Berikut Profil 6 Tokoh yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Ada Sosok Panglima Perang dari Jambi
Hal itu diselenggarakan Presiden Jokowi untuk memperingati hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November.
Penulis: Nadyia Tahzani | Editor: Yandi Triansyah
SRIPOKU.COM - Pada tahun 2020 ini, Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada 6 tokoh bangsa di Istana Negara, Jakarta.
Hal itu diselenggarakan Presiden Jokowi untuk memperingati hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November.
Melansir Tribunnews, pemberian gelar pahlawan secara resmi dilakukan setelah rangkaian kegiatan Presiden pada hari Pahlawan.
"Calon penerima gelar pahlawan nasional akan disampaikan langsung oleh Bapak Presiden di Istana Negara pada tanggal 10 November, setelah acara upacara ziarah nasional," ujar Menteri Sosial Juliari Batubara dalam konferensi pers virtual Kementerian Sosial, Jumat (6/11/2020).
Juliari mengatakan penentuan tokoh yang akan mendapat gelar pahlawan tersebut dilakukan melalui mekanisme yang telah ditetapkan, baik itu di Kementerian Sosial maupun Dewan Gelar.
Keenam tokoh tersebut berasal dari berbagai latar belakang dan wilayah di Indonesia.
Di antaranya Maluku Utara dan Papua Barat, yang belum pernah memiliki Pahlawan Nasional.
"Jadi Provinsi Maluku Utara dan Papua Barat memang belum pernah memiliki pahlawan nasional. Apabila tidak ada perubahan, Insya Allah akan diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun ini," katanya.
Enam tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional tahun ini telah berjasa dalam perjuangan di berbagai bidang untuk mencapai, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca juga: KISAH Unik Dua Bocah Ini Dipangku Mantan Menpora Adhyaksa Dault, Ini yang Terjadi 14 Tahun Kemudian!
Adapun ke enam tokoh yang akan mendapat gelar pahlawan tersebut di antaranya yakni:
1. Machmud Singgirei Rumagesan dari Provinsi Papua Barat

Machmud Rumagesan merupakan pejuang integrasi Papua, yang sangat berani menentang Pemerintah Kolonial Belanda.
Keberaniannya menentang Pemerintah Kolonial telah mengantarkannya ke beberapa penjara, seperti Saparua, Sorong Doom, Manokwari, Hollandia (sekarang Jayapura), dan Makassar.
Pada 1953 Machmud Rumagesan mendirikan organisasi pembebasan Irian Barat di Makassar, Gerakan Tjenderawasi Revolusioner Irian Barat (GTRIB), yang bertujuan membantu Pemerintah Republik untuk memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Kolonial Belanda.
Dalam Kongres Nasional untuk perdamaian di Jakarta pada 24-29 Januari 1955 dalam sidang Dewan Nasional pada 1957, Beliau menyerukan agar Irian Barat harus kembali ke Indonesia.
2. Sultan Baabullah dari Provinsi Maluku Utara

Sultan Baabullah yang lahir pada 10 Februari 1528 ini dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku yang memerintah antara tahun 1570 dan 1583.
Ia dianggap sebagai Sultan teragung dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir penjajah Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16.
Sultan Baabullah juga dikenali dengan gelar "Penguasa 72 Pulau", berdasarkan wilayah kekuasaannya di Indonesia timur, yang mencakup sebagian besar Kepulauan Maluku, Sangihe dan sebagian dari Sulawesi.
Pengaruh Ternate pada masa kepemimpinannya bahkan mampu menjangkau Solor (Lamaholot), Bima (Sumbawa bagian timur), Mindanao, dan Raja Ampat.
Peran Maluku dalam jaringan niaga Asia meningkat secara signifikan karena perdagangan bebas hasil rempah dan hutan Maluku pada masa pemerintahannya.
3. Jenderal Pol (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang merupakan Kapolri pertama. Domisili di DKI Jakarta

Kapolri pertama Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (RS Soekanto) dan SM Amin Nasution rencananya akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional (PN) pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2020 ini.
Penganugerahan gelar terhadap Soekanto tersebut merupakan pengakuan atas jasanya meletakkan dan membangun institusi Polri.
RS Soekanto Tjokrodiatmodjo memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia selama 14 tahun (1945-1959).
Ia adalah Kepala Kepolisian RI pertama dan terlama sepanjang sejarah Polri.
Soekanto juga dikenal sebagai pembangun struktur dan fundamen serta peletak batu persatuan bagi Kepolisian RI.
Saat menjabat Kepala Kepolisian Negara (KKN), 29 September 1945 hingga 31 Desember 1959, ia merintis dibentuknya polair dan udara, brimob, polantas yang terorganisir dengan baik, pembentukan cikal bakal polda, hingga pembentukan sekolah-sekolah polisi.
Atas upaya-upaya Sukanto itulah, tercipta aspek pedoman hidup dan pedoman karya kepolisian, yang pada akhirnya terkenal dengan nama Tribrata dan Caturprasatya.
Baca juga: KISAH Unik Dua Bocah Ini Dipangku Mantan Menpora Adhyaksa Dault, Ini yang Terjadi 14 Tahun Kemudian!
4. Arnold Mononutu dari Provinsi Sulawesi Utara.

