Aturan Tidak Setara, Ritel Online Lebih Diuntungkan Undang Undang Dibanding Ritel Offline

tidak adanya aturan yang setara antara produk yang dijual online dan offline, menjadi hal yang sangat merugikan bagi peritel offline

Editor: Azwir Ahmad
SRIPOKU.COM / Hartati
Palembang Indah Mall (PIM) meluncurkan program sembako online untuk memudahkan konsumen belanja sembako sehingga tidak harus keluar rumah selama PSBB, Senin (1/6/2020) 

SRIPOKU.COM - Digitalisasi yang berdampak tumbuh suburnya ritel online atau e-commerce telah menggerus kejayaan ritel offline. Pada masa pandemi perkembangan ritel online semakin masif, sementara ritel off kian merana.

Bagi Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, kehadiran ritel online menurutnya merupakan tantangan bagi pelaku ritel offline, namun bukan berarti hal itu menjadi ancaman.
Menurut menghadapi perubahan prilaku akibat perkembangan teknologi dan hadirnya pandemi, harus diantisipasi peritel offline dengan melakukan inovasi.

Namun dia katakan, yang menjadi catatan adalah aturan perundang-undangan Indonesia terhadap ritel offline dan online yang dinilai pilih kasih.

"Online itu kan relatif bebas pajak, bebas kewajiban macam-macam sehingga harga jual mereka bisa jauh lebih murah dari pada offline," ujar Alphonzus dalam webinar MarkPlus Industry Roundtable: Retail Perspective, Jumat (16/10/2020).

Ia menekankan, tidak adanya aturan yang setara atau level playing field antara produk yang dijual online dan offline, menjadi hal yang sangat merugikan bagi peritel offline. Pada akhirnya , sistem ini yang membuat banyak gerai ritel terpaksa tutup. "Yang jadi masalah adalah perlakuan terhadap online yang memang betul-betul seperti anak emas, dan offline ini anak tiri. Ini yang menurut saya membahayakan," kata dia.

Alphonzus mengatakan, kehadiran ritel online pada dasarnya tantangan biasa yang harus dihadapi seiring perkembangan zaman. Oleh sebab itu pasca-pandemi, ritel offline harus mampu berinovasi untuk kembali menggaet pasar yang sempat tergerus.

Menurutnya ritel offline masih memiliki nilai khusus bagi masyarakat, yang memang tetap membutuhkan interaksi sosial satu sama lain. Bagaimanapun seseorang tidak akan bisa terus-menerus bergantung penuh pada sistem online.

Menurutnya, hal yang tepat adalah dapat mengubah konsep mal bukan lagi fungsi utamanya sebagai pusat belanja (shopping), melainkan harus menyertakan fungsi lainnya. Ia mencontohkan, seperti di Singapura dan Hong Kong yang menjadikan mal sebagai hub koneksi dengan transportasi umum atau hunian.

Baca juga: SIBA Center Bukit Asam, Bentuk Keseriusan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Tanjung Enim

Baca juga: Rapit Test Drive Thru di RS Siloam Sriwijaya Hanya Rp 90 Ribu, Bundling Tiket Garuda Indonesia

Baca juga: Rapit Test Drive Thru di RS Siloam Sriwijaya Hanya Rp 90 Ribu, Bundling Tiket Garuda Indonesia

"Tergantung kreativitas masing-masing pengelola mal untuk membuat fungsi baru, fungsi tambahan, sehingga masyarakat punya pilihan alternatif yang beda dari sekedar dunia maya," pungkas Alphonzus.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pengusaha Mal: Ritel Online seperti Anak Emas, Offline Anak Tiri",

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved