Virus Covid 19

"MAAFKAN Saya Terpaksa Harus Memilih," Dilema Dokter ICU: Pilih Satu Diantara 2 Pasien Kritis Covid

Amelia mengisahkan bahwa dirinya baru terpaksa memilih salah satu di antara dua pasien Covid-19.

Editor: Wiedarto
ANTARA/HO-UPAS DKI/pri
Petugas medis dan Unit Pelaksana Angkutan Sekolah (UPAS) Dishub DKI Jakarta mengevakuasi pasien manula terkonfirmasi COVID-19 dari panti di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, menuju RSKD Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (22/12/2020) dini hari 

SRIPOKU.COM, DEPOK--Pada Senin (25/1/2021), Dokter Amelia Martira meluapkan perasaannya dalam sebuah utas di akun Twitter pribadinya, @irasjafii. Ceritanya kemudian menjadi viral. Dalam delapan cuitan, Amelia membagikan kisahnya ketika melakukan intubasi kepada pasien Covid-19. Menurut situs Alo Dokter, intubasi adalah prosedur medis untuk memasukkan alat bantu napas berupa tabung ke dalam tenggorokan.

"Hal yang paling enggak enak dari intubasi pasien Covid-19 adalah pasiennya masih sadar dan gue harus minta izin langsung ke pasien. Pasien yang gue intubasi hari ini mengiyakan dan gue hanya bisa bilang sabar ya pak, doa ya.. Terus segera gue juga berdoa dan menguatkan diri supaya enggak sedih," tulis Amelia pada cuitan pertamanya dalam utas tersebut.

Kepada Kompas.com, Selasa (26/1/2021) malam, Amelia mengungkapkan, dirinya sebagai dokter anestesi dan terapi intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Depok. "Utamanya saya bekerja di kamar operasi dan ICU (Intensive Care Unit).

Tugas harian saya merawat pasien Covid-19 baik yang menjalani anestesi pada pembedahan maupun pasien yang bergejala berat hingga kritis," beber Amelia.

Amelia menegaskan, kondisi di rumah sakit tempat ia bekerja sama dengan situasi di banyak rumah sakit yang menangani pasien Covid-19, yakni ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU semakin tipis dan bahkan penuh.

"Sebagaimana umumnya kondisi di rumah sakit saat ini. Tempat tidur isolasi maupun ICU penuh. Pasien yang terus datang tetap diterima. Hanya, tentu saja (pelayanan) akan stagnan di IGD (Instalasi Gawat Darurat) hingga kamar isolasi atau ICU tersedia. Akibatnya, memang overcrowded terjadi di IGD," jelasnya.

Terpaksa memilih pasien sesuai skala prioritas Dalam satu cuitannya yang viral, Amelia mengisahkan bahwa dirinya baru terpaksa memilih salah satu di antara dua pasien Covid-19.

"Pandemi Covid-19 ini memberikan perasaan enggak karu-karuan. Kadang harus memilih pasien mana yang harus masuk duluan karena bed ICU cuma tersisa satu. Kemarin gue memilih seorang bapak, kepala keluarga, usia 47 tahun untuk masuk ICU lebih dulu dibanding seorang ibu usia 72 tahun. Maafkan saya ya, Bu," tuturnya.

Dia kemudian memaparkan kicauannya lebih lengkap kepada Kompas.com. "Sebenarnya, sebagaimana panduan ICU pada umumnya, indikasi masuk ICU itu memang memiliki skala prioritas. Hal ini dikarenakan memang keterbatasan tempat tidur ICU. Sesuai dengan standar RS, ICU itu disiapkan 5 persen dari jumlah tempat tidur. Jika RS memiliki 100 tempat tidur, maka harus disediakan minimal 5 buah untuk ICU," jelas Amelia.

"Pertimbangan yang digunakan adalah standar profesi, kebutuhan medis pasien, dan nilai-nilai yang dianut pasien. Oleh karena itu, ada disebut kriteria masuk sebagaimana diatur dalam Kepmenkes 1778/2010. Kepmenkes sebagai panduan, tetapi untuk memutuskan, kita juga mempertimbangkan faktor etika dan standar prosedur," paparnya.

Amelia juga menjelaskan bahwa untuk kasus Covid-19 yang membutuhkan ICU tetapi belum tersedia, pelayanan intensif dilakukan di IGD. "Hanya saja, kapasitas IGD juga terbatas," katanya.

Rasa bersalah Dalam cuitannya yang lain, Amelia lebih dalam mengungkapkan perasaannya selama menangani pasien Covid-19. "Pernah dalam satu hari beberapa pasien meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Dengan perasaan 'biasa', gue segera hubungi IGD untuk segera pindahkan ke ICU, pasien yang telah ngantri berhari-hari. Kesedihan satu keluarga memberikan harapan ke keluarga lain. Boleh dibilang (saya) enggak sempat sedih," ujarnya.

"Kadang setelah memasang ventilator ke pasien dan kondisinya tak kunjung membaik juga. Terlintas dalam pikiran, 'Ya Allah, bener ga ya keputusan gue untuk pasang ventilator. Pasien juga percaya gue memberikan keputusan terbaik'. Saat itu, gue sih masih biasa aja. Tapi... Kalau sudah malam menjelang tidur, saat gue mulai overthinking; hal ini bikin gw merasa bersalah. Ini saatnya gue merasa amat-amat sangat kecil sebagai manusia, yang ga tau apa-apa," lanjutnya.

Kepada Kompas.com, Amelia menjelaskan bagaimana sisi profesionalisme sebagai dokter harus menutupi perasaannya sebagai manusia
"Sebagai dokter yg bekerja di area kritis dan akhir kehidupan, memang kita dilatih untuk menyiapkan fisik dan mental. Termasuk bagaimana berkomunikasi dengan pasien dan keluarga dan menghargai nilai-nilai yang dimiliki keluarga. Kita juga dilatih untuk berempati, tetapi tetap menjaga profesionalisme agar tetap bisa fokus dan objektif. Hanya saja, sebagai manusia, jika harus berhadapan dengan situasi pandemi yang enggak pernah dihadapi sebelumnya, pertahanan mental juga bisa runtuh," kata Amelia.

Menurut Amelia, para dokter terkadang butuh dibantu oleh dokter psikiatri atau psikolog guna menopang mental mereka selama menangani pasien Covid-19. "Saya sendiri secara pribadi memang belum meminta bantuan teman sejawat. Namun, saya dari awal (pandemi) sudah menyadari risiko burn out yang mungkin terjadi," ucapnya.

Sumber: Kompas.com
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved