Ikhlas Dalam Kehidupan Bersama Covid-19
Memasuki tahun 2021, kita harus dapat merubah mindset dan habits bahwa kita siap dan ikhlas hidup bersama Covid-19 secara aman dan produktif.
Newnormal adalah topik yang sedang hangat dibahas banyak pihak pada masa pandemi ini.
Merupakan upaya penyesuaian perilaku, aktivitas new normal meliputi aktivitas subnormal, normal, dan supernormal dalam suatu tata nilai baru.
Seluruh masyarakat bisa kembali beraktivitas seperti biasa dengan menerapkan berbagai ketentuan terkait protokol kesehatan agar tidak terjadi penularan yang dapat membuat menjadi sakit.
Minimal ada ketentuan 5 M yang harus dipatuhi dan dilaksanakan masyarakat dalam tatanan normal baru menghadapi Pandemi Covid-19 yaitu;
Mencuci tangan,
Memakai Masker,
Menjaga jarak,
Menghindari kerumunan,
serta menjaga kesehatan diri melalui asupan pangan yang bergizi,
cukup olah raga,
cukup istirahat,
dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan imunitas diri.
Kondisi new normal ini mirip dengan menyikapi penyakit akibat virus lain saat kali pertama muncul sebagai wabah menakutkan yang menyebabkan kesakitan maupun kematian.
Contoh penyakit tersebut adalah influenza, HIV, hepatitis, dan lain-lain. Hidup berdampingan dengan penyakit tersebut memerlukan kewaspadaan terus-menerus sehingga angka kejadian penyakit dan kematian dapat dikendalikan.
Masyarakat bisa beraktivitas seperti biasa tanpa rasa takut, sementara tetap diupayakan tidak ada ledakan jumlah kasus yang luar biasa dan tidak terkendali.
Kebijakan itu tentu sudah dipertimbangkan dengan matang untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Perlu kiranya berbagai antisipasi harus disiapkan terkait kebijakan ini.
Tak hanya berbagai ketentuan terkait masyarakat, tapi juga kemampuan tenaga kesehatan dan kesiapan rumah sakit dalam penanganan Covid-19.
Nadjib, Abdul dalam Sriwijaya Post (5/10-2020) menyatakan New Normal adalah New Mindset, New Habits, dan New Man.
Dengan kata lain dalam New Normal dibutuhkan pola pikir baru, kebiasaan dan perilaku baru, serta manusia baru yang siap beradaptasi sekaligus menjadi manusia yang lebih baik dalam menyikapi dan menghadapi pandemi Covid-19.
Lemahnya Sense of Crisis Pemerintah Daerah
Sebagaimana kita maklumi, wabah pandemi global virus korona atau pandemi Covid-19 telah melanda Indonesia.
Dampaknya sungguh sangat membuat pilu danprihatin, karena telah banyak yang terinfeksi dan kehilangkan nyawa karena Covid-19 ini.
Bukan saja telah menjangkiti jutaan orang tapi juga telah menelan korban kematian penderita yang besar, meski ada pula yang dinyatakan sembuh.
Ditambah lagi pandemi Covid-19 juga berdampak pada, hilangnya bisnis, hilangnya pekerjaan, resesi ekonomi.
Bahkan sampai menimbulkan kepanikan, ketakutan, ketidaknyamanan dan rasa tidak aman warga negara.
Sejatinya, pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) sudah sangat mengetahui, bagaimana ancaman pandemi Covid-19 tersebut, bahkanpunya waktu yang cukup dan pastinya sudah punya langkah antisipatif dalam menghadapinya.
Namun yang sangat disayangkan itu adalah, kepekaan atauSense of Crisisbeberapa beberapa pemerintah daerah yang lemah dan terkesan meremehkan masifnya pandemi Covid-19.
Seperti contoh, Pimpinan Daerah dan jajaran pejabat Perangkat Daerah melakukan kunjungan ramai-ramai ke suatu daerah yang dinyatakan area merah Covid-19 dengan tujuan yang tidak urgent.
Ada juga yang melakukan kegiatan Outbond secara beramai-ramai di daerah rawan Covid-19, apakah kegiatan ini prioritas dalam krisis pandemi Covid-19 ?.
Ada juga pimpinan daerah yang tidak memberikan perhatian penuh terhadap pendemi covid-19 ini, dan memilih kegiatan lain yang yang tidak urgent dan tidak mendesak.
Sense of crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai.
Dalam hal ini, pimpinan dan rakyat berjalan beriringan.
