Ketika Danjen Kopassus Sarwo Edhi Sang Pembasmi PKI Bertemu Anak DN Aidit di Pelantikan Wanadri

Pertemuan Sarwo Edhie King Maker Pembasmi PKI & Anak DN Aidit di Pelantikan Wanadri Berakhir Pelukan

Penulis: fadhila rahma | Editor: Welly Hadinata
(kopassus.mil.id)
Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, ayah Ani Yudhoyono 

SRIPOKU.COM - Mengenal sosok Sarwo Edhie, yang merupakan tokoh penumpas Partai Komunis Indonesia.

Sedangkan Ilham Aidit, adalah putra DN Aidit, gembong PKI.

Sejak awal Orde Baru, publik diberi tahu bahwa dalang Gerakan 30 September 1965 adalah PKI, yang berupaya mengkudeta pemerintahan RI.

Meski sejak era reformasi berbagai versi berseberangan bermunculan, nama Sarwo Edhie tidak lepas dari penumpasan PKI di Indonesia. 

 
Ia memiliki peran yang sangat besar dalam pengganyangan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).

Sarwo Edhie, ayah dari Ani Yudhoyono itu, memeluk Ilham Aidit, dengan Kawah Upas, Gunung Tangkubanparahu, menjadi saksi bisunya.

Kejadian itu dikisahkan berlangsung tahun 1981, ketika Ilham menjadi salah satu kader Wanadri, sebuah kelompok pencinta alam di Bandung, yang akan dilantik Jenderal Purn. Sarwo Edhie.

Dari 72 orang kader Wanadri, hanya Ilham yang dipeluk Sarwo. Hanya mereka berdua yang tahu apa makna pelukan itu.

Letjen TNI Sarwo Edhi Wibowo Danjen RPKAD (Kopassus) Pembasmi PKI

Sejarah Kelam Pembantaian G30S, Fadli Zon Bongkar Fakta PKI di Depan Anak DN Aidit: Jangan Dibalik

Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo Danjen RPKAD (Kopassus)
Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo Danjen RPKAD (Kopassus) (Kolase Wikipedia dan instagram @agusyudhoyono)

Kisah ino tayang di Koran Tempo.

Saat Sarwo menyalami dan menepuk bahu Ilham serta melihat namanya di kemeja di bagian dadanya, sejenak kemudian Sarwo memeluk Ilham. 

"Selamat, kamu telah berhasil menyelesaikan pendidikan," kata Sarwo.

Saat pemberontakan disusul pengganyangan PKI bergulir, Ilham baru berusia 5-6 tahunan.

Ketika dewasa, ia tahu siapa sosok Sarwo Edhie, yang kala itu ada di depannya.

Selaku inspektur upacara, Sarwo Edhie hendak melantik mereka yang lulus sebagai anggota Wanadri. 

Sarwo tahu bahwa seorang di antaranya adalah Ilham Aidit, putra Dipa Nusantara (DN) Aidit, gembong PKI.

Tiga tahun kemudian, 1984, Ilham bertemu lagi dengan Sarwo Edhie. Wanadri kembali mendidik anggota baru. 

Kali ini Ilham sebagai komandan operasi dan Sarwo Edhie sebagai inspektur upacara.

Upacara dimulai pukul 07.00 WIB. Tapi pukul 06.00 WIB Sarwo sudah datang. 

Sarwo memanggil Ilham dan mengajaknya berjalan ke balik sebuah tebing di Kawah Upas, Gunung Tangkuban Perahu. 

Ilham Aidit dan DN Aidit
Ilham Aidit dan DN Aidit ()

Ilham gugup dalam pertemuan 10 menit itu. Saat itu, Sarwo berkata bahwa dirinya hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya benar. 

Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan Ilham gemetar. 

Mereka bersalaman, dan berpelukan seperti tiga tahun silam.

Ilham masih ingat betapa suara Sarwo bergetar. Setelah itu, barulah ia menyadari betapa kabut pagi Kawah Upas yang hening sangatlah dingin.

