Beragama
Beragama Dalam Kehidupan Tapi “Salah Faham”
Tulisan ini akan menyorot satu hal saja; “mengapa bisa salah faham dalam beragama?” Alasan saya membuat tulisan ini ada ceritanya.
Begitu juga belajar di madrasah, mencium tangan ustadz dan berpakaian seperti ulama.
Saya tidak menyalahkan Dayat yang berpikir seperti itu.
Saya hanya mempermasalahkan waktunya; “kan masih SD” ?
Dalam proses pengajaran agama kita, orientasi akhirat menjadi tema penting dalam setiap ceramah.
Mungkin maksudnya; umat Islam itu tidak boleh lalai akhirat karena urusan dunia.
Praktisnya, masyarakat diajak untuk sholat, puasa atau belajar agama agar masuk surga.
Beragama karena itu bertujuan masuk surga. Pemahaman “masuk surga” inilah masalah si Dayat.
Tentu saja masuk surga harus kita prioritaskan.
Tetapi jalan menuju surga tentu tidak hanya dengan ibadah; karena ibadah hakikinya adalah kewajiban.
Alquran sendiri menjelaskan factor lain; yaitu iman dan amal soleh.
Keduanya juga dapat membuat kita masuk surga.
Lalu apa yang salah dari pemikiran Dayat?
Salah Tafsir
Ajaran agama kita memang bersumber dari Alquran dan hadis. Setiap ada masalah, kita mencari jawaban dari keduanya.
Kita kemudian membuat satu kesimpulan; setidaknya untuk diri kita sendiri.
Kasus paling jelas adalah ketika kita membahas QS. Al-Maidah; 51.
Ayat ini kita bicarakan dalam ruang politik Indonesia.
Saya yakin anda juga pernah menyimpulkannya.
Karena itulah pemahaman kita tentang Al quran (maksudnya ajaran agama), dapat masuk pada kriteria tafsir.
Kita saat itu “menafsirkan” sendiri ajaran agama kita.
Kita juga kemudian membuat kesimpulan.
Salah faham beragama karena itu kita maksudkan sebagai salah tafsir beragama.
Kembali kepada si Dayat, ia mencoba menafsirkan ajaran agama untuk dirinya.
Tapi sayangnya “salah”; sekalipun menurutnya “benar”.
Kesalahan Dayat karena tidak memiliki pengetahuan terhadap tiga aspek tadi; akidah, syariah dan akhlak.
Mungkin Dayat lebih berorientasi akidah. Bahwa ia percaya kepada Allah dan karena itu ingin masuk surga.
Tetapi Dayat juga lupa bahwa ia harus bersyariat; mencari amal baik buat dunianya.
Bagi anak sekolah, amal baik duniawi mereka adalah belajar.
Salah faham “hanya untuk akhirat” itulah inti dari masalah Dayat; dan mungkin hampir kebanyakan umat Islam di sekitar kita.
Beragama tapi salah faham masuk dalam konsep ghurur; artinya tertipu.
Disangkanya benar padahal salah.
Orang yang ghurur bukan dari kalangan awam saja.
Para ulama (atau yang menyebut dirinya ulama) juga pernah mengalaminya.
Mereka pernah salah faham, salah menafsirkan dan salah menyimpulkan ajaran agama.
Sebabnya karena satu hal.
Mereka tidak bisa melihat akidah, syariah dan akhlak dalam satu kaitan.
Mereka cenderung membuat sekat; “kalau tidak sama berarti beda”.
Persoalan masyarakat kita terletak pada pemahaman yang tidak komprehensif.
Mereka cenderung melihat hanya satu sisi.
Dalam ilmu tafsir, pendekatan tunggal akan lebih cenderung subjektif.
Artinya benar menurut dia saja.
Saya menyebutnya masih sempit.
Seperti katak dalam sepatu.
Sepatunya Dayat.
Banyak penceramah kita yang juga berpikir sempit.
Terbiasa berpikir satu arah.
Bukan saja di dunia sunni; tapi juga syiah.
Bukan NU-Muhammadiyah; lebih parah lagi salafi dan penganut khilafah.
Berpikir satu arah membuat mereka tidak berani membaca buku-buku lain.
Jangankan karya orientalis, membaca buku filsafat saja tidak mau.
Apalagi buku tentang budaya dan sastra.
Akibatnya mudah ditebak.
Banyak hal dikatakan sesat.
Lagu “Naik-Naik ke Puncak Gunung” malah bisa membuat murtad.
Hanya karena ada “pohon cemara”.
Hanya Saran
Jawaban Dayat dalam dialog dengan saya itu karena satu hal; malas belajar.
Harus kita akui bahwa “jam belajar” masyarakat kita sangat terbatas.
Mereka hanya belajar ketika di sekolah.
Bagi mereka yang gemar majelis taklim, belajarnya hanya di majelis taklim.
Bagi santri tahfiz, belajarnya hanya hapalan saja.
Bagi penceramah, belajarnya hanya di pesantren saja.
Di luar itu, rasanya facebook dan youtube jauh lebih menarik.
Ada baiknya anak-anak kita tidak dibebankan dahulu dengan pemikian “hanya” akhirat.
Bagi mereka, proses belajarnya sendiri bisa mendapatkan pahala yang besar.
Janji bahwa Allah akan memudahkan langkah mereka menuju surga kalau menuntut ilmu; tidak lain adalah stimulus dari kanjeng Nabi.
Bahkan, Nabi sendiri lebih memilih mereka yang berada dalam majelis ilmu daripada majelis zikir.
Orientasi hanya akhirat akan membuat anak-anak kita tidak siap bersaing.
Tentu saja bukan persaingan menuju surga; tetapi persaingan besar masyarakat dunia.
Pada tahun-tahun mendatang, kita masih memerlukan banyak tehnisi, insinyur, dokter, guru, pengusaha dan wirausahawan muslim.
Merekalah yang nanti akan memberikan bantuan dan manfaat kepada kita, dan umumnya kepada sesama manusia.
Yang penting mereka jangan berhenti sekolah; apalagi cuma sampai SD.