bencana alam ini paling mudah untuk di markup dan di korup.
Harus Apa ?
Dalam beberapa gagasan yang disampaikan oleh Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang menyatakan akan menuntut Pidana mati bagi pelaku koruptor dana bantuan sosial disatu sisi melegakan rasa keadilan.
Asas yang digunakan oleh firli (Salus Populi Suprema Lex Esto, keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi) dapat diterima sebagai komitmen perang terhadap korupsi dana bencana.
Namun realisasi gagasan tersebut apakah berjalan atau hanya lips service saja.
Sebab sampai hari ini benturan antara UU 31/1999 tentang Tipikor dan Perppu No 1/2020 terkait Penanganan Covid 19 seolah menjadi dualisme.
Dalam penjelasan pasal 27 Perppu No 1/2020 poin pentingnya menyatakan bahwa program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Ini menjadi ganjalan bagi KPK untuk menuntut terpidana Korupsi dana bencana.
Kehadirannya membawa polemik terutama adanya dugaan kekebalan hukum dari penyelenggara negara.
Bahkan seolah dianggap memberi perlindungan hukum yang tidak sesuai UU. Anggapan seolah-olah adanya kekebalan hukum terkait Pasal 27 Perppu 1/2020 Pasal 1, 2 dan 3.
Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian Negara.
Pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan iktikad baik, dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara.
Saya berusaha memahami dualisme aturan ini dan percaya bahwa awalnya tidak ada bayangan dari pemerintah akibat aturan yang dikeluarkan akhirnya menjadi polemik.
Saya berusaha memahami pertimbangan pemerintah terhadap gagasan Perppu ini terkait dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara dan pengingkatan belanja serta pembiayaan negara.
Disisi lain keadaan mendesak berupa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk dapat melakukan realokasi dan refocusing anggaran dalam APBN untuk pemulihan ekonomi.
Disisi lain saya berusaha memahami bahwa pemerintah berusaha melindungi para pemangku kebijakan untuk dapat bertindak taktis dalam mengatasi sebaran virus Covid 19 dalam mengatur penganggaran dan pembiayaan keuangan daerah.
Dengan harapan bahwa perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan tidak dipidana.
Namun dari setiap iktikad baik belum tentu sejalan dengan fakta di lapangan. Indikasi mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok yang terindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan hal yang harus diberantas.
Perilaku koruptif pejabat daerah yang bersembunyi dibalik aturan harus disikapi oleh Hakim untuk membuat Vonis yang lebih memberatkan bagi pelaku korupsi dana bantuan bencana alam.
Supaya menjadi contoh bagi pejabat publik untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan membantu serta memfasilitasi masyarakat yang terkena bencana.