"Saya memahaminya. Dan saya bisa memaafkan. Itulah kejadian paling penting dalam hidup saya," kata Ilham.

Sejak itu, Ilham makin sering bertemu dengan Sarwo Edhie. Selain sebagai anggota kehormatan Wanadri, Sarwo juga adalah narasumber dalam pelatihan untuk esprit the corps untuk kalangan Wanadri.

"Saya makin mengerti beliau adalah seorang yang sangat setia kepada korps," kata Ilham.

Keakraban Sarwo Edhie dan Ilham berlanjut meski tidak bertemu lagi. Tampak pada saat sebelum pemilihan presiden putaran terakhir pada 2004 lalu.

Ilham mengikuti silaturahmi yang digagas oleh dai kondang Aa Gym, dan bertemu dengan calon presiden Susilo "SBY" Bambang Yudhoyono, menantu Sarwo Edhie.

Ilham datang bersama teman-temannya dari Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang terdiri dari anak-anak korban G-30-S, DI/TII, dan sebagainya.

Dalam pertemuan di pesantren Aa Gym, Ilham membisiki SBY tentang pertemuannya dengan Sarwo pada 1981 dan 1984 silam. SBY memberi respons positif.

"Dengan tangannya yang besar, dia (SBY) memegang paha kiri saya dan dia bilang kita harus menyelesaikan masa lalu, namun dengan cara yang arif," kata Ilham.

Ketika itu, kata Ilham, SBY yang berbaju batik dan berpeci, diapit oleh Aa Gym yang bersorban, sementara Ilham yang mengenakan kemeja lengan panjang.

Pemegang Wangsit yang Disingkirkan Penguasa

Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), nasib Sarwo senaas dua "king maker" (sosok yang membuat orang lain jadi raja) lainnya, yakni Letnan Jenderal Kemal Idris dan Mayor Jenderal HR Dharsono.

Sarwo, yang ketika itu jadi Panglima Kodam Bukit Barisan (1967-1968), diisukan hendak mengkudeta Soeharto.

Setelah jadi Pangdam di Medan, Sarwo dikirim ke Papua untuk memimpin Kodam Cendrawasih—daerah yang rawan keamanan karena aktivitas Organisasi Papua Merdeka (OPM). Di situ Sarwo pernah nyaris terbunuh dalam sebuah perjalanan.

Pada 1970, Sarwo dijadikan Gubernur Akabri, sebuah posisi tanpa pasukan tempur yang kuat.

Setelah 1978, Sarwo "di-dubes-kan" ke Korea Selatan dan kemudian ditunjuk untuk menjabat Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri.

Setelah itu, ia menjadi anggota DPR sebagai wakil Golkar. Posisi-posisi itu makin menjauhkannya dari pucuk kekuasaan Indonesia.

Setelah dirinya meninggal, barulah salah satu menantunya, Susilo Bambang Yudhoyono, berhasil jadi Presiden pada 2004.

Letjen TNI Sarwo Edhi Wibowo Danjen RPKAD (Kopassus) Pembasmi PKI

-Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo yang berperan membasmi PKI tepat setelah G30S/PKI terjadi.

Tak cuma membasmi PKI, Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo juga berhasil menemukan lokasi jasad para korban G30S/PKI.

Melansir dari Wikipedia, Sarwo Edhie Wibowo merupakan seorang komandan jenderal RPKAD (sekarang Kopassus).

Letnan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 dan meninggal di Jakarta, 9 November 1989 pada umur 64 tahun.

Sarwo Edhie adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

Ia juga ayah dari mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo.

Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan G30S/PKI dalam posisinya sebagai Danjen RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).

Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Karier Sarwo Edhie di ABRI meliputi:
- Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951)

- Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)

- Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961)

- Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964)

- Komandan RPKAD (1964-1967).