Lemahnya sense of crisis pejabat daerah ini bukan saja dapat merugikan masyarakat tapi juga akan merugikan pemerintah daerah itu sendiri.
Bahkan dalam kondisi krisis Covid-19 yang terus meningkat dan mengakibatkan banyaknya korban berjatuhan.
Lemahnya sense of crisis ini dapat dikategorikan pelanggaran hukum bila ternyata mengangkangi kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), misalnya dalam hal berkerumun atau sengaja mendatangi/berkegiatan di wilayah yang dinyatakan merah, dll.
Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari lemahnya sense of crisis pejabat daerah dalam kondisi krisis covid -19 antara lain :
1). Berpotensi melanggar hukum karena tidak mematuhi kebijakan PSBB sesuai ketentuan.
2) Meningkatnya kasus positif Covid-19 yang dapat berdampak ganda di masyarakat.
3). Terhambatnya pelayanan publik karena sebagian besar pejabatnya yang pulang dari kunjungan harus diisolasi.
4). Tidak adanya ketauladanan dari pejabat daerah bagi masyarakat luas dalam pencegahan penularan Covid-19.
5). Merugikan keuangan daerah untuk kegiatan yang tidak tepat dalam kondisi krisis pandemi Covid-19 yang memerlukan anggaran ekstra untuk menangani masalah kesehatan maupun bantuan sosial bagi masyarakat kurang mampu yang terdampak Covid-19.
6). Menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah yang dapat berdampak pada melemahnya legitimasi pemerintah itu sendiri.
Lemahnya sense of crisis pejabat daerah ini sangat menghambat upaya pencegahan penularan Covid-19 di daerah.
Disinyalir hal inilah yang menyebabkan beberapa daerah mengalami lonjakan kasus positif Covid-19 akhir-akhir ini.
Selain itu lemahnya sense of crisis ini dapat pula memperlambat usaha merubah mindset dan habits masyarakat untuk siap dan ikhlas hidup bersama Covid-19 di era mendatang.
Kehadiran Vaksin Covid-19

Ditengah kegamangan masyarakat untuk dapat ikhlas hidup bersama Covid-19, timbul harapan baru dengan kehadiran vaksin Covid-19.
Namun harapan baru itu hendaknya tidak membuat kita lengah dalam protokol kesehatan.
Berbagai jenis vaksin Covid-19 telah berhasil dikembangkan hingga tahap akhir serta menunggu izin untuk digunakan.
Termasuk uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac di Indonesia belum tuntas.
Satuan Tugas PenangananCovid-19menegaskan sebanyak 1,2 juta dosisVaksin Sinovacyang sudah tiba di tanah air pada 2 minggu lalu (6/12) merupakan bentuk komitmen pemerintah menangani Covid-19.
Selain vaksin Sinovac yang baru masuk, masih ada berbagai kandidat vaksin lainnya sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 9860 Tahun 2020.
Diantaranya AstraZeneca, BioFarma, Moderna, Pfizer, dan Sinopharm.
Dengan vaksinasi diharapkan penyebaran virus penyebab Covid-19 dapat dikurangi bahkan dihentikan sehingga akan terbentuk kekebalan kelompok atau sering disebut herd immunity.
Kekebalan kelompok itu akan terbentuk ketika lebih dari 70 % populasi telah divaksin.
Kehadiran vaksin Covid-19 ini memberikan harapan baru dalam mengatasi pandemi Covid-19, sekaligus untuk dapat memulihkan perekonomian di Indonesia.
Terlepas kehadiran vaksin yang akan diterimakan secara gratis bagi masyarakat, kita, setiap warga masyarakat masih tetap harus siap dan ikhlas untuk dapat hidup bersama Covid-19 dalam waktu yang cukup panjang kedepan,- ans.
KABAR Gembira, Armada Canggih 3 Negara Kepung Laut Bali Temukan KRI Nanggala:Sebelum Oksigen Habis |
![]() |
---|
'Kalau Dia Lepas Saya Siap Pindah', Kata Alberto Goncalves Sambut Ajakan Kembali ke Sriwijaya FC |
![]() |
---|
Terjebak di Cerukan 40 Meter Utara Laut Bali, KRI Nanggala 402 Bisa Dievakuasi 8 Jam dari Sekarang |
![]() |
---|
Saat Bangun Suami Mendadak di Atas Perut, Cerita Istri Korban KDRT di Prabumulih: Dia Mau Bunuh Saya |
![]() |
---|
Sudah Tak Bersuara, KRI Nanggala Dilacak Sonar, Pengamat Yakin 53 Awak Ditemukan dan Diselamatkan |
![]() |
---|