Krisis Myanmar
Semakin Mencekam, Tiga Demonstran Tewas Ditembak di Kepala oleh Aparat Myanmar
Tiga warga Myanmar, Senin kemarin tewas ditembak secara brutal oleh aparat keamanan di Myanmar.
Begitupula Kepolisian di Myitkyina dan Phyar Pon, juga tidak menanggapi peristiwa ini.
Aksi kerumunan dan berdemonstrasi menentang kudeta berlangsunng di Yangon, Mandalay dan beberapa kota lainnya. Rangkaian peristiwa itu tersebar melalu rekaman video yang diposting di Facebook.
Demonstran di Dawei, kota pesisir di Selatan Myanmar, dilindungi oleh Persatuan Nasional Karen, sebuah kelompok bersenjata etnis yang terlibat dalam perang jangka panjang dengan militer.
Pengunjuk rasa melambaikan bendera yang dibuat dari htamain (sarung wanita) di beberapa tempat, dan menggantungnya di antrean di jalan untuk menandai Hari Perempuan Internasional sambil mengecam junta.
Berjalan di bawah sarung wanita secara tradisional dianggap sebagai nasib buruk bagi pria dan cenderung memperlambat gerak polisi dan militer.
Media negara mengatakan, pasukan keamanan menjaga dan memasuki rumah sakit dan universitas sebagai bagian dari upaya untuk menangkapi demonstran.
Dilaporkan, setidaknya sembilan serikat pekerja di berbagai sector, menyerukan "semua rakyat Myanmar" untuk menghentikan pekerjaan untuk melawan kudeta. Mereka menuntut pemulihan pemerintahan pemimpin defacto Aung San Suu Kyi.
Melawan Ketakutan
Serikat pekerja terus berusaha memperbesar dampak seruan "Gerakan Pembangkangan Sipil" yang sedang berlangsung. Mereka mengampanyekan agar pegawai negeri untuk memboikot bekerja di bawah pemerintahan militer.
Dampaknya dari seruan itu, di setiap tingkat infrastruktur nasional, dengan terjadi gangguan rumah sakit, kantor kementerian kosong, dan bank tidak dapat beroperasi.
Junta telah memperingatkan bahwa PNS "akan dipecat" dengan efek langsung Hari Senin jika mereka terus melawan.
Sampai kemarin, pusat perbelanjaan utama ditutup dan tidak ada pekerjaan yang terjadi di pabrik- pabrik.
Pemimpin protes Maung Saungkha melalui laman Facebook, mendesak perempuan untuk keluar guna melawan kudeta.
Sementara Nay Chi, penyelenggara gerakan sarung, menggambarkan para wanita sebagai "revolusioner".
"Rakyat kita tidak bersenjata, tapi bijaksana. Mereka mencoba memerintah dengan ketakutan, tetapi kami akan melawan rasa takut itu," katanya seperti dikutip Reuters.