Teori Resepsi dan Perkembangannya di Indonesia
Sepanjang abad ke XIX,di kalangan ahli hukum dan kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang mengatakan di Indonesia berlaku hukum Islam
Penulis: Salman Rasyidin | Editor: Salman Rasyidin
SRIPOKU.COM—Sepanjang abad ke XIX, sebelum Christian Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya pada akhir abad itu (1893), di kalangan ahli hukum dan ahli kebudayaan Hindia Belanda dianut suatu pendapat yang mengatakan bahwa di Indonesia berlaku Hukum Islam.
Pendapat ini, menurut Abar S. Subari SH.MH, ketua Pembina Adat Sumsel beberapa hari lalu, dikemukakan antara lain oleh Salomon Keyzer (1823-1868), seorang ahli bahasa dan ahli kebudayaan Hindia Belanda.
Ia banyak menulis tentang hukum Islam di Jawa dan bahkan menerjemahkan Al Quran ke dalam Bahasa Belanda.
Pendapat Salomon Keyzer tentang hukum Islam yang berlaku di kalangan orang orang Jawa (Indonesia) itu dikuatkan oleh Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927).
Menurut ahli hukum Belanda ini hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. Jika dia memeluk Islam, hukum islamlah yang berlaku baginya.
Dengan pendapat ini sangat memudahkan para pejabat pemerintah Hindia Belanda mengenal hukum islam.
Tahun 1892 terbit buku tentang hukum keluarga dan kewarisan Jawa dan Madura dengan beberapa penyimpangan.
Menurut Van Den Berg, orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dengan satu kesatuannya: receptio in complexu.
Ini berarti bahwa menurut van den Berg yang diterima oleh orang islam Indonesia itu tidak hanya bagian bagian hukum islam tetapi keseluruhan sebagai satu kesatuan.
Christian Snouck Hurgronje menentang pendapat LWC van den Berg tersebut hasil penelitiannya di Aceh yang menyimpulkan bahwa disana (Aceh dan Gajo) bukan hukum Islam tetapi hukum adat.
Dia berpendapat bahwa hukum adat banyak menerima hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum kalau telah benar benar diterima hukum adat.
Pendapat ini kemudian terkenal dengan theori resepsi yang banyak pengikut di kalangan ahli hukum.
Dan dikembangkan lebih sistimatis oleh Cornelis van Vollenhoven (Leiden) dan Betrand ter Haar Bzn (sekolah tinggi ilmu hukum di Batavia).
Salah satu murid ter Haar yaitu Prof. Hazairin (1905-1975) tidak sepaham dengan gurunya.
Sebab maksud terselubung dari pemerintah Hindia Balanda tidak lain untuk merintangi kemajuan Islam di Indonesia yakni teori IBLIS, karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Rasulullah.
Dampak teori ter Haar ini didalam sejarah perundang undangan banyak sisi negativenya salah satunya dapat kita lihat S. 1937:116 mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan, dengan pertimbangan hukum kewarisan islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat.
Kata Hazairin dengan staatsblaad ini, usaha giat raja raja Islam di Jawa menyebarkan hukum islam di kalangan rakyat distop oleh kolonial sejak tahun 1937.
Akibat lainnya bisa kita lihat sejarahnya sejak S, 1937:16.
Wewenang mengadili perkara kewarisan dialihkan dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri (sejarah hukum sebelum lahirnya undang undang peradilan agama yang baru).
Tentu dalam perjalanan prosesnya akan menghadapi kendala sumber daya manusia yang terlibat.
Beberapa protes yang pernah dilakukan oleh ormas ormas islam terhadap staatsblaad ini, karena keberadaan nya telah menggoyahkan kedudukan hukum islam.
Pada muktamarnya di Surabaya tahun 1938 Majelis Islam A'la Indonesia menyatakan bahwa akan mempersempit kaum muslim menjalankan (hukum) agamanya merupakan perkosaan terhadap islam.
Di akhir pendapat Hazairin tentang teori resepsi ini dengan menunjuk pada Ketetapan MPRS 1960/II yang mengatakan bahwa dalam menyempurnakan undang undang perkawinan dan waris supaya diperhatikan faktor faktor agama.
Disamping itu beliau menunjukkan bukti teori resepsi itu tidak berlaku lagi, karena landasan IS yang menjadi landasan legal teori resepsi telah terhapus oleh Undang Undang Dasar 1945 .
Perjuangan Prof. Dr. Hazairin, SH, guru besar hukum adat dan hukum islam di Universitas Indonesia sejak tahun 1950 di Salatiga pada Konperensi Kementerian Kehakiman serta pada simposium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1976).
Serta didukung beberapa ahli hukum misal Prof. Mahadi, SH Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dan kuliah kuliah mereka dikampus masing masing.
Demikian sejarah singkat lahirnya teori resepsi dari kalangan ahli hukum kolonial Belanda yang sebenarnya terselip maksud adalah untuk melanggengkan kuku penjajahan mereka umumnya dan khususnya menghambat kemajuan hukum islam di kalangan umatnya sendiri.
Dan ini berdampak pada pengaturan perundang undangan saat itu.
Alhamdulillah dengan perjuangan ahli hukum kita teori ini berhasil dipadamkan walaupun secara tidak langsung masih juga sedikit terasa baik dikalangan akademisi maupun dikalangan praktisi.