Berita Palembang
Cerita Ita dan Keluarga di Sungai Ogan, Sulap Rakit Jadi Warung Kelontong, Ngaku Dikit Saingan
Sungai Musi memiliki banyak aliran anak sungai, salah satunya Sungai Ogan di Kelurahan Ogan Baru, Kecamatan Kertapati
Penulis: maya citra rosa | Editor: Yandi Triansyah
Laporan wartawan Sripoku.com, Maya Citra Rosa
SRIPOKU.COM, PALEMBANG -- Sungai Musi memiliki banyak aliran anak sungai, salah satunya Sungai Ogan di Kelurahan Ogan Baru, Kecamatan Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel).
Aliran Sungai Ogan juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar, salah satunya keluarga Riduan dan Ita, suami istri yang membuka warung kelontong menggunakan rumah rakit.
Ita bersama suami dan ketiga anak perempuannya, sudah membuka warung dan tinggal di rumah rakit tersebut sudah sekitar 4 tahun lamanya.
Suaminya bekerja sampingan sebagai pembuat perahu, jika ada pesanan perahu baru dia mengerjakan pembuatan perahu.
Meskipun memiliki rumah yang berada daratan, namun Ita dan keluarga lebih sering menghabiskan hari-hari di rumah rakit.
Rumah yang mengambang di atas air dengan menghadap langsung ke sungai memang tidak banyak ditemukan.
Kebanyakan masyarakat membuat rumah rakit untuk usaha seperti membuka toko, bengkel kapal, atau tempat pengisian minyak.
"Kami buat rumah rakit emang untuk buka usaha, karena banyak tiap hari kapal speedboat atau kapal besar lain yang lewat," ujarnya saat ditemui Kamis (22/10/2020).
Dalam sehari, selalu ada saja kapal kecil atau besar yang berlabuh, sekedar untuk membeli minum, makanan, rokok atau peralatan kapal.
Di rumah rakit berukuran 6x4 meter tersebut, Ita dan keluarga mendapatkan penghasilan sekitar Rp 500 ribu per hari.
"Kalau dapat uang sehari-hari bisa Rp 500 ribuan, itu sudah bersih," ujarnya.
Menurutnya, membuka warung kelontong di rumah rakit lebih menguntungkan dibanding warung pada umumnya.
Karena sepanjang aliran Sungai Ogan, hanya terdapat beberapa warung di atas rumah rakit.
Padahal setiap hari tidak hanya kapal dan perahu speedboat yang berbelanja, tapi warga sekitar yang memancing di sungai juga sering membeli minuman.
"Ya kalau untuk berdagang, enak di atas rumah rakit, karena sedikit pesaing yang berjualan dibanding di darat," ujarnya.
Namun, tidak semudah membangun rumah di atas tanah, rumah rakit harus punya modal yang besar dan perawatan yang baik.
Bambu atau buluh yang digunakan sebagai media apung rumah harus sering diperhatikan dan dirawat dengan baik.
Hal ini karena susunan bambu tersebut setiap bulannya ada saja yang harus diganti, satu buluh harganya bisa ratusan ribu rupiah.
"Kalau mau rumah untuk biasa ya enak di rumah darat, kalau rumah rakit ini besar biaya perawatannya," ujarnya.
Dia dan keluarga tetap akan memanfaatkan rumah rakit sebagai tempat usaha yang menjadi penghasilan utama untuk kehidupan sehari-hari.
"Ya tidak ada kekhawatiran bagi kami di rumah rakit ini, insya Allah penghasilan cukup untuk sehari-hari dan sekolah anak-anak," ujarnya.