Arnold merupakan tokoh pergerakan dan pernah jadi Menteri Penerangan RI era Presiden Soekarno
Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu lahir di Manado pada tanggal 4 Desember 1896.
Ayahnya bernama Karel Charles Wilson Mononutu dan ibunya bernama Agustina van der Slot.
Baik ayah dan kakeknya adalah tokoh terkemuka dalam masa-masa mereka.
Ayahnya adalah seorang pegawai negeri (ambtenaar) Hindia Belanda.
Kakeknya yang juga bernama Arnold Mononutu adalah orang Minahasa pertama yang menyelesaikan studi di sekolah untuk pelatihan dokter pribumi (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, STOVIA) di Batavia.
Ketika Mononutu berusia dua tahun, ayahnya ditugaskan ke Gorontalo.
Empat adiknya lahir di Gorontalo, tetapi sayangnya keempatnya meninggal antara lima dan enam bulan.
Pada tahun 1903, Mononutu mengikuti sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Gorontalo.
Ia melanjutkan studinya di tingkat sekolah yang sama di Manado setelah ayahnya dipindahtugaskan ke Manado.
Pada tahun 1913, Mononutu belajar di sekolah menengah Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia di mana ia bertemu dan berteman dengan AA Maramis yang juga dari Minahasa dan Achmad Subardjo.
5. Raden Mattaher Bin Pangeran Kusin Bin Adi dari Provinsi Jambi.

Raden Mattaher adalah seorang panglima perang Jambi yang sangat terkenal dan ditakuti Belanda.
Setelah wafatnya Sultan Thaha Saifuddin pada tahun 1904, komando perlawanan terhadap Belanda di Jambi dilanjutkan oleh Raden Mattaher.
Saat melawan penjajahan Belanda, ia telah memperlihatkan sebagai seorang ksatria, berani, cerdas, dan pandai mengatur strategi.
Kantong-kantong perlawanan yang ia bentuk, bergerak di teritorial dari Muaro Tembesi hingga ke Muaro Kumpeh.
Berkat kecerdasannya itu, Raden Mattaher menjadi panglima perang yang paling ditakuti Belanda pada masa itu.
Pada tahun 1858 Sultan Thaha dan Raden Mattaher berhasil menenggelamkan kapal perang Belanda di perairan Sungai Kumpeh Muaro Jambi.
6. Mr. Sutan Mohammad Amin Nasution dari Sumatera Utara

Mr Sutan Mohammad Amin Nasution nama pena Krueng Raba Nasution adalah Gubernur Sumatra Utara dan Riau yang Pertama.
Ia juga merupakan Tokoh Pergerakan Sumpah Pemuda, pengacara dan penulis.
SM Amin memiliki nama kecil sebagai Krueng Raba Nasution. Ia lahir di Lhok Ngah, Aceh, pada 22 Februari 1904.
Pada perjalanannya, SM Amin kemudian menjadi Komisaris Jong Sumatranen Bond, yang turut serta di dalam Kongres Pemuda II di Jakarta.
Menurut Bhakti, SM Amin juga dikenal sebagai pengacara.
Ia banyak membantu para pejuang kemerdekaan ketika harus berurusan dengan lembaga hukum Pemerintah Hindia Belanda.
SM Amin banyak bertugas sebagai pengacara di Kuta Radja yang saat ini menjadi Banda Aceh.
Pada tahun 1930, SM Amin dikenal sebagai penggagas Komisi Besar Indonesia Muda.
Dalam era kemerdekaan, SM Amin diangkat sebagai Gubernur Muda Sumatera Utara dan dilantik pada 14 April 1947.
Saat itu ia harus menghadapi hegemoni moneter Belanda yang masih ingin menguasai perekonomian Sumatera Utara.
Baca juga: Lakukan Amalan Ini Niscaya Dirindukan Allah, Ucapkanlah ini Maka Allah Hapus Dosamu bahkan Memujimu!