Basmi PKI dan temukan jasad korban

Kesaksian Sarwo Edhie Wibowo pada peristiwa mencekam G30S/PKI ini sempat ditulis dalam artikel berjudul Detik-detik 1 Oktober 1965.

Artikel itu ditulis oleh Lili yang dimuat di Majalah HAI edisi no. 37/IX Oktober 1985.

Isi artikel ini dimuat lagi Intisari pada 2 Oktober 2018 dalam judul 'Begini Kisah Sarwo Edhie Wibowo Mertua SBY Saat Detik-Detik 1 Oktober 1965'

Pada artikel itu, diceritakan bagaimana Sarwo Edhie Wibowo melakukan pencarian untuk mengungkap penculikan para jenderal.
Saat mengetahui penculikan itu, Sarwo Edhie Wibowo bergegas ke Bandara Halim Perdanakusuma.

Ia ke sana pada 1 Oktober 1965 dini hari atas perintah Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.

Sarwo Edhie Wibowo sengaja membawa pasukannya untuk mencegah adanya korban. Ia memecah pasukannya dalam dua kelompok.

Pertama, pasukan yang bergerak dari Timur dilengkapi satu kompi panser. Kedua, pasukan Rider dilengkapi 22 tank yang bergerak dari arah Cawang.

Saat pasukan RPKAD tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, mereka menyerbu secara tergesa-gesa. Hal ini disebabkan sinar mentari yang mulai muncul.

Terjadilah baku tembak antara RPKAD dengan para pendukung G30S/PKI.

Akhirnya serbuan kilat pada dini hari itu membuat Bandara Halim Perdanakusuma berhasil diduduki pasukan Sarwo Edhie Wibowo.

Namun, ia belum mendapatkan informasi terkait keberadaan para jenderal yang diculik.

Tak lama kabar penculikan para jenderal pun datang dari seorang intel yang merupakan anggota kepolisian, Sukitman.

Sukitman sengaja datang ke rumah Sarwo Edhie Wibowo untuk membocorkan keberadaan para jenderal.

Rupanya, sang intel sempat ditahan di Bandara Halim Perdanakusuma oleh orang-orang Gerakan 30 September 1965.

Kepada Sarwo Edhie Wibowo, ia mengaku ditangkap karena dianggap berbahaya.

Saat pasukan RPKAD menyerang, Sukitman pun diam-diam berhasil melarikan diri dan langsung menemui Sarwo Edhie Wibowo.

Kemudian, ia menceritakan melihat pria yang matanya ditutup. Pria itu diduga salah satu dari jenderal yang diculik.

Saat pria itu diseret ke samping sebuah rumah yang berada di Lubang Buaya.

Kemudian, ia mendengar suara tembakan, sekaligus sorak sorai orang-orang di sana.

Mendengar pengakuan tersebut, Sarwo Edhie Wibowo bergegas membawa pasukannya ke Lubang Buaya.

Namun, kondisi di sana sulit dilacak karena lubang yang menjadi sasaran pencarian sudah rata.

Pasukan RPKAD pun tak menyerah, ia tetap berusaha mencari para jenderal.

Para warga di sekitar pun turut membantu mencari keberadaan para jenderal di area pohon karet Lubang Buaya.

Anggota RPKAD menggunakan teknik bayonet yang dilakukan seperti mencari ranjau.

Setelah itu, diketahui ada bagian tanah yang terasa empuk. Lalu, mereka bersama warga menggali menggunakan tangan.

Dari galian tanah itu tampak tali kuning juga dedaunan yang masih hijau.
Malamnya, penggalian itu membuahkan hasil. Kegiatan itu terhenti ketika seorang warga terkejut melihat ada bagian tubuh manusia dalam galiannya.

Temuan itu langsung dilaporkan Sarwo Edhie Wibowo kepada Soeharto.

Di Lubang Buaya itulah Soeharto memimpin penggalian jasad para Jenderal yang gugur dalam peristiwa bersejarah yang dikenal sebagai G30S/PKI.

Sumber: Sriwijaya Post
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved