Resensi Novel Pendosa yang Saleh Karya Royyan Julian
Premis cerita ini menarik. Mubarak merupakan lora yang mendapati dirinya seorang pedofilia. Ia berusaha menghindari perbuatan keji itu dengan ........
Cerita Tabu, Cerita Seru
Royyan Julian mengajak kita membicarakan berbagai macam hal tabu lewat Pendosa yang Saleh.
_________________
SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Novel Pendosa yang Saleh (Cantrik Pustaka, Februari 2021) dibuka dengan adegan foreshadow yang memesona.
Dalam kesengsaraannya di penjara, Mubarak didatangi seorang nabi yang membawa kabar gembira.
Kemudian, suara lamat-lamat lantunan selawat Asygil dan bau samar misik yang dirasakan Mubarak dari dalam bui membawa cerita bergerak kembali ke masa lalu.
Premis cerita ini menarik.
Mubarak merupakan lora yang mendapati dirinya seorang pedofilia.
Ia berusaha menghindari perbuatan keji itu dengan cara meninggalkan pesantren yang penuh anak-anak.
Pilihan Mubarak melanjutkan kuliah di Kota Pamelingan justru mempertemukannya dengan gadis Protestan dan adik laki-lakinya, juga pemimpin ormas keagamaan garis keras yang kelak menyeretnya ke dalam malapetaka besar.
Anomali muncul lewat kilas balik hidup Mubarak.
Ketika masih kanak-kanak, Mubarak ditinggal mati ibunya.
Sementara orang-orang berusaha menjodoh-jodohkan sang ayah, Kiai Sattar yang masih muda itu malah kukuh tidak menikah lagi demi kesetiaan dan pengabdian pada pondok pesantren.
Mubarak pun berada dalam pengasuhan adik perempuan sang ayah, Ning Acu, yang merawatnya dengan penuh kasih, juga menyuplainya dengan buku-buku cerita.
Dalam cerita ini, Ning Acu mendapat porsi dominan dan menentukan dalam membentuk kehidupan Mubarak serta membantu mengembangkan pesantren Kiai Sattar.
Tokoh Rosiana, lewat kegiatan aktivisme dan dialognya, juga merepresentasikan betapa perempuan dapat ikut serta dalam memperjuangkan keadilan dan setara secara intelektualitas.
Perempuan dalam buku ini tak lagi ditempatkan dalam situasi mesti memilih, tetapi telah berperan aktif dalam urusan domestik dan publik.
Di sisi lain, Kiai Sattar yang sesungguhnya penuh kuasa memilih lebih cair dalam menempatkan posisinya, ia justru berkali-kali mengalah dan mengakomodasi pilihan anak dan adik perempuannya.
Lewat tokoh Zainal, aktivis yang cerkas, novel ini juga mengungkap urusan seksualitas ulama dari perspektif yang barangkali tak akrab didengar publik bahwa ada "... ulama yang homo, bahkan pedofil" (hlm. 12).
Dialog di bab pembuka ini begitu intens, berisi, dan canggih sehingga saya sempat khawatir novel ini bakal menjadi novel ide, semacam esai panjang menyaru novel, mengenai seksualitas dan agama yang meminjam mulut tokoh-tokohnya.
Namun, ternyata sebelum dialog itu berkepanjangan dan jatuh jadi kuliah, Royyan dengan tangkas mengalihkan cerita ke dalam parodi yang mengkritik laku aktivisme Zainal (hlm. 16).
Nantinya, pola semacam itu akan berulang di sepanjang novel, yang serius (dengan bahasa canggih) kemudian jahit menjahit dengan kejenakaan (dengan bahasa yang indah), yang acapkali gelap dan penuh kritik.
Judul buku ini saja sebuah paradoks.
Pendosa yang Saleh mengajak pembaca membicarakan persoalan tabu dan ambiguitas sikap manusia.
Seorang anak kiai yang menyingkir dan melepaskan pekerjaannya untuk menghindari anak-anak agar terhindar dari tindakan keliru dan nafsu yang tabu (hlm. 89).
Lelaki yang memilih meminang perempuan masa kecilnya hanya karena tak rela cinta pertamanya dinikahi lelaki tua, tetapi kemudian ia menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain.
Seorang pemimpin ormas yang mencopot segala "atribut keulamaan" agar dapat memuaskan nafsu berahinya di hotel murah, tetapi berteriak-teriak anti maksiat.
Buku ini berusaha mengajak pembaca mendiskusikan perkara sensitif, seperti seksualitas dan agama, aksi kelompok fundamentalisme, juga mempertanyakan institusi pernikahan dan makna kesetiaan.
Royyan dengan apik menghadirkan beragam perspektif, mulai dari argumentasi Zainal yang bersandar pada dalil religius atau pernyataan Rosiana yang nihilistik hingga jawaban Desi yang begitu pragmatis.
Pembaca dipersilakan merdeka memutuskan sikapnya.
Pendosa yang Saleh beralusi ke cerita-cerita anak populer.
Ketujuh judul bab yang menyusun buku ini bahkan secara terang meminjam judul folklor, dongeng dari khazanah Nusantara hingga Eropa, dan karakter film kartun di televisi.
Berangkat dari teks tersebut, Royyan mengolahnya dengan siasat penulisan kreatif yang beragam.
Misalnya, ia meminjam dongeng Timun Mas dengan menyimpangkannya ke versi alternatif sebagai strategi diskursif sekaligus pintu masuk ke cerita masa lalu Mubarak.
Sementara, dalam bab lain dongeng Gadis Kecil Bertudung Merah hadir berjalin kelindan dengan kisah kelam pedofilia Mubarak.
Di bab "Barney & Friends", mengambil inspirasi ayat-ayat Bibel, Royyan membuat tuturan narasi bab tersebut bergaya alkitabiah.
Usaha eksplorasi dan main-main dipikirkan matang dan memiliki fungsi signifikan dalam cerita.
Tengok pemilihan nama Mubarak dan Barabas yang menimbulkan humor bahasa (hlm. 94).
Menilik riwayat karya Royyan sebelumnya, dalam Tanjung Kemarau dan Rumah Jadah perkara magi selalu menjadi suatu yang integral dalam karyanya.
Dalam Pendosa yang Saleh, yang magi itu pun tetap hadir, tetapi dengan pendekatan berbeda.
Yang magi itu ada, tetapi digiring ke arah yang rasional.
Misalnya, peristiwa damar colok, ketika semua orang menganggap itu kejadian gaib, Ning Acu menganggap damar colok tak sungguh ada, justru menganggap bahwa ketakutan itu efek kenaikan tarif listrik dan harga minyak yang mencekik leher rakyat.
Cerita novel ini disusun variatif, dengan kejadian campur aduk, dan menghadirkan beragam anomali atas sesuatu yang telah dianggap lazim, menjadikan novel ini tampil dengan penjelajahan baru atas penggarapan tema dan bahasa.
Pendosa yang Saleh adalah sebuah novel seru yang layak dibaca dan dirayakan.
Wendy Fermana, pengarang cerita dan pengajar bahasa